OBRAL IDE_JPIC OFM Indonesia, “Bagaimana anda mengetahui kapan malam telah berakhir dan kapan hari baru mulai?, tanya seorang guru spiritual kepada murid-muridnya. “Ketika Anda melihat seekor binatang dari kejauhan dan dapat membedakannya apakah itu seekor sapi atau kuda,” jawab seorang murid menimpali pertanyaan sang guru.
“Salah,” sahut sang guru. “Ketika Anda menatap wajah setiap laki-laki dan mengenalinya sebagai saudaramu; ketika Anda menatap wajah setiap perempuan dan mengenalinya sebagai saudarimu. Kalau Anda tidak melakukan hal ini, entah hari menunjukkan pukul berapa menurut perhitungan matahari. Hari masih tetaplah malam,” jelas sang guru
Cerita sederhana, tetapi menyiratkan pesan yang mendalam ini ada dalam tulisan Anthony de Melo, “Taking flight: A Book of Story Meditations”, sebagaimana dikutip Thomas Hidya Jjaya dalam “Enigma Wajah Orang Lain (2012): 157-158).
Pertanyaannya: Apa relenvansi cerita tersebut? Hemat penulis, dalam beberapa tahun belakangan ini, dunia direpotkan dengan membeludaknya para pengungsi dari Suriah ke Eropa. Situasi genting ini menggugah sekaligus menggugat kenyamanan banyak orang. Sebagai contoh sekaligus simbol, Paus Fransiskus membawa 12 orang pengungsi ke Vatican.
Sebelumnya pemimpin Gereja Katolik sedunia ini telah menunjukkan sikap keterbukaan untuk menerima para pengungsi seperti menghimbau gereja-gereja Katolik untuk menjadi kamp pengungsi, menyerukan dan mendesak negara yang relatif damai untuk menyelamatkan jutaan nyawa pengungsi.
Tindakan keberpihakan kepada para pengungsi juga ditunjukkan Kanselir Jerman Angela Merkel. Tidak ada yang menyangka, kanselir negeri panser yang terkenal dengan julukan pemimpin tangan besi itu begitu melunak terhadap para pengungsi. Kebijakannya menerima para pengungsi menuai kritik dari kelompok sayap kanan Jerman dan mengancam kursi kekuasaannya.
Namun, rupanya kritikan-kritikan yang datang bergelombang kepadanya diabaikan karena hatinya “terusik” dengan suara mendesah menahan sakit dan penderitaan yang tiada tara dari para pengungsi. Toh, situasi suram itu bukan karena dikehendaki oleh mereka (para pengungsi), bukan pula karena Hyang Ilahi tutup mata, tetapi karena arogansi kaum ISIS dan kaum elit politik.
Benang Merah Tindakan Paus Fransiskus dan Merkel
Paus Fransiskus dan Angela Merkel adalah dua dari ribuan orang yang telah berempati dengan para pengungsi. Banyak cara, tenaga, dana, bahkan nyawa dipertaruhan untuk menyelematkan para pangungsi. Di mata mereka kaum pengungsi adalah mutiara yang mesti diselamatkan.
Namun, tidak sedikit pula yang menutup hati. Pintu-pintu masuk para pengungsi dibentengi dengan kawat duri dan dikawal ketat oleh mereka yang lengkap dengan laras panjang. Pada hal dengan mata telanjang mereka menyaksikan jutaan orang, tua-muda, pria dan wanita diterjang gelombang karena dibuntuti senjata oleh saudara senegeri di tanah sendiri.
Apa yang dicari oleh mereka yang peduli pengungsi: Popularitas? Pencitraan? Kebanggaan? Bukan! Hal-hal macam itu tidak sempat dipikirkan di hadapan jutaan wajah manusia yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Wajah yang lain (the other) menurut Levinas adalah undangan untuk peduli.
Kemusnahan atau kematian yang lain (the other) karena sebuah arogansi manusia lain mesti mengusik kita untuk mencegah. Itu yang dilakukan oleh paus Fransiskus, Merkel dan mereka yang membuka untuk para pengungsi. Kematian memang sebuah keniscayaan, tetapi tidak untuk kematian karena kebrutalan dan kekerasan, (Thomas Hidya Jjaya, “Enigma Wajah Orang Lain (2012):161).
Paradigma “Saudara”
Yang lain (the other) dalam bahasa Fransiskus Assisi adalah saudara. Yah saudara! Bukan orang asing yang mesti ditolak. Bukan penjahat yang mesti disalibkan. Tetapi sekali lagi yang lain adalah saudara. Barangkali paradigma ini yang hidup dalam hati barisan kaum peduli pengungsi.
Dalam paradigma “saudara” hanya yang mungkin terjadi adalah peduli dan penerimaan akan diri yang lain tanpa syarat. Kita bersaudara karena kita tinggal dalam satu rumah yang sama yaitu rumah yang berlantaikan bumi dan beratapkan langit. Tidak ada satu insan pun yang mendaku sebagi miliknya sendiri atas rumah bumi ini.
Rumah bumi ini adalah rumah bersama. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk tinggal di dalamnya. Rumah ini sengaja diwariskan oleh orang tua kita bersama (sang Pencipta) untuk semua anak-anaknya. Semua yang ada dalam rumah alam semesta adalah saudara.
Mengikuti pertanyaan guru spiritual yang ada dalam kisah de Mello, seperti diceritakan di awal, pertanyaan hampir serupa juga ditanyakan kepada saya, Anda, kita dan mereka (sekarang): Kapan kita mengetahui kita manusia (beragama pula)?
Ketika kita mengenal si Budi sebagai orang Jawa? Ketika kita mengenal si Ani sebagai orang Flores? Ketika kita mengenal si Malala Sebagai orang Pakistan?
Bukan! Ketika saya dan Anda, tanpa ragu dan penuh kesadaran, menerima, merangkul, dan memeluk yang lain apa adanya sebagai saudara dan saudari: menerima para pengungsi di rumahmu sebagai keluarga barumu, saudara/i barumu. Ketika kita merawat dan mencium luka-luka mereka yang terluka oleh ketidakadilan, keserakahan, arogansi dan kepongahan penguasa, pengusaha, oknum-oknum kriminal, dll.
Jika tidak? Saya, Anda, dia, kita dan mereka masih perlu belajar menjadi manusia. Yang Kristen belajar menjadi manusia pada Yesus, yang Muslim belajar menjadi manusia pada Nabi Muhammad SAW, yang Budha belajar menjadi manusia pada Sidharta Gautama, dll.***
Sdr. Rian Safio, Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta