Di negeri ini pernah orang mendiskusikan, apakah korupsi itu sama dengan mencuri, sehingga koruptor dapat juga disebut maling. Diskusi itu menarik karena kenyataan sosiologis memperlihatkan bahwa ada beda “citarasa” antara koruptor dan maling.
Koruptor terkesan “elit-selebiritis”, bisa senyam-senyum di depan kamera televisi. Koruptor dapat menjadi obyek berita menarik, menjadi terkenal dan tidak selalu berakhir di penjara, karena dia bisa mengarahkan proses hukum.
Sebaliknya, seorang maling adalah obyek kemarahan. Wajahnya babak belur digebuk massa, tak peduli bahwa dia hanya mencuri sebungkus rokok di kios. Maling tidak terkesan “elit-selebritis”, tetapi seorang kriminal dan obyek penghakiman massa tanpa proses hukum.
Maling tak mampu mengarahkan proses hukum. Ia adalah penjahat tak berdaya dan tak ada pihak yang membelanya. Nasib maling umumnya naas.
Perbedaan persepsi secara sosiologis dan perlakuan hukum antara koruptor dan maling adalah nyata, kendati tidak menyangkut hakekat tindakan keduanya. Melakukan korupsi (koruptor) dan mencuri (maling), keduanya adalah tindakan manusiawi.
Di sini, tindakan manusiawi dimaksudkan sebagai tindakan yang dilakukan dengan sadar, tahu dan mau. Baik koruptor maupun maling sama-sama sadar akan makna dan akibat tindakannya. Hakekat tindakan keduanya pun sama, yakni “mengambil menjadi milik sendiri barang atau benda yang bukan miliknya dengan cara sembunyi-sembunyi dan melanggar hukum untuk kepentingan sendiri atau orang lain”.
Kalau mau menelisik perbedaan keduanya, maka perbedaan itu tidak terletak pada makna hakiki tindakan, tetapi pada faktor penyebab dari tindakan itu. Koruptor memanfaatkan peluang karena posisi, kekuasaan, dan sarana yang dimilikinya. Seorang maling umumnya tidak memiliki peluang seperti itu.
Koruptor selalu terhubungkan dengan pejabat publik dan barang atau benda yang dikorupnya adalah milik umum (negara). Seorang maling bukanlah pemangku jabatan publik.
Inilah konteks makna dari wacana korupsi sumber daya alam, dalam edisi Gita Sang Surya kali ini. UUD 45 menegaskan bahwa kekayaan alam kita dikuasai Negara dan dikelola Negara untuk “sebesar-besarnya kemakmuran” rakyat. Fakta menunjukkan sebaliknya. Kekayaan alam kita terkuras habis, dan rakyat Indonesia semakin jauh dari kesejahteraan.
Rakyat malah menjadi korban pengelolaan sumber daya alam: tanahnya dirampas, ruang hidupnya diambil alih, lingkungan hidupnya dirusakkan, sumber-sumber ekonominya dirampok dan tak jarang diusir dari tempat tinggalnya.
Pemiskinan masyarakat justru terjadi saat kekayaan alam dikelola Negara. Penyebabnya jelas. Kekayaan alam tidak untuk rakyat tetapi untuk mereka yang berkuasa dan yang memiliki peluang untuk memanfaatkan kekuasaan itu tidak demi kepentingan rakyat banyak tetapi diri sendiri.
Koruptor memanfaatkan wewenang dan kekuasaannya untuk mengambil bagi dirinya barang atau kekayaan yang bukan miliknya. Tindakan korupsi bergandengan dengan manipulasi peraturan dan hukum, serta kolusi dengan pihak-pihak berkepentingan sama, terutama korporasi.
Manipulasi hukum dan peraturan, serta pemanfaatan segala cara untuk melindungi kepentingan penguasa dan korporasi nampak nyata dalam upaya menanggapi reaksi perlawanan rakyat dalam menuntut hak-hak konstitusional mereka atas rezeki dari kekayaan alam.
Rakyat selalu kalah dan terdepak. Mereka tak kuasa mendobrak kelompok kepentingan (oligarki) penguasa, pengusaha dan penegak hukum.
Bahwa pengusaha dengan amat bebas merampas tanah-tanah rakyat dan merusak kehidupan mereka, tanpa secuil perlindungan dari Negara, memperlihatkan kolusi koruptif antara penguasa dan pengusaha.
Pelbagai kebijakan dibuat demi kepentingan korporasi dan membenamkan kebenaran yang dimiliki rakyat. Korupsi dalam bidang sumber daya alam selalu terjadi melalui kebijakan pengolalaan sumber serta manipulasi hukum.
Dalam kasus korupsi sumber daya alam, koruptor dan maling bekerja sama. Koruptor menyelewengkan kekuasaannya demi dirinya sendiri, dan korporasi menjadi maling yang diberi kemudahan untuk mencuri kekayaan alam, yang seharusnya hak milik rakyat. Korupsi sumber daya alam adalah kolaborasi antara koruptor dan maling.
Sdr. Peter C. Aman, OFM