Sdr. Peter C. Aman

Misi Gereja adalah “menginkarnasikan” Kerajaan Allah di dunia dan setiap orang Kristen dipanggil untuk mewujudkannya dalam hidup dan pekerjaan yang dipercayakan kepada mereka.  Mereka adalah partisipan dan pelaku karya keselamatan, yang dipercayakan Kristus kepada Gereja untuk diteruskan sampai akhir zaman.

Sebagai entitas utuh dari dunia, Gereja di utus ke tengah dunia, bukan demi dirinya sendiri. Gereja menjadi garam, terang dan ragi bagi dunia. Gereja tidak bisa tidak peduli terhadap apa saja yang ada dan terjadi di dunia, yang mengena dan menyentuh hidup manusia serta tugas perutusan Gereja sendiri.

Gaudium et Spes (GS) menegaskan, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS 1).

GS sendiri dengan cermat mengarahkan warga Gereja agar keterlibatan mereka dilakukan secara benar dan sistematis, agar dapat dengan tepat memahami realitas dunia, memberikan tanggapan yang pas serta solusi bermanfaat, baik bagi Gereja sendiri maupun bagi dunia (masyarakat). GS memberikan panduan, “Untuk menunaikan tugas seperti itu Gereja selalu wajib menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil.

Demikianlah Gereja – dengan cara yang sesuai dengan setiap angkatan – akan dapat menanggapi pertanyaan-pertanyaan, yang di segala zaman diajukan oleh orang-orang tentang makna hidup sekarang dan di masa mendatang, serta tentang hubungan timbal balik antara keduanya” (GS 4).

Kabar Sukacita Injil

Sesungguhnya misi dan perutusan Gereja di dunia meneruskan tugas perutusan Yesus sendiri, yakni mewartakan dalam “kata dan perbuatan” kabar gembira keselamatan, yakni hadirnya Kerajaan Allah di dunia.  Paulus VI sendiri mengingatkan bahwa tugas itu pertama-tama adalah tugas Kristus sendiri: ”Yesus`sendiri, warta Gembira Allah, ialah Pewarta Injil yang paling pertama dan paling agung” (EN 7).

Sebagaimana dalam peristiwa Yesus, demikian juga Gereja, mengalamatkan tugas pewartaan Kerajaan Allah kepada mereka yang hina dan miskin. Bagi Gereja melaksanakan tugas itu bukanlah suatu pilihan, tetapi suatu kewajiban, sebagaimana dinyatakan St. Paulus, “Celaka aku jika aku tidak mewartakan Injil” (1Kor 9:16).

Tentang keniscayaan tugas mewartakan Injil, Paulus VI menulis, “Sekali lagi kami hendak meneguhkan bahwa tugas mewartakan Injil kepada semua orang merupakan misi hakiki Gereja. … Mewartakan Injil memang rahmat dan panggilan khas Gereja, jati dirinya yang terdalam, Gereja berada untuk mewartakan Injil” (EN 14).

Pertanyaannya adalah apa konsekuensi (implikasi) dari tugas itu bagi dunia masa kini yang ditandai oleh ketidakadilan, kekerasan, peperangan dan kerusakan lingkungan hidup? Para Bapa Konsili mencermati bahwa persoalan yang menyentuh dan menodai kemanusiaan pada masa kini mesti menjadi perhatian dan kepedulian nyata Gereja.

Karena itu, para Bapa Konsili memandang perlu “mendirikan suatu lembaga universal Gereja, yang misinya ialah mendorong persekutuan umat Katolik, supaya kemajuan daerah-daerah yang miskin serta keadilan social internasional ditingkatkan” (GS 90.

Inilah cikal bakal dari munculnya lembaga (komisi) Keadilan dan Perdamaian  (Justice and Peace) dalam Gereja Katolik, yang selanjutnya memperluas kepedulian dan pelibatannya juga dalam bidang Lingkungan Hidup (Integrity of Creation). Lembaga itu kini dikenal dengan Justice, Peace and the Integrity Creation (JPIC).

Kritis Profetis: Belajar dari Yesus

JPIC sesungguhnya bukanlah hal baru dalam lingkungan Gereja. Nilai-nailai itu lahir dari rahim Injil,  inti pokok dari kehadiran, pewartaan dan tindakan Yesus. Misi keselamatan Yesus mengena pada manusia dalam segala aspek kehidupannya,  tidak hanya menyangkut aspek rohaniah serta keselamatan setelah kematian. Keselamatan yang diwartakan Yesus juga mencakup kehidupan nyata manusia di dunia.

