Bidan Ros - Sang Pelayan Lintas Batas.

Tidak mudah berkarya di medan yang sulit untuk menjadi pelayan bagi masyarakat adat. Butuh figur yang berani, setia dan siap menghadapi tantangan. Perlu orang yang berani menembus batas periferi.

jpicofm.com berkesempatan mendengarkan kisah seorang pelayan kesehatan, Ibu Eros Rossita di tempat kediamannya di Ciboleger, yang melayani kesehatan masyarakat Badui Luar dan Badui Dalam dua puluh tahun terakhir.

Sejak kapan bertugas di Baduy?

Sebetulnya setelah lulus kuliah tahun 1992, saya tidak langsung bertugas di Baduy. Awalnya saya mendapat SK untuk melayanai di Puskesmas Kabupaten Pandeglang. SK berlaku tahun 1993 – 1996. Tahun 1996 mendapat perpanjangan PTT Kontrak dan baru ditugaskan di Poskesdes Baduy yang bertempat di perbatasan Ciboleger dengan Baduy Luar, Desa Kaduketuk untuk melayani Masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam. SK berlaku tahun 1996 sampai sekarang.

Bagaiman Perasaan setelah mendapat SK harus bertugas di Badui?

Perasan yang dominan adalah kaget, bangga dan takut. Sebetulnya, cita-cita menjadi bidan salah satunya adalah cita-cita Bapak (Ayah). Bapak dulu melayani kesehatan di Baduy khususnya masalah prambusia (Penyakit Kulit).

Sejak itu, ia mengharapkan agar salah satu anaknya juga dapat melanjutkan tugas itu. Jadi saya kaget dan bangga, apa yang diharapkan ayah dahulu, tercapai. “Syukurlah bahwa kamu mendapat SK di sana. Jadi, kamu tahu, seperti apa perjuangan Bapak melayani mereka,” kata Bapak penuh bangga saat itu. Akan tetapi saya juga takut dan bahkan sampai menangis saat menunjukkan SK itu ke Bapak.

Di satu sisi, cita-cita saya dan Bapak, tercapai, tetapi di sisi lain saya ragu dan takut mengingat keadaan topografi dan situasi masyarakat Baduy yang kuat dengan hukum adat, topografinya yang menantang serta sarana dan prasarana yang minim. Saya takut bahwa saya tidak dapat menjalankan tugas ini. Tapi Bapak selalu menguatkan dan meneguhkan saya.

Bagaimana cara ibu memulai melayani masyarakat Baduy?

Berawal dari ketakutan saya, maka saya tidak mau bekerja sendiri. Saya mengajak masyarakat sendiri untuk terlibat membantu. Karena itu, cara pertama yang dilakukan adalah mencari kader yang dapat diajak untuk membantu tugas kebidanan.

Tapi kesulitannya, mereka tidak tahu baca tulis . Mereka awalnya menolak dengan alasan bahwa mereka tidak sekolah, berhubung aturan adat yang tidak membolehkan mereka untuk sekolah.

Karena itu saya mulai mengajar baca tulis. Saya ajak mereka untuk belajar baca dan tulis. Sulit juga mengajar mereka, karena mereka sudah tua dan metode belajarnya mesti seperti mengajar anak TK. Dengan latar belakang pendidikan bidan saya harus menjadi seorang guru juga. Beruntung suami saya seorang guru, dia banyak membantu saya untuk menemukan metode yang tepat.

Dengan demikian, jadwal saya setiap pagi pergi ke setiap kampung dan sore harinya menjadi guru untuk mereka. Proses belajar mengajar itu diupayakan supaya tidak terlalu mencolok. Berkat cara ini, saya dapat terbantu dalam tugas. Dulu saya memulai dengan dua kader, sekarang sudah ada 45 orang kader dari 64 kampung untuk 9 Posyandu untuk Badui Luar sedangkan untuk Badui Dalam saya mengadakan kunjungan satu kali untuk tiga bulan.

Tantangannya?

Tentu tugas ini tidak mudah. Saya juga berhadapan dengan aturan adat. Saya pernah dikejar oleh tetua adat, karena mengajarkan ibu-ibu yang menjadi kader untuk belajar membaca dan menulis dan juga karena membawa alat-alat medis saat mengadakan posyandu.

Alhamdulilah setelah saya membantu proses kelahiran salah seorang ibu di sana, merawat anaknya dan mereka melihat bahwa anak itu sehat, perlahan-lahan mereka mulai menerima pelayanan saya. Dengan cara itu, akhirnya bisa berjalan. Program pemerintah berjalan dan saya tidak melanggar hukum adat serta dapat diterima oleh masyarakat Baduy.

Masalah Kesehatan yang dominan di Badui Luar dan Dalam?

Untuk masyarakat Badui Luar, dengan adanya posyandu dan pelayanan kesehatan selama ini, kesehatannya cukup terjamin. Yang masih menimbulkan penasaran adalah masyarakat Baduy Dalam. Selama dua puluh tahun (20 tahun) bertugas di sini, pelayanan untuk masyarakat Badui Dalam yang masih terkendala, terutama karena Hukum Adatnya.

