Kesadaran akan kepedulian kepada ekologi menjadi fundamental bagi banyak orang untuk memperjuangkan keutuhan ciptaan. Kesadaran inilah yang mendorong JPIC, sebagai DNA Fransiskan, mengadakan kursus tahunan untuk menanamkan kesadaran akan kepedulian pada ekologi dan masalah sosial. Kursus berlangsung selama tiga hari. 19-21/12.
Pada hari pertama kursus tahun ini, hadir sebagai pembicara, sahabat EcoCam; Rm. Fery, Imam Diosean Bandung, Ibu Shierly Megawati Purnomo salah satu Pendiri Eco Learning Camp, dan tiga Ksatria Shambala; Ksatria Adi, Ksatria Alyandra, Ksatra Mentari.
Eco Learning Camp merupakan rumah belajar lingkungan hidup yang berada di bawah Yayasan Sahabat Lingkungan Hidup. Visinya adalah Manusia yang berkualitas, yaitu manusia yang merawat bumi dan berguru pada bumi. Peserta dalam kursus ini para Frater OFM.
Tema yang dibahas dalam perjumpaan ini mengenai kesadaran baru pada ekologi, “Kesadaran Baru Hidup Ekologis.” Dalam uraiannya, Ibu Shierly mengungkapkan panggilan utama hidup kita adalah melakukan sesuatu yang lebih dari yang terbaik. “inilah semangat magis yang sungguh kami imani. Kami berbagi di sini juga karena kami yakin kami dicintai Tuhan.” tegasnya.
Dalam penjelasannya, Ksatria Adi mengatakan kita semua adalah manusia yang lahir dan hidup di atas ibu bumi. “Sadarilah dan pahamilah, bila ibu bumi bisa berbicara dan mengungkapkan hatinya. ibu Bumi tidak membutuhkan manusia, tetapi manusia membutuhkan Bumi. Manusia adalah sahabat dari lingkungan yang harus memiliki sikap penghargaan, tanggung jawab, dan semangat berbagi,” tegasnya.
Ecocamp angkatan pertama tahun 2015 ini menuturkan bahwa dengan memiliki kesadaran itu maka tujuan yang diperjuangkan Ecocamp membuat kita semua jatuh cinta kepada alam, yaitu saling memahami dan tidak akan menyakiti siapapun.
“Di Ecocamp, kami belajar tujuh kesadaran baru, kesadaran baru hidup ekologis,” lanjutnya. “Tujuh Kesadaran ini yang kami coba hidupi dan tumbuhkan dalam keseharian hidup kami dan kesadaran yang sama, kami yakini sebagai kebaikan yang perlu kami bagikan kepada siapapun, termasuk kepada Bapak, Ibu dan teman-teman sekalian yang datang ke Eco Camp,” ungkapnya.
Lebih lanjut, tamatan Pendidikan Olahraga UPI ini, menjelaskan ketujuh kesadaran baru, yaitu berkualitas, sederhana, hemat, peduli, semangat berbagi, bermakna, dan harapan.
“Ketujuh Kesadaran ini saling berkaitan satu sama lain, berbentuk spiral dan semakin dalam. Kesadaran itu diawali dengan kesadaran berkualitas karena kita adalah makhluk mulia, makhluk pemelihara, dengan memiliki akal, moralitas, religiusitas, dan kita telah dilahirkan sebagai manusia yang berkualitas. Supaya kita bisa hidup berkualitas maka kita harus menerima kerapuhan diri sendiri dan orang lain, tidak hanya fokus pada tujuan tetapi nikmatilah setiap titik yang dilalui, menikmati hidup dan mampu bersantai di tengah seluruh pekerjaan, dan melakukan lebih dari yang terbaik.”
Kesadaran itu kemudian terus meningkat kepada kesadaran untuk hidup hemat pangkal selamat (ekosentris). “Hemat karena peduli dan ingin berbagi kepada sesama, terutama yang lemah dan miskin. Hemat ekosentris akan membuahkan kepedulian. Tidak berfokus pada diri sendiri melainkan memperhatikan kebutuhan orang lain dan lingkungan sekitar. Kepedulian itu dapat menghadirkan semangat berbagi. Ketika sudah saling berbagi, hidup akan lebih bermakna. Dan akhirnya kita harus punya harapan, yaitu melihat hal yang mungkin dilakukan untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik dan kita ikut berperan di dalamnya,” jelasnya.
Dalam uraian selanjutnya, Ksatria Adi menegaskan bahwa Kesadaran baru itu muncul dari beberapa keprihatinan terhadap gejala alam yang sudah tidak seimbang lagi. Pertama pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan mengerikan.
“Bayangkan saat ini penduduk di bumi sekitar 7,4 miliar sedangkan kapasitas bumi ini hanya bisa mencukupi untuk 4,8 miliar penduduk yang artinya untuk memenuhi kebutuhan semuanya dibutuhkan 1,5 planet bumi. Indonesia menempati peringkat ke 2 setelah Tiongkok sebagai penghasil sampah terbesar di dunia. Tahun 2015, Indonesia menghasilkan 5,4 juta ton sampah. Akibatnya dapat menjadi bencana bagi sesame makhluk.”
Kedua, pemanasan global yang disebabkan oleh industri ternak dan industri pertanian. “Industri ternak menghabiskan air dan lahan sangat banyak. Belum lagi ternak kalau diekspor harus pakai transportasi. Sesudah disembelih perlu lemari pendingin yg habiskan banyak listrik. Kemudian harga daging yang sudah menghabiskan banyak air jadi mahal dan tidak terjangkau oleh orang miskin,” tambahnya.
Dengan demikian, untuk bisa mengatasi persoalan ekologis itu, “Hal yang perlu kita lakukan adalah kita harus berubah, kita harus mempunyai kesadaran baru hidup ekologis. Jika kesadaran baru hidup ekologis menjadi kebiasaan maka diri kita sudah menjadi agen perubahan untuk hidup lebih baik.”
Sdr. Albertus Dino, OFM
Baca Juga: Peduli Pada Lingkungan Dengan Semangat Magis