Pada tahun 2015, Negara Indonesia dilanda oleh bencana yang biasanya adalah bencana alam tetapi saat ini disebabkan oleh manusia. Bencana yang disebabkan manusia pada isu ini adalah kebakaran hutan dan lahan yang sengaja dibakar di Kalimatan dan Sumatera.
Dalam bencana kebakaran ini, petinggi dan korporasi yang terlibat dalam pembakaran sehingga harus diusut secara tuntas. Tetapi hingga saat ini, penegak hukum dirasakan belum sungguh – sungguh menangani masalah tersebut serta dalam kasus kebakaran yang dapat diungkap baru pembakar lahan skala kecil, sedangkan untuk pembakaran lahan besar belum diusut sampai sekarang (Kompas 15/09/2015).
Kebakaran yang dilakukan oleh korporasi dilakukan ketika korporasi menginginkan membuka lahan baru untuk bisnisnya, dengan tujuan untuk memberi laporan laba yang tinggi tanpa harus mengeluarkan biaya.
Dalam hal ini ternyata korporasi belum memperhatikan CSR, terlihat dari bagaimana korporasi tersebut merusak lingkungan untuk kepentingan pribadi dengan cara membakar hutan. Seharusnya sebagai korporasi yang besar, sudah memiliki kesadaran dalam memberikan kontribusi yang besar terhadap sosial dan lingkungan.
Seperti isu kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera mengakibatkan polusi udara yang berada pada ambang batas semakin merugikan masyarakat dan lingkungan sehingga kasus kebakaran ini harus segera dihentikan.
Cara menghentikannya bagaimana? Dalam tulisan ini akan dibahas menyelamatkan lingkungan dengan mengambil contoh kerusakan lingkungan alam dan manusia karena bencana kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera melalui asap yang berbahaya dengan Reformasi Akuntansi dengan basis CSR sesegera mungkin.
Reformasi Akuntansi melawan Kejahatan Sosial dan Lingkungan.
Regulasi dan berbagai cara dilakukan agar setiap pelaku bisnis memiliki kesadaran untuk memiliki kepedulian pada sosial dan masyarakat di Indonesia. Kenyataannya Undang-undang Perseroan Terbatas (UUPT) pasal 74 perlu dipertanyakan lagi keberadaannya saat kejahatan sosial dan lingkungan melanda Indonesia, tepatnya di Kalimantan dan Sumatera.
Para pelaku bisnis dan bahkan pemerintah sendiri disinyalir ikut ambil bagian dalam kasus kebakaran hutan yang telah menghancurkan kehidupan hutan dan segala isinya, aktivitas manusia karena terhalang oleh tebalnya asap yang menyelumuti daerah-daerah yang terkena imbasnya, bahkan yang paling mengerikan lagi adalah kematian karena asap yang mengganggu kesehatan masyarakat sekitar.
Akuntansi konvensional yang berorentasi untuk memberi laporan laba yang tinggi tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar. Sebagai contoh untuk membuka lahan perusahaan. Perusahaan lebih memilih mengorbankan kehidupan hayati hutan dan manusia dari pada mengeluarkan uang untuk membuka perusahaan dengan alat-alat yang ramah lingkungan.
Menurut Lako (Green Economy:145) teori keadilan (justice) dalam sistem kapitalis pasar bebas, laba/rugi mencerminkan ketidakadilan antarpihak. Ketika korporasi menikmati laba, maka ada pihak lain yang telah berkorban atau dikorbankan untuk meraih laba tersebut.
Karena itu, korporasi yang meraup laba atau subur bisnisnya harus adil pada masyarakat dan lingkungan yang sudah turut menanggung dampak eksternalitas dari aktivitas ekonomi perusahaan.
Rupa- rupanya warisan Friedman Milton yang membuat kesimpulan bahwa tujuan korporasi hanyalah menghasilkan keuntungan bagi para stakeholder. Sehingga saat pembukaan lahan untuk kepentingan laba beberapa koorporasi tidak segan-segan menghalalkan segala cara.
