Dalam refleksi bersama, hari kedua rapat kerja JPIC-OFM Indonesia, di Aula Villa Puspanita, Jl. Raya Sukabumi No. 1, Bitungsari, Ciawi, Jawa Barat, Pater Peter C. Aman OFM membagikan refleksi atas pengalaman Fransiskus Asisi hadir di tengah kaum muslim saat Perang Salib.

Fransiskus hadir di tengah kaum Muslim dengan tidak membawa apa-apa. Dia hanya mengandalkan spirit dan keterbukaan untuk berdialog guna menciptakan perdamaian. Melalui tulisannya, Anggaran Dasar Tanpa Bulla pasal XVI, ikon dialog itu menulis:

“Saudara-saudara yang pergi (ke tengak kaum muslim) dapat membawa diri secara rohani di antara orang-orang itu dengan dua cara. Cara yang satu ialah: tidak menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, tetapi hendaklah mereka tunduk kepada setiap makhluk insani karena Allah dan mengakui bahwa mereka orang kristen. Cara yang lain ialah: mewartakan firman Allah bila hal itu mereka anggap berkenan kepada Allah, supaya orang percaya akan Allah yang Mahakuasa, Bapa Putra dan Roh Kudus, Pencipta segala sesuatu, dan akan Putra, penebus dan penyelamat, dan supaya dibaptis dan menjadi kristen…” 

Dalam refleksi bersama itu, Direktur JPIC OFM Indonesia itu menegaskan bahwa spirit perdamaian Fransiskus dipertaruhkan dalam situasi Gereja pada zamannya yang ditandai perang.

“Jika Gereja ingin merebut Tanah Suci dengan perang, Fransiskus Asisi melalui metode dialog, merebut hati kaum muslim dengan perdamaian. AnggTBul XVI ditulis tidak terlepas dari dua hal: Pertama, kebijakan Ordo Fransiskan untuk bermisi ke tengah kaum muslim dan situasi perang salib yang mengobarkan permusuhan antara Kristen dan Islam. Kedua, pengaruh keputusan Konsili Lateran IV (Paus Innosensius III), yang ingin merebut kembali Tanah Suci dengan berperang,” ungkap Sdr. Peter.

Lebih lanjut, dalam sharingnya, imam Fransiskan kelahiran Manggarai ini mengutip Anton Rotzetter bahwa “Fransiskus menulis AnggTBul XVI sebelum dia ke Damieta untuk bertemu dengan Sultan. Dia menulisnya sesuai dengan semangat hidupnya dan para Saudara dalam kehidupan sehari-hari. AnggTBul XVI juga sebagai koreksi terhadap misi apologetik yang mewarnai misi Gereja pada saat itu.”

Selain itu, “pasal XVI ini merupakan kristalisasi keyakinan, spirit dan pengalaman Fransiskus sendiri berada di tengah kaum Muslim. Dia diterima dan berdialog secara terbuka kepada mereka. Gagasan pokoknya sudah ada di dalam benak Fransiskus sendiri tetapi pengalaman di Damieta memperteguh apa yang diyakininya. Spirit inilah yang tetap dijaga para saudara-saudari pengikut Fransiskus dalam bermisi di tengah kaum muslim,” tegas Pater Peter.

Spirit perdamaian itu kemudian digemakan terus oleh Gereja, khususnya melalui dokumen-dokumen konstitusional dan dekrit Konsili Vatikan II (KV II). Dalam Lumen Gentium menegaskan bahwa Gereja menghargai hal-hal baik pada agama dan keyakinan lain sebagai pekerjaan Allah dan layak dikembangkan (bdk LG 16). Selain itu Nostrae Aetate dikatakan yang benar dalam agama lain adalah berkas cahaya kebenaran. semua adalah saudara dari satu Bapa yang sama (bdk NA 5).

Semangat perdamaian ini diwujudkan melalui dialog dengan agam lain sebagai medium kesaksian iman. “Kita menjaga semangat itu dengan merawat ingatan. Karena apabila kita merawat ingatan berarti kita sedang mengembangkan tradisi dan mempertanggungjawabkan spiritualitas kita. Kita harus memajukan dialog dan koeksistensi dan pendidikan untuk evangelisasi mengintegrasikan misi ke tengah kaum muslim,” tegas Dosen Moral Dasa STF Driyarkara ini.

Albertus Dino, OFM

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

twenty − 13 =