
Manusia pada hakekatnya adalah unik. Ia hidup dengan karakter pribadi, kebudayaan, suku atau ras yang dimilikinya. Keunikan yang ada dalam dirinya merupakan gambaran “apa adanya dia” sebagai manusia.
Ada yang berasal dari kelompok ras tertentu, misalnya Ras Mongoloid (berkulit kuning), Ras Negroid (berkulit hitam) atau Ras Kaukasoid (kulit putih). Keunikan dan keberagaman hidupnya menggambarkan betapa indahnya manusia yang diciptakan itu.
Tidak dapat disangkali keberadaan manusia dalam panorama keunikannya tersebut. Ia adalah unik untuk diciptakan. Walaupun demikian, keunikan tersebut tidak berarti “mengucilkan” manusia itu sendiri. Manusia tentunya juga mahkluk sosial yang membutuhkan sesamanya manusia.
Sudah semestinya keunikan tersebut pada akhirnya menghantarnya dalam relasi dengan sesama. Manusia bebaur dan menampilkan ekspresi keunikannya masing-masing. Indahnya hidup bersama terletak pada keunikan yang ditampilkan tersebut. Dalam perbedaan ada persaudaraan.
Perbedaan selalu ada dalam diri manusia dan bukan untuk dibeda-bedakan dengan mendiskriminasikan satu dengan yang lain. Bukanlah cara yang tepat jika dalam perbedaan terjadi pembedaan.
Tetapi apalah daya saat ini sebuah keterkejutan muncul dan tampil dalam ranah kehidupan bersama. Adanya tendensi radikal ketika fakta menunjukkan bahwa sikap diskriminasi telah mengakar dalam kehidupan bersama. Manusia berada pada tataran yang menyedihkan dan ketidakseimbangan kehidupan bersama.
Mengapa tindakan diskriminasi mencuat di tengah kehidupan bersama? Realitas yang terjadi bahwa manusia “salah” mengolah dirinya sendiri. Dalam artian ini manusia kehilangan sikap terbuka pada sesamanya manusia.Tentu pada tataran ini manusia “gagal” menjadi duta kebaikan bagi sesama.
Bukan sebuah kebetulan jika dirinya “tenggelam” dalam pendiktean terhadap manusia lainnya. Ada orang yang menganggap dirinya, kelompok, ras atau budayanya lebih hebat dari yang lainnya. Dalam situasi seperti ini benarlah ungkapan klasik “homo homini lupus” manusia menjadi serigala bagi sesamanya.
Biang keladinya adalah keegoisan. Sikap yang diwarnai keegoisan menggambarkan adanya ketidakmampuan manusia untuk menerima kenyataan di luar dirinya. Keegoisan memang dengan mudah merenggut dan menindas manusia. Cirinya yang tepat adalah “ingin menang sendiri”.
Hal itu berarti manusia tidak peka melihat perbedaan yang unik dari manusia lainnya. Yang terbaik selalu padanya sementara di luar dirinya adalah “sampah”. Kalimat yang dilontarkan misalnya“Saya adalah yang terbaik dari pada kamu”, “Suku saya lebih baik dari pada suku kamu” “warna kulit saya putih dari pada kulit kamu hitam”dan sebagainya.
Buah dari keegoisan adalah keangkuhan dan keserakahan. Orang yang egois akan berujung pada sikap angkuh dan serakah. Keangkuhan dalam dirinya terletak pada sikap menolak “apa adanya” sesama manusia. Baginya tidak ada yang lebih baik dan penting dari diri atau kelompoknya.
Dengan sikap ini tidak heran muncul sikap keserakahan dalam dirinya. Perlahan-lahan sepak terjangnya mencuat ke permukaan dengan menindas orang lain entah dengan kata-kata atau sikapnya yang lebih ekstrim. Semuanya hanya untuk kepuasan dirinya semata.
