Oleh: Fransiskus Borgias

Pengantar

Saya awali tulisan ini dengan kesaksian sbb: J.Verheijen SVD, dalam Dictionary of Manggarai Plant Names, pernah mengucapkan kalimat menarik sehubungan dengan pengetahuan orang Manggarai akan tumbuhan:

“Unfortunately this knowledge is beginning to decline very strongly for various reasons, among which: the reduction of waste land owing to reclamation and development schemes, the use of synthetic products, of iron, cement, etc., and the alienation from nature caused by long years of school attendance.” (p.2; miring dari saya).

Saya tertarik dengan faktor terakhir: sekolah di Manggarai menyebabkan orang terasing dari alam sekitarnya sehingga mereka tidak tahu lagi alam sekitar terutama nama tumbuhan hutan, padahal dulu (sampai 70an), masih kata Verheijen, rata-rata orang tua di kampung bisa menyebut dan mencirikan dengan jelas setidaknya 700 jenis tetumbuhan di sekitar mereka (p.2).

Tentu tumbuhan itu masih ada di sana; ada yang hilang, tetapi pengenalan akan mereka mengalami kemerosotan drastis karena alienasi akibat proses sekolah yang mencerabut orang dari akar kultural dan natural.

Pengenalan alam amat perlu bagi mereka karena mereka hidup dari alam. Jika ada krisis musim kering dan kelaparan, orang Manggarai akan ke mensa naturalis itu mencari makan (p.1). Untuk itu perlu pengetahuan yang baik akan pelbagai jenis tetumbuhan, mana yang beracun, mana yang bisa dimakan, mana yang bisa langsung dimakan, mana yang bisa dimakan setelah diolah dengan proses tertentu.

Jika sakit, mereka mencari obat dari alam. Jika mau menangkap ikan mereka mencari racun alam (tuwa). Lauk diambil dari alam, wate, ulu wani, londek ndesi, owak, longa, koja, wini ndesi, lia, nggurus, laja, pane, dll., Orang Manggarai hidup dari alam.

Ekaristi: Fons et Culmen

Saya mengangkat pembukaan bernada ekologis itu agar bisa menarik paralelisme antara proses pendidikan dan proses liturgi. Jangan sampai proses liturgi kita mendatangkan fenomena alienasi seperti di atas dari alam, dari sesama, apalagi dari Tuhan, tentu ini contradictio in terminis, tetapi bisa terjadi.

Seharusnya pendidikan katekese liturgi kita jangan sampai memunculkan fenomena alienasi dari alam. Pendidikan kita harus terarah kepada cinta akan alam.

Tahun 2015 kita rayakan 50 tahun ditutupnya Konsili Vatikan II (1965). Itu adalah peristiwa gerejawi bersejarah. Konsili menghasilkan banyak dokumen penting. Salah satunya ialah dokumen liturgi suci, Sacrosanctum Concilium. Tetapi artikel ini bukan membahas dokumen tersebut. Saya hanya menyebut beberapa hal mendasar yang perlu.

Menurut penetapan konsili, ekaristi merupakan sumber dan puncak (fons et culmen) aktifitas liturgi. Artinya, semua aktifitas liturgis kita harus menimba ilham dan semangat dasar dari ekaristi (fons) dan akhirnya harus memuncak dalam perayaan ekaristi (culmen). Itu adalah model dasar yang menjadi keharusan bagi kita sebagai orang Katolik.

Kita merayakan liturgi sebagai orang Katolik; tiap hari minggu kita rayakan ekaristi, sebagai sumber dan puncak seluruh aktifitas liturgi kita. Ada yang merayakannya tiap hari. Pertanyaannya, bagaimana menanamkan kesadaran agar orang yang tekun berliturgi jangan sampai terasing dari alam.

Memang selalu ada tegangan antara ibadah (liturgi) dan upaya perwujudan nilai JPIC. Bagaimana mensinkronkan tegangan itu. Ada orang yang tidak peduli pada penderitaan orang lain dan alam, tetapi rajin beribadah. Sebaliknya, ada juga orang yang sibuk melakukan aktifitas kepedulian ekologis, tetapi tidak berdoa.

