“Siapa kita? INDONESIA! Bagaimana kita? Bhineka Tunggal Ika!!”
Pekikan ini berulang-ulang secara lantang diteriakan masa yang bergabung dalam parade kebhinekaan pada hari Sabtu, 19/11 di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta.
Parade yang digelar dari Jalan Medan Merdeka Selatan hingga Tugu Tani ini menampilkan keragaman Indonesia dengan kehadiran masa yang memakai beragam atribut budaya Indonesia.
Salah seorang pemimpin parade, Nia Sjarifudin mengungkapkan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kembali kebhinekaan Indonesia. Hal ini menurut dia perlu dilakukan sebab belakangan ini bermunculan penebar kebencian.
“Parade kebhinekaan mengingaktkan publik bahwa kebhinekaan adalah jati diri bangsa. Sama sekali tidak boleh dilemahkan apalagi dihilanglan”.
Parede Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan
Para Saudara Muda OFM juga terlihat antusias dan begitu bersemangat dalam menghadiri kegiatan ini. Kehadiran mereka adalah untuk menunjukkan kecintaan mereka pada Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI).
Sdr. Haward, OFM menegaskan komitmen kebangsaan dengan mengenang perjuangan para founding fathers. “Keutuhan NKRI adalah cita-cita para pendiri bangsa, hal itu telah mereka perjuangkan. Tugas kita adalah untuk mempertahankannya” ujarnya.
Menurut mantan ketua Forum Komunikasi Saudara Muda Fransiskan (FORKASI) ini, kegiatan itu merupakan komitmen kefransiskanannya. “Bagi saya, keutuhan NKRI adalah sebuah cita-cita Fransiskan yang harus diwujudkan dalam konteks Indonesia. Menjaga keutuhan NKRI, seluruh suku, agama, budaya, dan bahasa adalah bagian integral dari panggilan Fransiskan,” lanjutnya.
Sementara itu, Sdr. Mikael Gabra Santrio, OFM, yang sekarang menjabat sebagai Ketua FORKASI melihat keterlibatannya sebagai bagian dari cita-cita Fransiskan untuk mewujudkan Keadilan dan Perdamaian.
“Pada dasarnya panggilan Fransiskan adalah untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian. Dalam konteks Indoneisa, para Fransiskan mesti aktif menyuarakan keadilan dan mewujudkan perdamaian,” tegasnya.
Menurut Fransiskan asal Laci, Cibal ini, parade kebhinekaan yang merujuk pada situasi kebangsaan akhir-akhir ini menyadarkan kembali bahwa cita-cita mewujudkan keadilan dan perdamaian adalah hal yang mesti terus menerus diperjuangkan.
“Meski bangsa ini telah 70 tahun menikmati kemerdekaan, cita-cita keadilan dan perdamaian adalah hal yang harus diperjuangkan terus menerus. Selalu ada pihak yang berusaha merusak kemerdekaan melalui ketidakadilan dalam kehiduap sehari-hari dan juga semakin banyaknya gerakan yang merong-rong rasa damai,” pungkasnya.
Berani hidup dalam keragaman
Keberagaman bangsa Indonesia adalah peluang dan tantangan. Jika ingin memperjuangkan kebhinekaan, salah satu syarat mutlak adalah berani hidup dalam keragaman.
Hal ini diungkapkan Pater Frumen Gions, OFM, dosen STF Driyarkara yang juga hadir bersama para saudara muda di tengah ribuan masa.
“Indonesia khas dengan keberagaman. Budaya, Agama, Suku, dan lain-lain. Hal itu adalah kekayaan yang mesti dipertahankan. Semua orang harus hidup secara otentik mewarisi apa yang ia miliki baik itu, suku, agama, budaya, dan lain sebagainya itu,” ungkapnya.
Syarat yang diperlukan adalah keberanian untuk hidup dalam keragaman. “Saya pikir, nilai-nilai Pancasila mengilahmkan kita akan pentingnya keberanian untuk hidup dalam keragaman. Dengan keberanian itu, kita dapat mempertahankan Pancasila dan hidup dalam kebhinekaan tunggal ika,” jelas dosen Teologi Moral ini.
Memperjuangkan kebhinekaan tunggal ika adalah tugas seluruh elemen bangsa. Demikian juga para Fransiskan adalah elemen bangsa yang mesti berjuang sekuat tenaga mewujudkan semangat luhur St. Fransiskus dan semangat Injil dalam konteks Inddonesia.
Sdr. Charlest, OFM.