Di negeri ini, kepemimpinan politik beserta pelbagai sistem yang membangunnya acap terjerat dalam perangkap-perangkap ketiakmanusiawiaan.
Politik menjadi tidak manusiawi manakala ia dikonstruksi di atas paradigma politik win-lose (hadang-menghadang, sikut-menyikut, sikat-menyikat, baik secara emosional ataupun fisik; berusaha untuk selalu berada di atas orang lain; menjelek-jelekkan orang lain supaya diri sendiri tampak baik; dan kalap melihat yang lain sebagai bumerang yang harus ditumpas).
Dalam kerangkeng politik semacam ini, masing-masing orang atau faksi berkukuh untuk menang (win). Jarang ditemukan orang yang legowo menerima kekalahan (lose). Maka, untuk konteks politik praktis di Indonesia, mencari orang yang legowo bagaikan mencari perawan di tempat pelacuran.
Berangkat dari tesis di atas, maka tidaklah mengherankan jika banyak penguasa incumben bersikukuh mempertahankan status quo: membangun benteng pertahanan, menciptakan garis lintang, dan membentangkan terusan demarkasi terhadap rival-rival politiknya.
Pada tataran ini, politik teredusir, di mana politik hanya dilihat sebagai gelanggang kompetisi besar untuk memperebut dan mempertahankan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan.
Ketika politik dalam kenyataannya hanyalah ajang pertarungan merebut dan mempertahankan kekuasaan, membuang dan mengumpulkan uang, maka sundulan pertanyaan yang paling ekstrem adalah apa itu politik?
Dalam situasi chaos semacam ini, batasan politik yang diajukan Lasswell (1972) barangkali sangat representatif, bahwa politik adalah urusan siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana (who gets what, when, and how).
Indeks tesis Lasswell ini semakin menguat manakala dalam banyak kesempatan, kita acap menyaksikan politik kian terbajak elite. Karena dibajak terus-menerus, politik akhirnya mengalami pergeseran secara paradigmatis.
Politik tidak lagi dilihat sebagai sebuah seni atau cara (techne) untuk merengkuh kebaikan dan kesejahteraan bersama dalam polis, tetapi sebaliknya, politik teredusir dan tersuntik oleh berjubel kepentingan primordial yang tidak menyehatkan.
Politik sudah mengalami percampuran dan penyilangan antara yang asli dan tiruan, utopia dan kebenaran, bayang-bayang (simulakrum) dan realitas, serta kebenaran dan kepalsuan.
Semua gejala ini menggiring kita pada sebuah skeptisisme besar terhadap politik dan perangkat-perangkat pembangunnya. Rasa skeptis itu kian menguat manakala lembaga-lembaga yang sebetulnya merepresentasi kepentingan politik rakyat belum sepenuhnya mampu menunjukkan tanggung jawab secara holistik.
Bahkan, tidak jarang pejabat politik maupun pejabat publik lebih condong berpihak pada kepentingan-kepentingan primordial yang hanya memberikan keuntungan besar bagi diri, keluarga, dan kongsinya.
Mereka terkesan apatis atau mungkin pura-pura apatis dengan kepercayaan yang sudah rakyat limpahkan ke atas pundak mereka. Janji pada masa-masa kampanye untuk memperhatikan nasib rakyat hanya tinggal janji. Kekuasaan itu kini didistribusi sebagai milik pribadi dan untuk kepentingan pribadi pula.
Inilah narasi politik yang menampilkan manusia-manusia yang lebih mementingkan diri sendiri (selfish man) seperti dilukiskan Thomas Hobbes, yaitu manusia-manusia yang dapat melakukan apa saja atas manusia lain demi untuk memenuhi hasrat dan kepentingan primordialnya.
Manusia-manusia selfish man versi Hobbes ini bisa menghalalkan segala cara, termasuk mengomodifikasi dan mengeksploitasi orang lain. Pada spektrum ini, ruang politik menjadi semacam arena “perang semua melawan semua”—arena jatuh-menjatuhkan, umpat-mengumpat, sikat-menyikat, dan sikut-menyikut antara pelbagai kekuatan gigantik yang berdiri dengan goal dan orientasi masing-masing.
Dalam arena percaturan ini, jarang kita temukan orang-orang yang dengan rela hati mau mengalah (lose). Semua orang ingin menang (win). Entah bagaimanapun caranya. Maka, tak pelak, segala cara pun dihalalkan.
Orang yang dulunya menjadi kawan bisa saja dilihat sebagai lawan yang membahayakan. Dalam pentas semacam ini, politik “mati suri” tidak saja oleh kekuatan mesin-mesin money politics, tetapi terlebih oleh kekacauan mentaliatas dan moralitas para pelakonnya, yang Hobbes sebut sebagai selfish man.
Para selfish man tidak akan pernah mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan orang lain, karena yang dipikirkannya hanyalah tujuan dan keuntungan pribadi. Bahkan, untuk mendulang kepentingan-kepentingan pribadi tersebut, mereka tidak jarang memanfaatkan dan mengorbankan sesama, terlebih rakyat kecil dan tak berdaya.
Rakyat diintrumentalisasi dan diperdaya dengan sekelebat janji manis. Ketika belum menjadi pemimpin, mereka mengeluarkan suara-suara kritis berdaya transformatif terhadap sekelumit kejanggalan yang sedang diidap bangsa ini.
Rakyat selalu diiming-iming dengan sejumlah janji dan program yang begitu mentereng dan populis. Namun, ketika sudah berhasil menggenggam kekuasaan, gema nyaring suara profetik-transformatif itu semakin hambar dan tak kedengaran lagi.
Di sinilah rakyat baru sadar bahwa ternyata mereka sudah menjadi komoditas politik para politisi cerdik dan tengik; Mereka (rakyat) menjadi korban politik yang suka bohong. Dalam wajah politik semacam ini, kebenaran dan kepalsuan sulit dibedakan; kebaikan dan kejahatan bercampur-aduk tak karuan, laksana “juice” yang tidak menyehatkan, yang bisa membuat perut kalang kabut. Dan, persis itulah yang dirasakan rakyat saat ini: dibuat kalang kabut oleh mesin politik yang olinya adalah kebohongan.
De facto, politik memang tidak pernah luput dari aneka kecemasan, kisah pahit, cerita manipulasi, derama nepotisme plus kolusi, dan peristiwa tabrakan mesin-mesin kepentingan. Dalam politik, segala kemungkinan bisa saja terjadi; kebenaran dan kepalsuan, nurani dan tirani, serta kejujuran dan penipuan.
Bahkan, orang bisa “mati kutu” akibat politik yang nakal. Pada koridor ini, Einstein barangkali benar ketika memberi tegasan, bahwa politik memang benar-benar rumit, bahkan lebih rumit dari fisika, karena dalam fisika orang bisa berpikir lurus sesuai pola rumus yang ada, tetapi, dalam politik, orang bisa kalang kabut karena terlalu banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Maka, hati-hatilah dengan politik!
Sdr. Joan Udu, OFM, Mahasiswa Tingkat III STF Driyarkara Jakarta