‘Konsumerisme’ adalah paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan dan sebagainya.
Konsumerisme juga dapat diartikan sebagai sebuah gaya hidup yang tidak hemat. Di depan mata fransiskan, ia tampil molek sebagai penggoda Tuan Puteri Kemiskinan.
Istilah ‘konsumerisme’ tentu asing di telinga masyarakat Assisi awal abad XIII. Meski demikian, karakteristik konsumerisme kala itu sudah tampak meski dalam bentuk yang berbeda dengan sekarang.
Kesamaan yang menonjol adalah anggapan bahwa materi atau barang-barang duniawi merupakan jaminan untuk mencapai kebahagiaan, kehormatan, dan berkat.
Pengalaman Fransiskus
Karakteristik konsumerisme itu kental dalam lingkungan keluarga jasmani Fransiskus. Ayahnya merindukan anaknya mengikuti jejaknya sebagai pengusaha.
Bahkan, sebelum bertobat, semangat Fransiskus begitu berkobar-kobar guna menyabet gelar elite kala itu: ksatria. Baik status ekonomi (pengusaha) maupun sosial (ksatria, bangsawan) dipandang sebagai jaminan kebahagiaan.
Spoleto adalah titik balik Fransiskus dalam pengejarannya akan kebahagiaan. Dalam mimpinya, seorang bertanya kepadanya: “siapa yang dapat berbuat lebih banyak kepadamu: tuan atau hamba?”. Fransiskus menjawab: “Tuan.” Lalu kata orang itu: “Kalau begitu, mengapa engkau meninggalkan tuan ganti hamba?”.
Fransiskus sadar, selama ini, ia telah salah arah dalam usahanya mengejar kebahagiaan. Kebahagiaan sejati ternyata bukan dari harta duniawi dan nama besar. Sapaan Tuhan di Spoleto mengubah seluruh orientasi Fransiskus.
Mapan secara ekonomi dan harum secara sosial bukan lagi tolok ukur kebahagiaan. Sekarang, Tuhan yang menjamin keselamatan adalah jaminan kebahagiaannya.
Lebih dari itu, harta duniawi dipandangnya sebagai halangan untuk melayani Allah. Di hadapan Uskup dan ayahnya serta orang banyak, ia berkata: ‘Dengarlah kalian semua dan hendaklah paham. Sampai sekarang Pietro Bernadone ialah ayah saya.
Akan tetapi karena saya bermaksud melayani Allah, uang yang ia ributkan, saya kembalikan beserta dengan segenap pakaian yang saya dapat dari harta miliknya’ (Kisah Tiga Sahabat, 20).
Aksi menelanjangi diri itu merupakan ungkapan kasat mata akan totalitas penyerahan diri Fransiskus pada Allah. Bahkan, Fransiskus memandang ikatan-ikatan duniawi sebagai penghalang yang dapat mengekang dia untuk bergerak mengecap kemanisan Allah.
Karena perhatiannya hanya kepada Allah saja, Fransiskus menanggap harta dan jaminan duniawi menjadi tidak berarti lagi. Ia telah dan hanya menemukan Allah, sang Sumber Kebahagiaan Sejati.
Menelanjangi diri adalah aksi paling radikal, total, dan habis-habisan, seolah-olah tidak ada cara lain lagi untuk menggambarkan kecintaannya kepada Tuhan. Kerendahan dan kemiskinan itu, dengan demikian, merupakan konsekuensi (dan bukan syarat) untuk mengikuti Kristus ‘yang membuat dirinya miskin di dunia ini untuk kita’ (Kis. 3:6). Di sanalah, yakni bersama Allah, ia menemukan kebahagiaan yang sejati.
Mengendalikan Badan
Fransiskus sadar bahwa cara hidupnya dan hidup para saudaranya tidak dapat lepas dari dunia dan tantangannya. Untuk itu, Fransiskus mengingatkan agar ‘Hendaklah kita melindungi diri kita terhadap kebijaksanaan dunia ini dan terhadap kecerdikan daging’ (AngTBul. XVII).
Fransiskus yakin bahwa kebijaksanaan dunia dan nafsu-nafsu kedagingan harus diwaspadai oleh setiap pribadi saudara sendiri. Melindungi diri dari kebijaksanaan dunia dan kecerdikan daging berarti seorang saudara mesti belajar mengendalikan dirinya sendiri di hadapan tawaran yang menggodanya.
Kata ‘melindungi diri’ berbentuk dan bermakna aktif. Seorang saudara harus melindungi dirinya sendiri dari setiap godaan yang datang dari dalam dan luar dirinya. Melindungi diri dari godaan dari luar barangkali dapat dipikirkan. Namun, bagaimana melindungi diri dari godaan yang datang dari dalam diri saudara sendiri?
