St. Fransiskus, Seiring dengan cara pandangnya terhadap alam, ia mengenal dirinya sebagai milik “dari” dan pemilik “atas” planet ini. Ia bagian bahkan anak “dari” bumi ini.

Dialog antaragama menjadi pokok yang hangat diperbincangkan akhir-ahir ini. Direktur JPIC OFM  Indonesia, Saudara Peter Aman OFM, membuka rapat kerja tahunan JPIC-OFM kali ini dengan membahas tema yang sama. Rapat kerja yang melibatkan mitra kerja, utusan JPIC sejumlah tarekat Fransiskan (SFS, FMM, FSGM, OSF, dan SKPKC OFM Papua) ini berlangsung 16-19 Januari 2017 di rumah Ret-ret Puspanita, Ciawi, Jawa Barat.

Tema ini dibahas karena para Fransiskan secara khusus St Fransiskus Asisi telah melakukan dialog dengan orang kepercayaan lain semasa hidupnya. Dialog antaragama, bagi para Fransiskan, merupakan suatu kekayaan spiritualitas. Dengan demikian, salah satu aspek yang wajib dilakukan oleh para Fransiskan adalah merawat ingatan. Merawat ingatan tidak hanya sekadar membanggakannya sebagai kekayaan belaka, melainkan harus menjadi aksi nyata. Dalam arti, para Fransiskan harus menjadi pionir dalam mewujudkan dialog dengan kepercayaan dan kebudayaan lain saat ini.

Melalui tindakan ini Fransiskan diharapkan mampu mengembangkan tradisi yang telah diwariskan oleh St Fransiskus Asisi. Santo Fransiskus Assisi adalah teladan dalam praksis dialog antaragama. Ketika Perang Salib di Timur Tengah berkecamuk, Fransiskus Asisi berani ke sana untuk bertemu Sultan Malik Al Kamel sebagai pemimpin pasukan Muslim. Inilah perjumpaan yang tidak akan dilupakan oleh dunia.

Perjumpaan St Fransiskus Asisi dan Sultan Malik Al Kamel mejadi titik awal dialog antaragama. Perjumpaan dua tokoh yang sangat berpengaruh pada masanya ini menjadi sejarah baru dalam Gereja Katolik dan dunia. Mereka mewakili dua kubu yang tengah bertikai saat itu. Pasukan Kristen dan Muslim saat itu tengah berperang. Kardinal Pelagius sebagai wakil Paus di medan pertempuran melarang Fransiskus untuk berdamai dengan pasukan Muslim.

Akan tetapi, Fransiskus dengan semangat membawa damai ke tengah kaum muslim tetap ingin berjumpa dengan Sultan dan berhasil. Fransiskus yang awalnya dicemaskan akan dibunuh oleh pasukan Muslim ternyata diterima dengan baik oleh Sultan Malik Al Kamel.

Perjumpaan yang penuh keakraban nuansa persaudaraan antara dua tokoh ini menjadi pelajaran bagi Gereja Katolik bahwa perang hanya akan membawa penderitaan. Kedatangan St Fransiskus yang tidak membawa senjata meyakinkan Sultan untuk menerimanya. Bahwa Fransiskus tidak membawa senjata dan datang dengan tangan kosong menjadi simbol bahwa dia datang bukan untuk berperang, melainkan datang untuk membawa damai.

Memang sebelum Fransiskus dan Sultan bertemu sudah ada perjumpaan antara orang Kristen dan Muslim. Akan tetapi, perjumpaan itu terjadi dalam medan perang. Dan Fransiskus sendiri sangat tidak ingin perjumpaan seperti itu. Fransiskus ingin agar perjumpaan itu terjadi dalam nuansa persaudaraan. Fransiskus mampu memberikan contoh untuk kita semua bukan hanya bagi para Fransiskan, tetapi juga semua orang bahwa setiap perjumpaan tidak harus dilakukan dengan perang. Di setiap perjumpaan harus ada kedamaian.

Fransiskus Asisi secara khusus menulis tentang spirit dan metodologi bermisi di tengah kaum Muslim. Metode ini penting, karena saudara Dina mendapat mandat untuk bermisi ke tengah kaum Muslim. Mandat ini didapat dalam kapitel Tikar tahun 1219. Mandat ini juga dipengaruhi oleh konsili Lateran IV tahun 1215, sehingga Fransiskus Asisi sendiri mesti memberikan tanggapan dalam rupa panduan bagi para saudara. Meskipun sebelumnya, pada 1217,  para Saudara Dina telah mengirim 5 orang saudara ke Maroko. Akan tetapi, dengan adanya hasil kapitel ini menjadi bukti nyata bahwa para Fransiskan harus hadir di tengah kaum Muslim.

Panduan bermisi versi Fransiskus adalah membawa damai kepada semua orang yang dijumpai. Hal ini merupakan bentuk pelajaran bagi Fransiskus dan para saudara yang lain setelah misi ke Maroko dimana 5 saudara Fransiskan tidak mendapatkan hasil. Mereka malah dibunuh oleh orang Muslim di sana. Oleh karena itu, Fransiskus ingin bermisi dengan cara baru. Dia tidak ingin berkhotbah, mentobatkan dan membaptis sebagai prasyarat keselamatan karena memang konteksnya genting dan mendesak.

Relevansi dari pertemuan antara Fransiskus Asisi dan Sultan Malik Al Kamel menyadarkan kita bahwa pada abad ke-13 telah terjadi suatu peristiwa besar bagi dua agama besar di dunia. Para Fransiskan diharapkan tetap mempertahankan misi tradisional yang telah dilakukan oleh Fransiskus Asisi abad ke-13 lalu. Dialog dengan agama lain menjadi bentuk ketaatan Fransiskan kepada Gereja Katolik. Karena, dalam Geraja Katolik sendiri melalui dokumen Lumen Gentium memiliki pandangan yang jelas terkait dengan kaum Muslim. Oleh karena itu, Fransiskan yang mempelopori terjadinya dialog antaragama melalui peristiwa Fransiskus berjumpa dengan Sultan harus menjadi garda terdepan untuk terjadinya dialog dengan kaum Muslim dan agama lainnya.

Melalui kegiatan dialog dengan agama lain, Fransiskan diharapkan dapat mempertanggungjawabkan spiritualitasnya dalam konteks zaman. Hal ini dapat dilakukan dengan memajukan dialog dan koeksistensi damai dalam kehadiran di tengah kaum muslim.

Yeri Lando OFM

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

two × 2 =