Jogjakarta, jpicofmindonesia.com – Pada hari ini (4/10), Gereja semesta memperingati St. Fransiskus, santo pelindung Lingkungan Hidup dan pendiri tiga ordo Dina aliran mendicant. Para pengikutnya yang menyebut diri sebagai keuarga Fransiskan, menjadikan hari ini sebagai hari istimewa, sebuah perayaan, Hari Raya. Para Fransiskan secara khusus merayakan hidupnya yang memberi banyak inspirasi, terutama dalam hubungan dengan semua elemen ciptaan Allah di bawah kolong langit ini.
Fransiskus dan Alam Semesta
Salah satu hal yang menarik hati dan menggelitik hati kita dewasa ini dari semangat St. Fransiskus adalah pendekatannya terhadap realitas alam semesta. Seiring dengan cara pandangnya terhadap alam, ia mengenal dirinya sebagai milik “dari” dan pemilik “atas” planet ini. Ia bagian bahkan anak “dari” bumi ini. Pandangannya inilah yang membuatnya, di mana saja, selalu merasa at home.
Dalam Kidung Saudara Matahari, karyanya, bumi disapanya sebagai “saudari ibu pertiwi”. Dia mengatakan demikian, karena dia benar-benar sadar akan dirinya. Dia sadar bahwa bumi itu sama statusnya dengan dirinya sendiri sebagai ciptaan. Lalu bumi itu juga disebutnya “ibu” karena bumi melahirkan banyak tanam-tanaman untuk memberikan hidup bagi ciptaan lain termasuk untuk kelangsungan hidup manusia.
Akan tetapi ia juga menyadari dirinya bertanggungjawab atas kelestarian bumi. Sebab, siapakah lagi yang diharapkan untuk memlihara ibu kalau bukan anak-anaknya. Begitu juga halnya dengan bumi; siapa lagi yang melestarikannya jika bukan penghuninya. Secara mendalam Fransiskus sadar akan statusnya sebagai pemilik bumi ini. Sebab itu, ia menghargai, memelihara dan mencintainya.
Fransiskus tentu saja pasti beralih dari bumi, tetapi bumi harus tetap lestari dan terus menerus produktif bagi penghuninya yang lain. Bumi, baginya merupakan tempat tinggal sementara. Karena itu ia mengenal dirinya sediri sebagai pengembara yang menetap sementara di bumi ini. Kita, anak zaman moderen, masih harus berjuang membangun keharmonisan hubungan dengan alam semesta. Alam semesta sendiri memang begitu luasnya dan impersonal.
Duniaku, Biaraku
Ada sebuah alegori mengenai Fransiskus, semula, ia dan para saudaranya bersama dengan Tuan Putri Kemiskinan hanya menyantap makanan-makanan sederhana, dan kemudian tidur. Ketika Tuan Putri Kemiskinan bangun, ia minta Fransiskus untuk pergi bersamanya melihat biara mereka. Ia dibawa oleh Fransiskus ke sebuah bukit, lalu di sana ditunjuk baginya oleh Fransiskus suatu horizon luas tanpa tepi, dan berkata, “Ini, Tuan Putri, biara kami”.
Dengan alegori ini, jelas, penulisnya ingin membeberkan apa pemahaman Fransiskus mengenai alam raya. Dunia dilihat oleh Fransiskus bukan sebagai realitas tertutup oleh batas-batas fisik, tetapi sebuah dunia yang pertama-tama rohani. Fransiskus tidak mau geraknya terbatas pada tempat tertentu, tetapi ia mau bergerak ke mana saja roh kehendak membawanya di ruang planet bumi ini.
Mudah, memang, untuk berkata bahwa Fransiskus melihat dunia sebagai sebuah realitas yang berpusat pada Allah, tetapi bagaimanakah kita mengambil bagian dalam pandangannya? Bagaimanakah kita menempatkan pandangan Fransiskus itu dalam konteks kebudayaan sekular kita dewasa ini, sebuah kebudayaan yang tampaknya kurang menghargai sakralitas? Pandangan Fransiskus itu relevan untuk mendobrak arogansi kita yang condong melihat dan menilai realitas secara ekonomis, materialistis.
Pietas
Dalam biografinya, Bonaventura menulis sebuah bab tentang hubungan sang santo dengan dunia natural yang diungkapkan olehnya dengan istilah pietas. Pietas, kata Bonaventura, melingkupi seluruh eksistensi Fransiskus. Pietas itulah yang menariknya kepada Allah dan membuatnya berdamai dengan semua ciptaan.
Terjemahan kata pietas ini kelihatannya asing bagi kita, karena dewasa ini kata piety (dalam bahasa Inggris) telah kehilangan arti etimologisnya. Piety berasal dari bahasa Latin, pietas, yang maknanya mengacu pada kasih, afeksi, dan penyembahan dengan hormat yang mendalam.
Piety merupakan sikap tertentu yang ditampilkan oleh setiap anggota keluarga terhadap satu sama lain. Piety mencakup pengabdian antara suami dan istri, kasih antara saudara dan saudari satu sama lain, dan afeksi antara anak dan orang tua. Pengertian piety juga meluas sampai kepada binatang, tanah, rumah, alat-alat, dan semua ayng meliputi rumah tangga.
Secara fundamental, kata pietas dalam bahsa Latin mengimplikasikan sebuah kesadaran yang mendalam akan perasaan ‘betah di rumah sendiri’. Betah berarti amat merasakan kedamaian dalam hubungan dengan dunia sekitar. Pengabdian Fransiskus kepada Allah yang ditempatkan olehnya di atas segala-galanya, menjadikan semua makhluk di bawah naungan kehadiran Allah sebagai keluarganya sendiri. Semua umat manusia dan ciptaan lain dalam planet lonjong ini, termasuk dalam rumah kediaman yang di dalamnya ia tinggal dengan aman dan tenteram.
Kita Merasa at Home
Jika kita memelihara relasi yang benar dengan Allah Tritunggal, sebagaimana dilakukan oleh Fransiskus, kita akan mengenal cinta dan damai Allah yang berpusat pada hati kita dan pada realitas fisik di sekitar kita. Kita akan menemukan diri kita ‘at home’ di dalamnya. Pada waktu kita melihat orang-orang, tanaman, bintang-bintang, binatang, dsb, maka segera kehangatan memenuhi hati kita. Tanggapan kita menjadi suatu penyembahan dan syukur.
Mengingat arti at home seperti dijelaskan tadi, maka kita tetap sadar bahwa semua makhluk mendapat bagian dalam home yang sama. Tentang hal ini, Thomas merton berkata bahwa, “Alam semesta adalah rumahku, dan saya tidak ada jika bukan darinya”. SELAMAT HARI RAYA ST. FRANSISKUS.
Sdr. Charlest, OFM, diambil dari “Hikmat Fransiskus, Hikmat Kita (Hal. 49-52)