Dalam petuahnya, Fransiskus menyebut ‘badan’ sebagai musuh yang menyebabkan orang jatuh ke dalam dosa. “Banyak orang cenderung untuk mempersalahkan setan atau sesama kalau mereka jatuh ke dalam dosa atau mengalami kelaliman. Padahal tidak demikian, sebab setiap orang mempunyai musuh dalam wilayah kekuasaannya sendiri, yaitu badan, yang menyebabkan ia jatuh dalam dosa” (Petuah X:1-2).
Kata ‘badan’ dapat berarti ‘egoisme’ atau ‘kecenderungan untuk menjadikan diri sendiri sebagai yang paling utama’. Akibatnya, segala sesuatu diukur secara subjektif demi kepentingan diri sendiri. Kecenderungan badaniah inilah yang memicu prilaku konsumtif, apapun dilakukan demi menjamin kebahagiaan diri sendiri.
Inilah yang disebut spiritus carnis (roh kedagingan). Ia hidup dalam hati setiap orang. Jika tidak dikendalikan, spirit ini mengantar orang pada dosa karena yang menajiskan adalah “segala sesuatu yang keluar dari hati orang” (Mrk. 7:21-23).
Bagaimana melawan musuh jenis ini? Petuah Fransiskus berlanjut: “Maka berbahagialah hamba yang senantiasa menjaga musuh itu sebagai tawanan yang diserahkan ke dalam kekuasaannya dan dengan bijaksana melindungi diri terhadapnya. Sebab selama ia berbuat demikian, tidak akan ada musuh lainnya, baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan, yang dapat merugikan dirinya” (Petuah X:3-4).
Badan adalah musuh terdekat yang harus ‘dijaga’ oleh setiap saudara sendiri. Seorang saudara memiliki ‘kuasa’ atas badannya (diri) sendiri. Hanya saudara sendiri yang berkuasa memilih apakah ‘lebih mengasihi badan daripada jiwa’ (AngTBul. X:4). Ada ruang dalam diri manusia (ruang eksistensial) yang tidak bisa diatur orang lain. Di sinilah ruang pengendalian diri yang butuh kedewasaan untuk menjalankannya.
Maka, setiap saudara harus selalu bertanya ke dalam diri: apakah sesuatu itu sungguh penting untuk saya pakai? Apakah sesuatu itu merugikan diri saya dan orang lain atau tidak? Apakah ada alternatif lain yang lebih ekonomis dan ekologis? Dengan beragam pertanyaan reflekstif seperti itu, cita-cita untuk melawan godaan konsumtif dapat dilakukan dengan taktis dan terencana.
Tentang Memiliki
Di satu sisi, seluruh hidup dan karya pelayanan kita tidak bisa lepas dari materi (terutama uang) yang sangat dibutuhkan guna menjalankan program-program evangelisasi dan pelayanan. Di sisi lain, para fransiskan menghayati spiritualitas kemiskinan sebagai kekhasan hidupnya.
Lalu, apa pengangan kita? Barangkali dua inspirasi berikut membantu kita melawan godaan konsumerisme dalam pelayanan. Pertama, para fransiskan menggunakan ‘barang pinjaman Allah’ dan hidup sebagai musafir dan perantau di dunia ini (bdk. AngBul. VI:2).
Kita adalah perantau yang menumpang di rumah-rumah biara atau gereja. Keadaan itu diberikan Sri Paus semata-mata untuk membantu beliau melayani Gereja-Nya (bdk. SurOr. 30; Was. 24).
Jadi, para saudara memiliki fasilitas yang dipinjamkan oleh Allah untuk dipakai (ad usum) demi pelayanan kepada Gereja, bukan untuk kepentingan sendiri.
Dan, kedua, semangat kemiskinan mendorong para fransiskan untuk lebih peka dan peduli pada orang miskin yang ada di sekitar mereka. Fransiskus mengingatkan para saudaranya agar hidup sebagai orang-orang dina ‘di tengah orang miskin dan lemah’(AngTBul. IX:2).
Fransiskan harus peka pada masalah kemiskinan dan harus berani mengatakan: ‘cukup’. Apa yang kita punya lebih (bakat, uang, fasilitas, dan sebagainya) hendaknya dibagikan kepada orang miskin. Fransiskus menasehati kita: “Saudara, apabila engkau melihat seorang miskin, di depanmu ada sebuah cermin Tuhan dan bunda-Nya yang miskin” (2 Cel. 85).
Penutup
Akhirnya, konsumerisme adalah sebuah paham tertentu tentang kebahagiaan. Sebagai sebuah paham, konsumerisme tidak tanpa kelemahan. Ia bergantung total pada otonomi dan pilihan manusia itu sendiri. Para fransiskan adalah pribadi yang otonom dan memilih mengakar pada spiritualitas Kemiskinan Suci Fransiskus.
Para fransiskan tidak menganggap materi dan harta benda sebagai jaminan kebahagiaan. Sebaliknya, mereka memilih melayani kemiskinan dan berani mengatakan ‘cukup’ pada bantuan duniawi. Jika itu dirawat kuat, maka konsumerisme bisa menjadi paham tidak laku dalam lingkungan Fransiskan.***
Sdr. Yornes Panggur OFM