Setelah lewat limapuluh tahun, sudah saatnya kita kini bertanya kritis sejauh mana dokumen itu menampung kepedulian etis-ekologis? Mungkin pertanyaan ini rada anakronistis, sebab kepedulian akan JPIC baru muncul tahun 80an walaupun sebagai sebuah isu, JPIC adalah isu abadi.

Ekaristi yang Kosmis-Ekologis

Di bawah ini saya menampilkan beberapa refleksi personal. Saya fokus pada perayaan ekaristi. Liturgi kita adalah perayaan iman. Sebagai perayaan iman ia harus berciri pembebasan dan pemberdayaan, harus mengandung daya pembebasan. Jangan sampai perayaan iman itu mendatangkan belenggu bagi kita.

Puncak dan sumber liturgi ialah ekaristi. Karena itu, saya langsung menukik ke perayaan ekaristi untuk melihat beberapa aspek yang bisa menjadi titik refleksi ekologis kita terkait JPIC. Dalam perayaan ekaristi ada banyak aspek yang bisa dipakai sebagai peluang untuk melakukan penyadaran akan JPIC.

Idealismenya ialah jangan sampai perayaan liturgi mengasingkan kita dari sebuah relasi. Perayaan itu harus mengasyikkan bagi kita juga dalam relasi etis-kosmis dan etis-teologis. Tetapi bagaimana hal itu dapat dilakukan dalam perayaan ekaristi? Mungkin tidak bisa dilakukan di dalamnya, tetapi terlebih dalam katekese (persiapan) Ekaristi.

Di bawah ini saya mengemukakan beberapa contoh yang bisa dipakai sebagai upaya penyadaran akan dimensi ekologis liturgi, keterkaitan ekaristi dengan JPIC. Misalnya, ekaristi kita awali dengan Confiteor (Saya Mengaku).

Katekese ekaristi harus menyadarkan umat bahwa dosa kita bukan hanya kepada Tuhan, dan sesama tetapi juga kepada alam. Sebenarnya dalam Confiteor ini sudah tercakup unsur alam, asal kata saudara yang ada di sana dipahami secara fransiskan, semua makhluk ciptaan adalah saudara.

Kalau tidak ada kesadaran itu memang susah. Mungkin dalam konteks itu perlu ditambahkan, dalam perayaan ekaristi konsientisasi bagi kelompok khusus, rumusan kongkret sbb: saya berdosa kepada tetumbuhan, kepada nasi, kepada kuda, anjing, babi, ikan, dst dst.

Dengan itu, orang bisa teringat bahwa dosa mempunyai dimensi etis kosmis-ekologis. Pengakuan pun harus berdampak etis kosmis, sehingga rekonsiliasi dialami dan dirayakan dalam bingkai kesadaran yang sama. Indah, bukan?

Kemuliaan (Gloria) juga harus ada aspek alam. Untuk itu perlu katekese liturgi khusus. Misalnya memberi penyadaran bahwa Gloria itu juga bukan hanya doa teologis melainkan juga doa kosmis-ekologis. Sebab pada awalnya dikatakan, “Gloria in excelsis deo, et in terra pax hominibus bonae voluntatis.”

Dalam konteks ini penyadaran akan “et in terra pax” itu penting. “Dan damai di bumi.” Artinya? Damai dalam relasi antar manusia di bumi, dan damai dalam relasi manusia dengan ibu bumi, sebuah idealisme dalam visiun masa depan kerajaan Allah ala Yesaya itu.

Doa Syukur Agung

Poin ketiga ialah Doa Syukur Agung (DSA). DSA adalah bagian terpenting dalam ekaristi sebab dalam bagian itu terdapat kata-kata konsekrasi yang menandai saat terjadinya misteri perubahan wujud (transubstansiasi), dari roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus.

Orang bermental ekologis akan mudah melihat di sana misteri keagungan dan penghormatan akan alam dalam tradisi Kristiani, sebab roti dan anggur itu diubah menjadi tubuh dan darah Kristus. Misteri inkarnasi mempunyai dampak peninggian yang dahsyat bagi kejasmanian, bagi tata kodrat, bagi alam.

