Kita semua diajak untuk kembali ke mentalitas asli yakni menjadi secitra dengan Allah untuk kembali berdamai dengan ibu kita “bumi”. Foto: Blog UMY Community

“Saya menuju ke bulan sebagai seorang ‘ahli teknik’, namun setelah saya kembali ke bumi saya berkomitmen untuk menjadi seorang “ahli kemanusiaan”.

Itulah kalimat yang terlontar dari seorang astronot yang baru kembali ke bumi setelah beberapa waktu berada di bulan. Mendengar kalimat itu aku jadi berpikir dan bertanya apa gerangan yang membuat si astronout itu mempunyai visi seperti itu.

Dalam sebuah video singkat yang boleh kusaksikan, pelan-pelan aku mulai menangkap mengapa ia berkomitmen demikian. Dalam sharingnya ia memaparkan betapa ia bersyukur bahwa ia bisa menuju ke bulan.

Dari jarak yang begitu jauh itulah dia merasakan ada suatu kebanggaan dan kekaguman yang timbul namun timbul juga rasa keprihatinan yang mendalam saat melihat bumi suatu tempat manusia dan semuanya hidup.

Saat di bumi, semua serba terbagi-bagi, ada jarak/pemisah yang begitu nyata. Namun semua itu hilang saat melihat bumi dari jauh. Bumi tetap satu, indah dan menjadi satu-satunya planet yang mampu menjadi ibu, tempat adanya sebuah kehidupan dengan dinamika yang begitu indah.

“Ah…sungguh indah melihat sungai Amazon melekuk, melingkar menyusuri sepanjang hutan Brazil, tidak terkata indahnya” tuturnya.

Namun akhirnya juga ia tidak bisa menutup mata juga pada apa yang sekarang terjadi. Ia bisa melihat dengan jelas bagaimana bumi sedang berada dalam bahaya besar, “ibu” itu menderita sekarang, lapisan ozon berlubang-lubang, lapisan yang melindungi bumi itu makin lama makin meluas.

Lapisan es mulai mencair, warna hitam mendominasi, banyak sampah, kebakaran, asap dan lain-lain. Bumi yang menderita, itulah yang dilihatnya. Dari pengalaman itulah, ia merasakan suatu kepedihan yang mendalam dan akhirnya mengusik lubuk hatinya untuk menambah profesinya, yakni kembali ke profesi awal hakekat semula sebagai manusia yang “ahli kemanusiaan.”

Pengalaman astronout tersebut, semakin menginspirasi kita semua. Saat kita semua mampu mengambil jarak, melihat lebih jauh terutama terhadap ibu kita “bumi”, mau tidak mau kita harus memikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk bumi kita ini.

Bumi kita sekarang menderita, dari bagian atas, bawah bahkan sampai ke kedalaman yang paling dalam karena ulah manusia. Tanpa ampun manusia-manusia yang tidak bertanggungjawab dan rakus terus menerus menguras seluruh isi bumi.

Tanpa ampun mereka menembuskan besi-besi yang besar dan kuat demi perut mereka. Menghancurkan dan membakar habis yang ada di permukaan untuk sebuah barang yang bernama “uang dan kebahagiaan fana”  tanpa menyadari bahwa semua itu ada batasnya.

Kelimpahan harta dan kemewahan telah membutakan mata hati dan membuat pihak-pihak tertentu tak lagi memikirkan esensi dari bumi tersebut untuk sekarang dan generasi masa mendatang.

Hakekat bumi sebagai ibu atau sumber kehidupan kini telah berubah menjadi ibu yang menderita, yang tidak bisa menjadi sumber kehidupan, namun berbalik menjadi jahat.

Kita mungkin sering mendengar istilah alam sedang marah terutama saat terjadi gunung meletus, longsor, tsunami, gempa bumi dan bencana lain yang menimbulkan banyak korban, kerugian baik material dan spiritual. Saat itulah kita sering lupa.

Harusnya kita lebih peka kenapa semua itu terjadi, ya karena hakekat ibu itu telah berubah menjadi kebinasaan. Mengapa? Karena manusia sendiri juga tidak lagi ingat pada hakekat manusia yang sesungguhnya, yakni secitra dengan Allah seperti pada kitab Kejadian pada pencipataan awal.

Perubahan sikap manusia menjadi pemicu utama berubahnya hakekat bumi.Kini bumi sangat menderita, tidak ada damai antara bumi dan manusia, bumi terluka, sebagian besar manusia juga terluka. Semua serba berebut, berebut makanan, berebut tempat, berebut air, berebut minyak bahkan berebut kehidupan.

Hal ini tentu menjadi keprihatinan kita sebagai anggota dari warga bumi, sebagai anggota gereja pada umumnya dan secara khusus sebagai sorang warga fransiskan yang khas dengan JPIC-nya, yang mana bapa kita St. Fransiskus Asisi adalah seorang pencinta alam, pelindung lingkungan dan seabrek istilah lainnya.

Ini menjadi tamparan berat bagi kita semua. Apa yang bisa kita lakukan? Tindakan nyata apa yang bisa kita lakukan untuk sedikit demi sedikit mengusap air mata “ibu” kita? Menjahit kembali hati “ibu” kita yang terluka? Obat dan suntikan apa yang bisa kita berikan untuk mengembalikan vitalitasnya kembali?.

Maka kita harus berjuang terus entah apapun profesi kita, entah kita seoarng pater, bruder, frater, suster, sdra dan sdri dengan beranekaragam profesi/keahlian. Pater yang ahli hukum, ataupun sdra yang ahli moral, teknik, kesehatan, guru.

Maka kita semua diajak untuk meraih suatu keahlian yang telah banyak dilupakan orang yakni menjadi manusia yang ahli “kemanusiaan”, manusia yang berprofesi untuk menghidupi bidang manusia, membawa kembali hakekat manusia dan mentalitas asli manusia yakni secitra dengan Allah yang kembali berdamai dengan ibu kita “bumi”.

Mungkin sebagian dari kita sudah banyak yang mengusahakan terutama dalam program-program karitatif, dalam aksi-aksi nyata di lingkungan sekitar seperti mengurangi penggunaan plastik, membuat pupuk organik, memananm pohon dan lain-lain.

Namun seperti ungkapan bapa kita sendiri St. Fransiskus Asisi “Marilah kita mulai lagi, sebab kita belum berbuat apa-apa”. Maka kita harus terus memulai dan memulai lagi karena ada istilah mengatakan bahwa tidak akan ada kedamaian di bumi selagi kita tidak mau berdamai dengan bumi itu sendiri.

Sr. M Ludgeri, FCh

 

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

2 × one =