
Tidak ada yang menyangkal betapa Indonesia memiliki kekayaan yang melimpah yang bahkan tidak ada habisnya. Kekayaan itu sejatinya menjadi modal besar negara untuk memajukan kesejahteraan bangsa yang sudah melewati usia emas ini.
Akan tetapi, jauh panggang dari api, Indonesia yang berlimpah ruah kekayaannya ini justru terseok-seok, rakyatnya terus meratap akan mimpi tentang indahnya kesejahteraan.
Nubuat Ghandi lagi-lagi cocok untuk menggambarkan bahwa kekayaan alam (Indonesia) seyogyanya cukup bagi kesejahteraan semua orang, tetapi tidak cukup bagi kelompok-kelompok serakah yang belum puas akan kesejahteraan yang diambilnya dari jatah banyak orang. Jatah kesejahteraan banyak orang justru juga dikorupsi termasuk dari Sumber Daya Alam.
Korupsi Sumber Daya Alam
Sumber daya alam adalah segala kekayaan alam yang terdapat baik di atas, di permukaan maupun di dalam perut bumi bumi yang dikuasai oleh Negara. Hal ini secara tegas telah dituangkan dalam pasal 33 UUD 1945 ayat 3 yang berbunyi: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Secara regulasi memang sangat bagus, akan tetapi, dalam prakteknya, jauh panggang dari api. Kekayaan Sumber Daya Alam justru hanya dinikmati sedikit orang, korporasi yang dapat terdiri dari penguasa, pengusaha, dan militer. Tiga komponen ini dalam banyak kasus berjalan berdampingan untuk saling mendukung dan membela dalam menjarah sumber alam bukan untuk hajat hidup orang banyak dan bukan demi kesejahteraan seluruh masyarakat.
Korupsi sumber daya alam sendiri dapat diartikan sebagai penyalahgunaan wewenang dalam mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan diri atau sekelompok orang.
Korupsi sumber daya alam dapat dikatakan sebagai kejahatan yang melanggar hukum terlebih lebih lagi karena akibat yang ditimbulkan baik jangka panjang maupun jangka pendek sangat besar.
Jelaslah bahwa korupsi sumber daya alam tidak sekedar merugikan keuangan negara tetapi juga membahayakan hajat hidup banyak orang di sekitar, khususnya mereka yang terkena dampak langsung dari tindakan eksploitasi sumber alam tersebut.
Pada prinsipnya, pendayagunaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti tertuang dalam pasal 33 UUD 1945 ayat 3 yang telah disebutkan di atas dilaksanakan dengan memperhatikan kelestarian, fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang yang pengusahaannya diatur undangundang.
Akan tetapi, semua ketentuan ini biasanya terlaskana di atas kertas tetapi dalam pelaksanaannya dapat juga berbenturan dengan peraturan khusus yang dapat dipermainkan berkat kerjasama yang rapi antara penguasa dan pengusaha atau pihak yang terkait.
Peluang Korupsi Sumber Daya Alam
Bukan rahasia lagi jika Indonesia memiliki kekayaan alam yang tiada habis – habisnya. Sejak zaman kerajaan, zaman penjajahan, hingga era perdagangan bebas dewasa ini, Indonesia selalu menjadi pusat perdagangan sumber-sumber alam yang kemudian diekspor dan memenuhi kebutuhan banyak orang di belahan dunia lainnya.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sumber daya laut yang luar biasa banyaknya, mempunyai sumber daya kehutanan yang melimpah. Tanah yang subur menjamin berkembangnya perkebunana yang dapat ditanami tanaman-tanaman produksi. Selain itu, di dalam perut bumi Indonesia tersebar melimpah sumber-sumber daya mineral yang menakjubkan.
Sumber-sumber daya alam ini seharusnya sudah menjadi alasan yang mumpui untuk dapat melihat Bangsa Indonesia sebagai Bangsa yang masyarakatnya hidup sejahtera. Namun bukan rahasia umum lagi, sumber-sumber daya alam ini justru menjadi lahan strategis bagi kelompok – kelompok yang tidak peduli pada kesejahteraan umum.
Segala jensi Sumber Daya Alam baik yang dapat diperbarui maupun yang tak dapat diperbarui itu menjadi peluang untuk memperkaya diri sendiri dan korporasinya yang berasal dari luar negeri. Penyimpangan –penyimpangan tersebut semakin merajalela dan seakan tak dapat dikendalikan lagi.
Penyimpangan dalam pengelolaan Sumber Daya alam pada umumnya mencakup penyalahgunaan pemberian dan pelaksanaan ijin, penyalahgunaan pelaksanaan kontrak, dan penyalahgunaan wewenang untuk pengolahan sumber daya kehutanan, kelautan, pertambangan, dan lain sebagainya.