Jadi, saat kata-kata konsekrasi sakral itu, di mana saat itu kita semua terdiam dan hening dan terkadang mengharukan, kita tidak hanya ditenggelamkan ke dalam misteri Kristus, tetapi melalui konsekrasi dan inkarnasi logos, juga ditenggelamkan ke dalam misteri kosmis naturalis.

Itu kalau mau memakai rumusan verbal yang tinggi. Kalau mau memakai bahasa yang lebih sederhana, sesungguhnya dalam beberapa adaptasi DSA, ada juga yang menekankan aspek kosmis. Misalnya menyebut hal-hal seperti gunung, sawah dan lautan. Jadi, di saat paling hening dan suci dalam ekaristi itu kita diekspos kembali ke alam.

Dari dalam fanum kita ditempatkan kembali di luar fanum, pro-fanum. Tidak ada lagi pemisahan antara fanum dan pro-fanum, antara profan dan sakral dalam bahasa M.Eliade (The Sacred and the Profane).

Ini adalah philosophia perennis yang tidak tergusur oleh wacana filsafat apapun, termasuk oleh rasionalisme Aufklarung yang kelewat angkuh dan jumawa, sehingga dengan gencar dihantam Gadamer dalam Truth and Method-nya. Ia tetap ada di sana dan hidup. Juga dalam ekaristi tetapi mungkin kita tidak selalu menyadarinya.

Hanya dengan cara itu kita mampu membentuk kesalehan kosmis-ekologis. Citra kesalehan tidak lagi sekadar teologal vertikal (lurus dalam relasi dengan Allah), tidak lagi sekadar sosial (lurus dalam relasi dengan sesama), melainkan juga kosmikal (lurus dalam relasi dengan alam).

Sebab dewasa ini semakin disadari bahwa, mengutip Schillebeeckx, extra mundum nulla salus, kita mengupayakan keselamatan di dalam dan bersama dunia, sebab Yerusalem Baru, Yerusalem Surgawi dalam visiun Yohanes itu, justru akan turun dari atas ke bumi ini.

Penutup

Agar ekaristi kita tidak menciptakan fenomena alienasi kosmis seperti dikeluhkan Verheijen dalam proses pendidikan di Manggarai dulu, kita memerlukan pendidikan katekese teologi liturgi ekaristi dalam perspektif kosmis-ekologis. Fransiskan harus memainkan peranan itu.

Sebab Fransiskus sudah membuat revolusi besar ketika suatu saat orang bertanya di mana biaramu, dengan tenang ia naik ke bukit dan di sana ia menunjuk ke seluruh jagat raya dan berkata “hoc est claustrum nostrum.” Ada paradox di situ: claustrum, (pingitan, Groenen), tetapi Fransiskus menyingkap eksklusivisme pingitan itu menjadi seluas semesta, menjadi persaudaraan kosmis, sesuatu yang dengan indah dan tepat disuarakan kembali Carlo Carretto, dalam Io Fratre Franceso.

Untuk itu saya menutup tulisan ini dengan mengutip Kidung Saudara Matahari gubahan baru Marty Haughen: “Best Song – Canticle of the Sun” yang saya unduh dari Youtube. Bagi yang berminat bisa search google dengan memakai judul atau nama pengarang di atas. Lagunya indah dan nikmat.

Refren:

The heavens are telling the glory of God, and all creation is shouting for joy! Come dance in the forest, come, play in the field, and sing, sing to the glory of Lord!

Verses:

Praise for the sun, the bringer of day, he carries the light of the Lord in his rays; the moon and the stars who light up the way unto your throne!

Praise for the wind that blows through the trees, the seas’ mighty storms, the gentlest breeze, they blow where they will, they blow where they please, to please the Lord!

Praise for the rain that waters our fields, and blesses our crops so all the earth yields; from death unto life her mystery revealed springs forth into joy!

Praise for the earth, who makes life to grow, the creatures you made, to let the life show; the flowers and trees that help us to know the heart of love.

*Penulis adalah Dosen di STFT Universitas Parhayangan – Bandung.

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

12 + twenty =