Salah satu hasil keputusan dalam Kapitel Provinsi OFM Indonesia yang dilaksanakan pada tahun 2016 adalah semakin membiasakan diri untuk berdialog dengan agama lain terlebih khusus umat muslim dalam kehidupan konkret.
Dialog adalah salah satu spirit penting yang diwariskan St. Fransiskus kepada para pengikutnya 800 tahun silam. Dialog menandakan adanya sikap terbuka terhadap perbedaan, atau dalam konteks Indonesia disebut kebhinekaan.
Untuk melaksanakan amanat tersebut, komunitas fransiskus mengadakan suatu acara dengan judul dialog antar agama. Dialog ini dikemas dalam bentuk sharing di bawah tema “Islam dalam Kebhinekaan”.
Yang diundang sebagai pembicara adalah Moch. Indra Purnama, seorang muslim kenalan Sdr. Frumens Gions OFM. Sharing “agama” ini dilaksanakan di ruang pertemuan komunitas Fransiskus pada tanggal 29 November 2016.
Dalam pengantar sharingnya, Indra mengatakan bahwa kebhinekaan tidak hanya dilihat sebagai suatu keunikan dari bangsa Indonesia melainkan mesti menjadi sebuah prinsip dalam hidup berbangsa dan bernegra.
Suatu prinsip yang melandasi segala dinamika yang ada. Indra juga menyinggung mengenai kelompok radikal yang ada dalam kalangan muslim.
Indra sendiri pernah ditawari oleh salah satu kelompok radikal tersebut untuk ikut menjadi anggotanya. Ia sempat selama beberapa saat menjadi anggota kelompok tersebut, tetapi karena kesadaran dan kenyataan akan kebhinekaan ia memutuskan untuk keluar. Ia sendiri menyadari bahwa prinsip kebhinekaan perlu diterapkan dalam kehidupan berbangsa yang plural ini.
“Kita tidak bisa memaksakan dan mematok kebenaran atas dasar keyakinan kita. Kita boleh meyakini sesuatu tetapi tidak secara otomatis mengabaikan keberadaan yang lain. Pada intinya keberagaman yang ada harus mampu menghantar orang pada suatu taraf hidup yang damai,” ungkapnya.
Pentingnya Kenisbian
Dalam sharingnya, Indra yang sehari-hari bekerja di kementrian perhubungan mengungkapkan pentingnya ada kenisbian/ keraguan dalam menerima sesuatu. “Yang paling parah dalam diri seorang manusia adalah ketika tidak lagi menyisihkan kenisbian di dalam dirinya terhadap sesuatu yang diterimanya. Segala sesuatu diterima sebagai kebenaran yang mutlak tanpa ada keraguan sedikitpun,” jelasnya.
Tidak hadirnya kenisbian atau keragu-raguan itu menjadi salah satu penyebab banyaknya pengikut kelompok dengan ideologi-ideologi radikalis. “Bayangkan saja, orang dengan rela dan santai mendaftar diri untuk menjadi pelaku bom bunuh diri. Orang tidak lagi memiliki keraguan sedikitpun tetapi menerimanya sebagai kebenaran yang mutlak,” terangnya sambil memberikan contoh beberapa kasus bom bunuh diri yang pernah terjadi.
Sdr. Frumens Gions, OFM mengamini apa yang diungkapkan sahabtanya itu. “Itulah kerja Filsafat,” ungkap dosen teologi Moral yang sehari-hari mendampingi para Frater di komunitas Fransiskus.
“Melalui filsafat, para Frater belajar untuk selalu menyisakan ruang tanya untuk segala sesuatu, bahkan yang disebut kebenaran. Tidak ada kebenaran yang diterima secara membabi buta. Para Frater belajar untuk mempertanyakan kebenaran tersebut,” lanjutnya.
Mempersiapkan Generasi Muda
Berdasarkan pengalaman Indra yang sedang melanjutkan studi di Universitas Negri Jakarta (UNJ) ini, sasaran kelompok radikal adalah orang muda yang sedang pada usia-usia labil.
“Yang mereka sasar adalah anak-anak SMA dan juga anak-anak kos yang jauh dari orang tua. Kelompok usia ini gampang diarahkan untuk masuk dalam ideologi tertentu,” ungkapnya.
Indra mengajak semua peserta diskusi untuk terlibat memperjuangkan kebhinekaan dengan cara masing-masing, terutama menemani kaum muda agar mampu menyaring setiap informasi yang mereka terima dengan baik.
Selain itu, para frater diajaknya untuk memberikan masukan dan informasi-informasi yang dapat mendorong kaum muda lebih mampu memelihara kebhinekaan.
“Karena itu, tugas kita adalah mendampingi dan mempersiapkan orang muda agar mereka dapat menyangkal ideologi-ideologi radikal yang tidak sesuai dengan semangat kebhinekaan dan jiwa Pancasila,” tutupnya.***
Sdr. Fischer Dois, OFM & Sdr. Charlest, OFM