Dalam Injil Markus 11:12-14 dan 20-25; serta Injil Matius 21:18-22, Yesus telah mengutuk pohon ara yang tak berbuah hingga pohon itu kering sampai ke akar-akarnya. Ini terjadi pada awal milenium I.
Pada akhir milenium II dan awal milenium III sekarang ini, pohon sawit juga menerima kutukan dari para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pemuka Gereja Katolik. Khususnya di kawasan keuskupan yang banyak perkebunan sawit.
Pohon sawit telah diberi stigma sebagai “musuh rakyat”, karena menggusur pola hidup tradisional, serta merusak lingkungan.
Gejala kerusakan lingkungan itu tampak nyata, antara lain dengan adanya kabut asap yang secara rutin menyelimuti kawasan Kaliman dan sebagian Sumatera.
Pada tahun 1990-an, ketika Pemerintahan Orde Baru masih berkuasa, para peladang berpindah, yang disebut sebagai “perambah hutan” dijadikan kambing hitam. Mereka dituduh sebagai pembakar dan perusak hutan, untuk berladang.
Ternyata pelaku pembabatan hutan terbesar di Sumatera dan Kalimantan adalah para pekebun sawit. Sebab itulah cara termudah sekaligus termurah membuka hutan, untuk diubah menjadi kebun sawit.
Setelah lahan terbuka, tanah akan ditanami benih sawit, secara monokultur. Dalam satu hamparan lahan, hanya dibudidayakan satu jenis tanaman, yakni sawit. Dampaknya, ekosistem hutan hujan tropika basah lenyap. Sebagai gantinya hanya ada hamparan sawit.
Pada waktu hutan dibabat, lumut, pakis, anggrek serangga, burung, beruang, orang hutan semua ikut tergusur, atau mati. Ini semua didramatisasi oleh kalangan LSM, hingga timbul kesan bahwa tanaman sawit memang benar-benar jahat.
Padahal, sawit adalah tumbuhan yang tak aberdosa. Mereka tidak pernah merusak hutan. Tanaman itu disemai oleh manusia, kemudian ditanam dihamparan lahan bekas hutan. Pembabatan hutan untuk sawit digerakkan oleh pemilik modal dan didukung oleh kekuasaan pemerintah. Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup, gubernur, bupati; merekalah yang seharusnya diberi stigma jahat. Bukan pohon sawit.
Manusia memag lebih senang menyederhanakan permasalahan, kemudian melemparkannya kepada pihak yang sebenarnya tidak layak untuk dipermasalahkan.
Dalam Kitab Kejadian, Allah bertanya kepada Adam: “Apakah engkau makan dari pohon yang Kularang engkau makan itu?” Jawab Adam: “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepada-ku, maka kumakan.” Kemudian jawab perempuan itu: “Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan.”
Saling tunjuk menunjuk, bahkan ke pihak yang sebenarnya tidak bisa dipersalahkan, sudah merupakan kodrat manusia. Maka, pohon sawit pun juga dipersalahkan sebagai “perusak lingkungan” oleh manusia.
HIDUP, 18-22 November 2012