www.independent.co.uk

Oleh: Anna Abad*

Kunjungan Paus ke Filipina beberapa waktu lalu memberikan inspirasi dan membangkitkan kembali iman umat. Tak terhitung jumlah, baik kotbah maupun pidatonya, yang menyegarkan dan menyentuh jutaan umat yang bertahan di bawah derasnya hujan untuk mendengarkan kata-katanya. Pesan pokok Paus adalah memperhatikan orang miskin.

Kunjungannya ke Tacloban di provinsi Leyte, menegaskan kuatnya hasrat beliau berbelarasa dengan korban angin topan (badai) yang sampai kini terus mengalami ketidakadilan sosial.

Mereka adalah korban perubahan iklim dan terus mendeirta karena kehilangan orang-orang yang dicintai, rumah serta mengalami trauma akibat bencana perubahan iklim, yang sekarang ini mulai dianggap sebagai hal yang seolah-olah “normal”.

Dalam penerbangan ke Filipina, Paus Fransiskus menegaskan bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah perbuatan manusia. Manusia menampar wajah alam, demikian Paus. Kata-kata Paus ini merupakan tuduhan yang amat telak kepada  manusia yang merusak alam, yang merupakan ciptaan Allah.

Dalam kotbahnya di Luneta dan juga sambutan (yang tak dibacakan) pada forum pemuda di Universitas St. Thomas, Paus menegaskan pentingnya melindungi alam ciptaan (lingkungan hidup). Ia menggarisbawahi bahwa Negara-negara kepulauan seperti Filipina menjadi korban akibat perubahan iklim, dan lebih lagi mengorbankan orang miskin dan kaum marjinal.

Ajakan Paus untuk melakukan sesuatu berhubungan dengan perubahan ilim bukan sekedar ajakan untuk memulai, tetapi juga mendesak kita untuk berpikir dan bertindak nyata, malakukan apa yang bisa dilakukakan,   berhubungan dengan perubahan iklim, yang sudah sungguh darurat.

Inilah alasan mendasar mengapa Paus mengingatkan suatu ”imperatif moral” untuk menjamin adanya keadilan sosial dan keadilan iklim bagi generasi sekarang dan di masa depan.

Mengagumkan bahwa Paus yang dikenal pembela orang miskin ini, juga mengangkat tema ketidakadilan global lainnya dan mengangkat fakta yang nyata,  untuk menyakini dan mendorong 1,2 miliar orang Katolik, bahkan para pemimpin politik untuk berani dan segera bertindak menghadapi perubahan iklim.

Peran khas Paus sebagai pemimpin agama, dan juga pejuang lingkungan, sungguh pas bertepatan dengan 20 tahun negosiasi dengan komitmen untuk mengurangi emisi (Protokol Tokyo 1995, red.). Paus berharap bahwa ensiklik yang akan datang tentang perubahan iklim akan memperngaruhi pertemuan PBB tentang perubahan iklim di Paris tahun ini.

Paus meminta warga Filipina untuk tetap kuat, beriman dan gembira berhadapan dengan bencana alam. Dia menegaskan bahwa kita bukan hanya korban bencana alam, tetapi orang-orang yang berani dan kuat menghadapi bencana alam.

Tetapi, janganlah kita lupa, siapa sesungguhnya penyebab bencana ini, yakni mereka yang menghasilkan polusi – industri bahan bakar fosil – yang memenuhi langit dengan emisi dioksida dan menyebabkan marjinalisasi sosial. Mereka harus sungguh bertanggungjawab atas krisis iklim yang membawa bencana bagi banyak negera, seperti Filipina.

Sampai kini, kejahatan moral dari pelaku industri bahan bakar fosil, tersembunyi di balik tumpukan kekayaan dan kekuasaan mereka. Pemerintah mereka memiliki banyak uang dan menyuntikkan ketakutan ke arena politik, sehingga membebaskan mereka dari upaya nyata demi pembangunan berkelanjutan.

Bagi kita, agar sungguh mampu menciptakan perubahan dalam lingkungan hidup kita, kita harus bebas dari jebakan industri bahan bakar fosil.

Lebih dari sekedar soal moral, tuntutan tersebut merupakan imperatif etis bagi para pemimpin dunia untuk mewujudkan keadilan iklim sekarang ini, mendorong tanggungjawab dari mereka yang menyumbang polusi besar dan merancang jalan keluar yang rendah karbon, sehingga anak cucu kita memiliki masa depan berkelanjutan.

*(Anna Abad, pengkampanye perubahan iklim dari Green Peace Asia Tenggara, Master Administrasi Publik dari Universitas Nasioanal Singapur – Sekolah Kebijakan Publik Lee)

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

4 × five =