Sebaiknya, perusahaan menerapkan teori triple bottom of line yang artinya ada keterkaitan antara lingkungan (planet), masyarakat (people), dan laba perusahaan (profit) yang dicetuskan oleh Elkington. Karena itu, upaya untuk menghijaukan organisasi korporasi beserta bisnisnya harus ada keterkaitan dengan triple bottom of line.
Akuntansi yang berbasis laba ternyata telah menyesatkan para pihak-pihak pengambil keputusan dengan tidak mengindahkan keadaan sosial dan lingkungan dan telah menjadikan pihak-pihak tertentu menjadi penjahat sosial dan lingkungan.
Reformasi paradigma akuntansi yang berbasis sosial dan lingkungan diharapkan dapat mengubah para pelaku bisnis untuk melakukan aktivitas ekonomi dengan menempatkan masyarakat dan lingkungan sebagai pilar utama penopang kehidupan ekonomi suatu korporasi (Elkington,2001).
Agar keberlangsungan ekonomi tidak hanya mendapat laba yang besar hanya daam jangka pendek, alangkah baiknya suatu perusahaan mendapatkan keuntungan dalam jangka panjang dengan memperhatikan masyarakat dan lingkungan sekitar, karena jika tidak demikian maka dapat menghancurkan hubungan sosial dengan pembakaran hutan.
Bentuk pengeluaran atau pengorbanan yang bersifat sukarela yang ada kaitannya dengan corporate sustainability reporting (CSR) harusnya diakui sebagai kewajiban, yang nantinya akan masuk sebagai investasi bukan sebagai biaya yang akan mendatangkan manfaat ekonomi dimasa yang akan datang.
Pelaporan mengenai cost dan benefit dari investasi CSR bisa dikaitkan di dalam laporan laba rugi atau melalui pelaporan nilai tambah. Perusahaan yang berkaitan dengan lingkungan seperti berkaitan dengan hutan yang ada di Kalimantan dan Sumatera akan lebih baik diharapkan bisa mengelola operasi bisnis dan menghasilkan produknya yang menimbulkan efek menguntungkan baik bagi akuntansi, masyarakat, maupun lingkungan sekitar.
Berdamai dengan sosial dan lingkungan lewat Reformasi Akuntansi
Akuntansi diharapkan mampu menciptakan relasi yang menguntungkan tidak hanya pihak korporasi namun bersahabat dengan sosial dan lingkungan dengan menerbitkan Standar Akuntansi Lingkungan.
Dengan standar yang baku ini para pemegang kekuasaan dalam koorporasi dan para akuntannya dapat merealisasikannya dalam bentuk kepedulian pada masyarakat dan lingkungan sekitar dengan tindakan nyata bukan hanya sebatas pelaporan dan pengungkapan pada kertas dengan segala aktivitas transaksi yang dibaca oleh para pengguna laporan, namun berfaedah pada masyarakat sekitar.
Merealisasikan reformasi tersebut dengan mengembangkan konsep-konsep dan asumsi-asumsi, prinsip-prinsip akuntansi berterima umum dan standar akuntansi berkelanjutan (Sustainability Accounting) diharapkan menjadi standar yang mengarahkan para pelaku bisnis untuk bertindak dengan kerelaan menyelamatkan manusia, lingkungan dan menghasilkan laba bukan sebatas money namun goodwill (triple bottom of line).
Secara khusus tentang keprihatianan kita pada masalah kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera. Agar kejahatan sosial dan lingkungan tidak terus-menerus terjadi diharapkan reformasi akuntansi menjadi sarana reformasi mental bagi para pemangku kepentingan.
Sangat diharapkan para akuntan masa depan yang saat ini sedang mempelajari akuntansi diharapkan tetap berproses menjadi seorang akuntan yang mencintai sosial dan lingkungan dengan ilmu yang didapatkan untuk menjadi berkah bagi sesame dalam setipa pelaporan yang akan dikerjakan.
Sr. M. Maximiliana, SFS, Mahasiswa Program Studi Akuntansi Unika Soegijapranata Semarang