Model-model Korupsi Sumber Daya Alam
Korupsi Sumber Daya Alam memiliki beragam motif sesuai dengan potensi alam yang diolah. Secara umum motif Korupsi Sumber Daya Alam dimulai dari proses perijinan. Biasanya terjadi kolusi antara petugas dan pengusaha dalam rangka pengesahan lahan atau potensi pengolahan.
Pertama, suap atau gratifikasi agar dapat melakukan usaha di daerah pengolahan tanpa izin usaha atau jika ada izin biasanya potensi yang diolah berdasarkan perijinan dilaporkan jauh lebih kecil daripada potensi yang dieksploitasi atau diolah di lapangan.
Kedua, suap atau gratifikasi agar memperoleh Izin Usaha walaupun kawasan atau lahan yang diajukan tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kalaupun lokasi yang dimintakan izin sesuai dengan RTRW, seringkali pengusaha harus membayar untuk mendapatkan Izin Usaha.
Ketiga, suap atau gratifikasi untuk mendapatkan Izin Usaha tanpa Amdal dan/atau izin pelepasan kawasan dan/atau izin lokasi atau dapat melakukan suap atau gratifikasi kepada pejabat penyusun Amdal (Komisi Amdal dan BPLH), agar pejabat penyusun Amdal mempercepat pembuatan Amdal tanpa perlu melakukan verifikasi mendalam terhadap kondisi kelayakan lingkungan atau memanipulasi data dampak terhadap lingkungan.
Keempat, suap atau gratifikasi untuk mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) tanpa izin pelepasan kawasan dan/atau izin lokasi dan/atau Izin Usaha. Dalam proses pengurusan ini, biasanya ada proses tarik-ulur antara perusahaan dan pemerintah terkait yang berkepentingan menerbitkan HGU.
Ada sebagian perusahaan menunda-nunda pengurusan HGU-nya demi menghindari pajak bumi dan bangunan. Anehnya, tidak ada satu pihak pun yang merasa berkepentingan untuk menghukum perusahaan yang menghindari pajak ini. Dari situasi ini, dugaannya, Dinas terkait sepertinya terindikasi menerima suap sehingga tidak melakukan tindakan apapun.
Selain itu, dalam pengajuan ijin baru maupun perpanjangan, pengusaha yang bersangkutan seharusnya melampirkan hasil pekerjaan pemotretan udara, pemetaan, inventarisasi dan pemetaan batas areal kerja pengolahan sumber alam. Pelaksanaan pemotretan dan pemetaan tersebut dapat dilaksanakan oleh pemegang ijin pakai atau pengolahan sendiri atau pihak ketiga.
Kenyataannya, pemberi ijin baru dan perpanjangan ijin pengolahan tetap diberikan oleh aparat terkait kepada pemegang ijin pakai walaupun hasil pekerjaan pemotretan dan pemetaan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini terjadi karena adanya kolusi antara aparat terkait dengan pengusaha yang memegang hak pakai maupun pihak ketiga yang melaksanakan pekerjaan pemotretan dan pemetaan.
Dengan ijin tersebut pengusaha pemegang hak pakai dan pengolahan dapat melaksanakan pengelolaan tanpa memperhatikan potensi dan batas areal pengolahan sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan.
Selain kerugian yang diderita negara, karena penyalahgunaan pemberian dan pelaksanaan ijin, penyalahgunaan pelaksanaan kontrak, dan penyalahgunaan wewenang untuk pengolahan Sumber Daya Alam, pihak – pihak terkait, baik pemerintah maupun perusahaan tidak lagi memperhatikan kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan terutama terhadap masyarakat sekitar maupun juga terhadap kelestarian lingkungan tempat mereka mengolah Sumber Daya Alam.
Tentu saja, masih banyak model korupsi yang dilakukan berkat kolusi antara penguasa dan pengusaha serta pihak-pihak yang terkait dalam pengolahan Sumber Daya Alam
Memimpikan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkeadilan dan Bebas Korupsi
Pengembangan sistem pengelolaan sumber daya alam sebagai bagian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dan berorientasi pada keadilan demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat seluruhnya harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan sumber daya alam yang tepat guna dan tepat sasar.
Keberhasilan untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup serta berkeadilan dapat ditentukan oleh kompetensi, moral dan kemauan aparatur, serta didukung sistem pengendalian manajemen yang efektif dan efisien, perangkat teknologi yang tepat, prasarana & sarana yang memadai, sehingga dapat menghasilkan pengelolaan sumber daya alam yang profesional dan bersih dari korupsi.
Hal yang perlu diingat oleh pihak-pihak terkait yaitu, penguasa, pengusaha dan aparat terkait adalah bahwa pendayagunaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian, fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang yang pengusahaannya diatur undang-undang.
Masyarakat Indonesia tentu saja selalu bermimpi agar pengelolaan sumber daya alam yang juga adalah hak masyarakat benar-benar diolah berdasarkan asas keadilan dan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat dan bangsa Indonesia seluruhnya.
Sdr. Charlest, OFM