Sangat menarik untuk merenungkan gambaran ringkas kehidupan Fransiskus yang bermula dari salib, mengisi hidupnya dengan perjuangan mencintai Kristus yang tersalib dan akhirnya menerima meterai kebahagiaan berupa “Stigmata” yang menandai kedekatannya (kalau boleh dikatakan= keserupaan) dengan Kristus.
Dari Salib San Damiano, Fransiskus mendapat panggilan untuk memperbaiki Gereja yang hampir roboh; Gereja yang mulanya dipahami adalah bangunan fisik, tetapi ternyata lebih jauh dari itu, soal kehidupan menggereja yang hampir merobohkan fondasi dasarnya sendiri. Gereja diserang, baik dari dalam maupun dari luar; muncul aliran-aliran sesat dan juga orang-orang dalam yang tidak mendasari lagi hidupnya dengan Injil.
Fransiskus menjadikan salib sebagai sumber dan asal pertobatannya, karena dari suara di salib itulah dia menjadi yakin akan jalan yang dipilihnya. Selanjutnya, Salib itu tidak hanya sebagai sumber tetapi sekaligus menjadi cermin baginya.
Dari salib dia tahu apa yang harus dia buat dan di salib ia bisa berkaca untuk melihat apa yang yang akan ia buat dan telah ia buat. Sampai akhirnya Franiskus dengan yakin, seperti St. Paulus mengatakan: “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristuslah yang hidup di dalam aku”. Tentu saja ungkapan itu mengatakan kebenaran dasariah yang telah dialami Fransiskus.
Lima luka yang ia terima menajdi tanda bahwa ia benar-benar hidup dalam Kristus dan lebih jauh dari itu ia telah menghadirkan Kristus kepada manusia dan alam ciptaan yang lain. Persatuan dengan Kristus inilah yang menjadi sumber dan puncak kebahagiaan Fransiskus.
Salib dan Umat Beriman Kristiani
Fransiskus telah menjadi contoh bagaimana mengikuti Kristus yang tersalib. Fransiskus telah memilih cermin yang tepat untuk hidupnya sebagai pengikut Kristus sendiri. Pertanyaan bagi kita adalah, apakah kita juga menjadikan salib Kristus sebagai cermin dalam kehidupan ini?
Cermin adalah tempat kita melihat penampilan kita, tempat kita “mengoreksi” cara berada kita. Kita bisa mengubah gaya berdasarkan apa yang kita lihat dalam cermin. Nah jika saat kita bercermin, yang dipantulkan di sana adalah Kristus yang tersalib, bagaiman kita melihatnya?
Kristus yang disalibkan adalah Kristus yang sama yang mewartkan Kerajaan Allah, mewartakan pertobatan. Kristus yang disaliba dalah Kristus yang sama yang menjumpai orang berdosa, menyembuhkan yang sakit, membangkitkan orang mati dan rela memberikan dirinya untuk sahabat-sahabat-Nya.
Sebagai umat beriman Kristiani, kita juga dipanggil untuk berkaca pada cermin kita yaitu Kristus sendiri. Dengan memandang-Nya, kita merancang pertobatan, merancang cara berada dalam kehidupan sehari-hari. Memandang Dia yang tersalib sekaigus mengikuti-Nya untuk siap berkorban, memberi dir untuk sesama. Memandang salib Kristus juga adalah melihat harapan yang dibawa Kristus sendiri sebagai jalan, kebenaran dan hidup.
Salib Kristus adalah harapan bagi kita untuk menghadirkan Dia di tengah-tengah dunia sekaligus mempersiapkan kehidupan kita di akhirat. Mengikuti Kristus yang tersalib sesungguhnya adalah menghadirkan kehendak Allah sendiri di dunia ini. “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam Surga”.
Berkat salib itu, Kristus membawa keselamatan bagi kita. Tugas kita sekarang adalah membawa dan menghadirkan keselamatan salib itu di tengah-tengah dunia.
Salib adalah Tugas
“Barang siapa mau mengikuti Aku, hendaknya ia menyangkal dirinya, memanggul salibnya dan mengikuti Aku (Mat, 16:24). ini adalah perintah bagi para pengikut-Nya. Menjadi pengikut Kristus harus bisa memikul salib setiap hari.
Dunia yang kita hadapi dengan anekaragam persoalan adalah salib bagi kita. Kristus sendiri memberi contoh bagi kita ketika Ia memnaggul salib-Nya menuju Golgota. Ia menerimanya dengan sabar, jatuh dan bangun lagi – tidak pernah kehilangan harapan saat ia menghibur para wanita yang menangisinya.
Memikul salib tidak membuat para pengikut-Nya pesimis tetapi memandangnya dengan optimis. Memikul salib dan beban hidup di dunia ini untuk menghadirkan kebenaran bukanlah hal yang mudah tentu saja, tetapi itu mesti dilakukan dengan optimis.
Sebagaimana pada zaman Fransiskus, kita juga mengalami berbagai macam goncangan dalam kehidupan Gereja, baik dari dalam dan dari luar. Kita dipanggil pada tugas yang sama untuk memperbaiki Gereja terutama hidup kita masing-masing sebagai batu penjurunya.
Sdr. Ch. USA, OFM