Badui Dalam sedang saya perjuangkan untuk menjalankan program KB (Keluarga Berencana). Sudah pernah ada 25 orang yang ikut program KB tetapi seakrang tinggal 15 orang. Selain itu, persoalan Prambusia (Penyakit Kulit) yang masih menjadi penyakit utama. Angka kematian ibu dan anak juga cukup tinggi padahal pemerintah meminta untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Anak (AKA). Hukum adat juga menjadi kendalanya.

Apa rahasia sehingga bisa setia melayani di daerah sulit seperti ini?

Awalnya saya merasakan kesulitan saat sampai di lapangan untuk pelayanan. Saya ingin lari dari tugas ini. Saya sempat protes dan meminta ke suami yang kebetulan orang Sukabumi, “Pa, Bapak kan orang kota, kita pindah ke kota saja, biar saya melayani di kota, dari pada di medan sulit seperti ini”. Suami saya meyakinkan saya “ Coba saja dulu, insya Allah pasti bisa”.

Selain itu, pengalam saat kuliah juga sangat membantu kesetiaan saya melayan disini. Saya masih ingat pesan salah seorang suster di SPK Misi Lebak, Sr. Lettitia, SFS. “Kalau kita pingin maju, perlu tulus ikhlas.” Inilah yang diajarkan di sana sebagai bekal pelayanan. Sampai sekarang saya masih menjalin kontak dengan beliau, berbagi cerita tentang pengalaman tugas saya ini. Modal hati yang saya gunakan.

Seberat apapun tugas jika dilaksanakan dengan hati yang tulus ikhlas akan terasa plong, dapat dinikmati dengan gembira. Saya tidak memikirkan untuk mencari keuntungan dari tugas pelayanan saya, saya selalu teguh dengan prinsip itu. Ketulusan.

Bagaimana dukungan pemerintah dirasakan dalam pelayanan ibu?

Jujur, dari segi pendapatan saya tertinggal jauh dari teman-teman seprofesi dan seangkatan. Dalam pelayanan, mereka bisa menentukan tarif tetapi saya hanya dapat menerima semampu masyarakat yang saya layani. Beruntung saya mendapat pendidikan yang membuat saya tidak mengejar keuntungan.

Saya yakin Tuhan mengatur semua perjalanan hidup saya, yang penting saya melaksanakannya dengan tulus dan jujur. Amal dan ibadah saya rupanya terpenuhi. Tahun 2000, pemerintah mengangkat saya menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan di tahun 2008 saya mendapat anugerah Bidan Teladan.

Dianugerahi Bidan Teladan?

Pemerintah yang menentukan semuanya itu dan saya tidak pernah mengharapkannya. Tetapi kehendak Tuhanlah itu. Bisa mengajar dan membuat mayarakat Badui yang awalnya tidak tahu menjadi tahu, awalnya tidak mau tetapi akhirnya mau untuk mendapat pelayanan kesehatan; Menjalankan tugas dengan penuh kesabaran dan ketulusikhlasan; itu yang saya lakukan.

Saya lakukan semuanya dengan sederhana. Mulai dari menyapa mereka tiap hingga akhirnya bisa diterima oleh masyarakat Badui. Rupanya kriteria yang pemerintah pakai adalah bagaimana saya akhirnya bisa diterima oleh masyarakat Baduy dalam pelayanan, bagaimana cara saya mendekati, setia melayani, tidak pernah memasang tarif tetapi melayani dengan tulus dan yakin bahwa rezeki itu tidak kemana-mana, Allah yang mengatur.

Tulus, ikhlas, dan sabar – melayani dengan hati, itu kuncinya. Sejak saat itu, saya diundang untuk membagikan pengalaman melayan di SCTV, Metro TV (Acara Kyck Andy), peri ke Bali, Aceh, Kendari dan tempat-tempat lain.

Apa pesan ibu untuk para Pelayan Kesehatan?

Simpel saja. Lakukanlah mulai dari hal yang kecil. Kalau kita bisa melakukan yang kecil insya Allah kita bisa melakukan yang besar. jangan langsung ingin menjadi besar (baca: tenar) tetapi perlahan-lahan kerjakanlah hal-hal yang sederhana. Dan untuk itu semua kerjakan dengan tulus, ikhlas, dan jujur. Itu kunci utamanya.

Riwayat Hidup, Pendidikan dan Pelayanan

Nama: Erros Rossita; Tanggal Lahir: 15 Agustus 1972;

Riwayat Pendidikan

1989 -1992           : SPK Misi Lebak – Rangkasbitung

Riwayat Karya

1993 – 1996           : Puskesmas Pandeglang

1997 – sekarang : Puskesmas Cisimeu (sekarang Koordinator)

Sdr. Charlest, OFM

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

7 − six =