Jakarta, KOMPAS – Pola konsumsi masyarakat perkotaan turut menekan daya dukung Bumi menjamin keberlangsungan hidup manusia. Perubahan sistem pangan dan energi diperlukan untuk membalikan keadaan.

Publikasi ilmiah World Wide Fund for Nature (WWF) berjudul Living Planet Report (LPR) 2016, skala kegiatan manusia melonjak sejak medio abad ke-20, yang mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) dan hayati lebih ceoat dari kemampuan alam memperbarui.

“Kita perlu mengembalikan titik keseimbangan kehidupan manusia dengna alam,” kata Social Development Strategy Leader WWF-Indonesia, Cristina Eghenter, Senin (21/11), di Jakarta.

Tahun 2012, manusia butuh kapasitas hayati setara 1,6 planet Bumi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi SDA dan jasa lingkungan di tahun itu. Produksi pangan, salah satu penyebab hilangnya keragaman hayati.

Cristina mengatakan, pola konsumsi pangan dan energi warga kota jadi perhatian. Sebab, 70%  emisi gas rumah kaca berasal dari aktivitas perkotaan, karena konsumsi pangan dan energi terkonsentrasi di sana. Saat ini, 54 % populasi dunia hidup di kota dan 80 % daya beli tingkat global juga terkonsentrasi di perkotaan.

“Mengembalikan diversifikasi pangan juga bagian dari mengembalikan keseimbangan dengan alam,” ujar Cristina. Di Indonesia, bisa dengan jagung, singkong, dan sorgum.

Indrasari Wardhani, Manajer Iklim dan Energi WWF-Indonesia, menambahkan, konsumsi penduduk kota secara tidak langsung memengaruhi  kelestarian lingkungan di lokasi yang jauh dari mereka. Contohnya, naiknya permintaan minya goreng dari kelapa sawit membuat semakin banyak hutan dibuka untuk perkebunan. Padahal, itu habitat satwa-satwa liar terancam punah.

Berdasarkan Indeks Living Planet yang terdapat di LPR 2016, tingkat keragaman populasi vertebrata (hewan bertulang belakang) menurun 58% dari tahun 1970 hingga 2012. Jumlah spesies vertebrata menurun lebih dari setengahnya selama kurang lebih dari 40 tahun.

Contoh di Indonesia, gajah Sumatera diperkirakan tersisa 1.724 ekor, tinggal 71 % dari perkiraan total oada 2007 sebanyak 2.400 ekor. Penurunan populasi sangat erat dengan berkurangnya luas hutan, yang juga memicu konflik dengan manusia dan perburuan.

Adapun Direktur Program Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja menyoroti konsumsi lahan untuk bangunan yang tak sesuai kebutuhan perkotaan, terutama di Jakarta. “Jakarta dikira padat, ternyata tidak,” katanya.

Data tahun 2015, dari seluruh kantor baru dan selesai dibangun di Jakarta, terdapat ruang kantor kosong seluas 12 kali lapangan sepak bola atau setara 15 kali luas lapangan Monas. Itu belum termasuk kanto yang sudah ada sebelumnya dan kosong.

Kenyataan di atas mengajak masyarakat secara umum dan secara khusus warga kota untuk melihat kembali pola konsumsinya. Sejauh mana pola konsumsi yang dipraktekan selama ini ternyata menggerogoti daya dukung Bumi? Gaya hidup boros dan konsumtif menambah parah kenyataan di atas tentunya. Solusi utama adalah memperbaiki pola konsumis dan terutama gaya hidup konsumtif.

Sumber: Kompas, Rabu 23 November 2016.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

six + seven =