Secara tidak sadar, dalam pergaulan ada yang melakukan diskriminasi ras atau disebut sebagai tindakan rasis, seperti, mengolok-olok perbedaan fisik orang tertentu, asal daerah, ras dengan melihat warna kulit atau suku tertentu. Sering sikap yang ditampilkan kelompok tertentu misalnya menjaga jarak dengan ras tertentu, entah warna kulit yang hitam, kuning atau cokelat.
Sebagai contoh sebuah sistem hukum yang pernah diberlakukan di Afrika yang dikenal dengan Apartheid (arti dari bahasa Afrikaans: apart memisah, heid sistem atau hukum). Apartheid adalah sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan dari sekitar awal abad ke-20 hingga tahun 1990. Masih ada contoh lainnya yang menguak di tengah kehidupan manusia. Dengan demikian tindakan diskriminasi pun merajalela di seluruh dunia.
Dunia seakan mencekam ketika menyaksikan fenomena tragis ini. Penindasan terjadi di mana-mana, pengekangan kelompok tertentu, dan tentunya tindakan diskriminasi rasial. Tidak lagi nampak rasa hormat terhadap keberadaan manusia yang satu dengan yang lain sebagai “subyek” tetapi memandangnya sebagai “obyek”.
Apakah ini sebuah fase saat manusia berada pada “perang dunia ketiga? Apakah manusia tidak lagi mengenal keberagaman dan keunikan hidup sesamanya? Rupanya dunia ini hanya dihuni segelintir manusia yang diselimuti wajah-wajah keserakahan.
Sikap yang boleh dikatakan mengerikan ini tidak boleh berlarut dalam kehidupan bersama. Manusia semestinya menyadari bahwa keegoisan adalah penghancur kehidupan. Sikap yang bijak dan penuh keterbukaan perlu ditingkatkan agar kehidupan bersama berada pada zona nyaman.
Manusia yang lain tidak lagi dipandang sebagai objek, tetapi sesama manusia yang harus dihormati. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia yang satu memang berada di “luar” manusia yang lainnya dan memiliki keunikan dalam dirinya sendiri.
Pentingnya kesadaran dalam menata pola relasi ini memberikan arti yang berharga bagi keberlangsungan hidup bersama. Keunikan pribadi, budaya atau ras tidak lagi menempatkan diri sebagai “penguasa tunggal” yang dengan bebas menguasai yang lain, tetapi selalu berusaha mengedepankan kebaikan bersama secara bijak dan tepat guna.
Memang dalam tataran religiusitas apapun yang ada di dunia ini selalu kembali pada penggerak yang tidak digerakkan oleh siapa dan apa pun. Itulah Tuhan yang telah mengahadirkan manusia. Manusia hidup bersama orang lain bukan untuk kerakusannya tetapi untuk kebutuhan hidupnya sebagai mahkluk sosial.
Selain itu ada bersama itu harus diaktualisasikan melalui sebuah semangat untuk memiliki kepedulian terhadap eksistensi yang lain. Pius Pandor dalam bukunya “Seni Merawat Jiwa” menggagas pendekatan pro-eksistensi sebagai gerakan kepedulisan terhadap yang lain.
Dua ciri pendekatan ini adalah afimatif dan promotif. Afirmatif berarti adanya pengakuan terhadap eksistensi yang lain. Promotif merupakan sebuah gerakan mempromosikan dan mengkomunikasikan bahwa sesama itu memiliki martabat yang sama dengan yang lain sebagai manusia (Pius Pandor, 2014:32). Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan bersama, manusia harus selalu menampilkan rasa peduli dan pengakuan akan keberadaan sesamanya.
Sikap peduli, bijak, terbuka dan adanya pengakuan terhadap sesama adalah kunci untuk hidup bersama. Tidak lagi ada diskriminasi jika ada sikap-sikap tersebut. Demikianpun keegoisan yang membuahkan keangkuhan dan keserakahan perlahan-lahan menghilang. Manusia pada akhirnya berada pada fase awal, saat dirinya unik dan berharga di mata dirinya, sesamanya dan Yang membuat segalanya itu indah.
Fr. Hyronimus Ario Dominggus, SMM