Oleh: Sdr. Peter C. Aman, OFM
Konsumerisme itu dahsyat dan tak sungkan menegaskan diri. Kata-kata bertuah dari Cartesius pun disulapnya. Jika sang empuh filsafat modern berujar, “cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada), konsumerisme mendaulat diri di depan public dengan berujar, “consummo ergo sum” (saya mengkonsumsi maka saya ada).
Konsumerisme tidak memiliki martabat, karena sejatinya bukan suatu pribadi, juga tidak mengacu kepada pribadi. Konsumerisme adalah sampiran dan dekorasi kehidupan dengan peran yang kontradiktoris.
Ibarat sebuah dekorasi atau sampiran hiasan, ia tidak substansial (hakiki). Ketika dia tak hadir, yang dirasakan hanya “ada yang kurang”, bukan suatu absentia (ketiadaan atau ketidakhadiran). Mestinya tanpa dekorasi pun, tak ada yang perlu “disesali”, toh tidak menyangkut hakekat, inti dan pokok.
Tetapi ini hanya suatu pengandaian nalar. Dalam kenyataan kita menjumpai pembalikan nilai. Dekorasi dipersepsikan sebagai inti, yang inti cenderung dipalsukan dan yang palsu didaulat sebagai inti dan pokok.
Dalam lingkup kehidupan yang digerogoti oleh pembalikan nilai, konsumerisme menjadi tuan yang meraja. Ia tampil dengan kekuatan penuh, tetapi menghadirkan kegelisahan dan kecemasan pada mereka yang ingin bertahan dalam kesejatia.
Ia menghadirkan kegelisahan pada mereka yang was-was dan cemas pada ketidakberdayaan manusia sezaman, yang tidak kritis dan cermat untuk menelisik dalam nalar dan nurani bahwa konsumerisme hanyalah dekorasi, yang juga ketika tidak ada, manusia tidak kehilangan apa-apa.
Kesadaran seperti ini, kendati penting, sekarang jarang dijumpai. Konsumerisme menguasai ruang kesadaran manusia, yang enggan menghargai hakekat, tetapi terbuai oleh tampilan.
Karenanya tak heran bahwa seorang Paus pun menjadi cemas karena konsumerisme bahkan sudah menjajal ruang-ruang suci. Ketika yang suci pun tergerus kepalsuan maka benteng terakhir moralitas sebenarnya sedang goyah.
Kita simak kata-kata Paus Fransiskus: “Bahaya besar dalam dunia sekarang, yang diliputi konsumerisme, adalah kesedihan dan kecemasan yang lahir dari hati yang puas diri namun tamak, pengejaran akan kesenangan yang sembrono dan hati nurani yang tumpul. Ketika kehidupan batin kita terbelenggu dalam kepentingan dan kepeduliannya sendiri, tak ada lagi ruang bagi sesama, tak ada tempat bagi si miskin papa. Suara Allah tidak lagi didengar, sukacita kasih-Nya tidak lagi dirasakan, dan keinginan untuk berbuat baik pun menghilang. Ini merupakan bahaya yang sangat nyata bagi kaum beriman juga” (Evangelii Gaudium 2).
Konsumerisme memenjara manusia pada diri sendiri dan kenikmatan ragawi sendiri. Ia menisbihkan sesama dan mengagungkan penumpukan materi, juga ketika dia sendiri tidak berdaya menghabisinya. Konsumerisme berkolusi dengan ketamakan.
Ia menemukan “keagungan diri”, pada tumpukan materi, bukan pada laku adil dan benar. Konsumerisme tidak melulu fenomena masa kini. Ia menemani peradaban manusia dan menguat tatkala hasrat akan kepalsuan mengalahkan yang hakiki.
Kritik terhadap konsumerisme juga dilontarkan Santo Paulus kepada umat di Roma, “orang-orang demikian tidak melayani Kristus, tetapi perut mereka sendiri” (Rom 16:18).
Juga kepada umat di Filipi ia mengingatkan agar waspada terhadap orang-orang hanya peduli pada urusan dirinya sendiri, “Kesudahan mereka ialah kebinasaan, Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi” (Flp. 3:19).
Kosumerisme menghadirkan kenikmatan dan kepuasan. Ia tidak ramah terhadap solidaritas dan kepedulian serta spirit berbagi. ia mereduksi manusia menjadi makhluk yang mengkonsumsi. Konsumerisme berkekuatan besar menghancurkan lingkungan hidup.
Frase inspiratif dari Paus Fransiskus patut dicermati. “Krisis di seluruh dunia yang memberi kekuasaan kepada keuangan dan ekonomi menunjukkan ketidakseimbangannya dan, terutama, kurangnya perhatian nyata pada manusia: manusia direduksi pada salah satu dari kebutuhannya saja: konsumsi” (EG 55). Konsumerisme hadir sebagai petaka.