Kehadiran, pewartaan dan tindakan Yesus sekaligus menyatakan bahwa keselamatan itu kini hadir dan dialami manusia. Tindakan penyembuhan atau pelbagai mukjizat yang dikerjakan-Nya secara efektif mempelihatkan bahwa keselamatan bukan semata-mata perkara akhir zaman, kelak di kemudian hari, tetapi suatu proses yang kini dimulai menuju kepenuhannya kelak.

Pewartaan dan tindakan Yesus, yang efektif menanggapi kebutuhan nyata manusia itu, ternyata tidak dipahami secara benar bukan hanya oleh para pendengar, tetapi juga oleh para murid-Nya. Para murid Yesus malah berpikir tentang apa  ganjaran untuk mereka kini, jika Yesus benar-benar menjadi raja.

Mereka pempertengkarkan posisi terbesar, atau bahkan mengincar kedudukan di sisi kiri dan kanan. Berulangkali Yesus mesti mendidik dan mengingatkan mereka bahwa jalan yang ditempuh Yesus adalah jalan menuju pemberian diri dan pengorbanan. Mereka dituntut untuk mengorbankan diri serta menerima resiko bahkan pengorbanan hidup. Jargon yang lazim untuk itu adalah memikul salib mengikuti Yesus.

Hal ini dapat dipahami, mengingat pewartaan dan tindakan Yesus merupakan suatu “perlawanan” atau antitese terhadap kebiasaan, cara berpikir serta praktek hidup keagamaan masyarakatnya, yang diwakili elite agama Yahudi (kaum Farisi dan ahli Taurat). Baik diingat bahwa kaum Farisi adalah kelompok elite religius yang memiliki niat serta tekad mempraktekkan Taurat sebagai pedoman hidup umat pilihan. Demikian juga ahli Taurat, merupakan kelompok cendikiawan yang memiliki kewenangan berkat keahliannya dalam menafsirkan Taurat.

Kita mendapat kesan “negatif” tentang kedua kelompok ini karena perdebatan terus menerus dengan Yesus. Penginjil (Sinoptik) juga senantiasa menunjukkan “keunggulan” argumentasi Yesus dalam diskusi atau perdebatan dengan mereka.

Tentu saja kita tidak dapat menyimpulkan bahwa kedua kelompok itu menyimpang dan serba salah. Masih ada Nikodemus dan juga Gamaliel yang memiliki keterbukaan dan menolak kecenderungan (yang ada pada elite religius) menghaki atau menguasai tafsir kebenaran agama.

Metodologi pewartaan Yesus, memperlihatkan sikap kritis serta tanpa lelah mencari akar kebenaran pada wahyu serta kehendak Allah sendiri. Tidak jarang Dia menyatakan diri memiliki otoritas pribadi untuk menyatakan kebenaran, karena Dia adalah kebenaran. Kekuatan Yesus untuk menyingkapkan kebenaran secara hakiki tidak jarang menimbulkan kekaguman para pendengarnya.

Para lawannya pun terdorong mencari argumentasi tandingan untuk mendebatnya pada waktu yang tepat. Yang pasti adalah bahwa sikap kritis Yesus mengganggu dan menggoyahkan, bukan hanya argumentasi tetapi juga posisi elite agama, yang akhirnya merancang perlawanan fisik terhadap-Nya.

Pewartaan tentang keselamatan atau kerajaan Allah, disertai oleh sikap kritis terhadap praktek hidup serta keyakinan-keyakinan palsu yang cenderung melanggengkan praksis nilai yang tidak sepadan dan sejalan dengan nilai-nilai kerajaan Allah yang diwartakan Yesus.

Argumentasi Yesus menggugat serta membuka mata pendengar-Nya (konsientisasi) untuk menilik fakta serta memahaminya dari sudut pandang dan argumentasi alternative. Pengajaran kritis Yesus sekaligus merupakan suatu pencerahan yang membongkar kepalsuan, yang pada masa itu diterima sebagai kebenaran.

Dalam mewartakan Kerajaan Allah, Gereja juga dituntut untuk kritis, juga profetis. Hal itu mengandaikan bahwa Gereja bebas dari kepentingan-kepentingan sesaat, yang dapat menghambat pelaksanaan tugas perutusannya. Sulit menampik peran sentral dan pengaruh Gereja dalam kehidupan masyarakat, tetapi Gereja dapat terbuai oleh pencapaian target dan kepentingan-kepentingan sesaat, lantas terhambat menjalankan peran kritis dan profetisnya.

GS mengingatkan bahwa Gereja (hirarki, umat Kristiani dan religius)  mesti “memperlihatkan bahwa Gereja dengan kehadirannya saja, beserta semua kurnia yang ada padanya, merupakan sumber yang tak kunjung henti bagi keutamaan-keutamaan, yang sangat dibutuhkan oleh dunia sekarang” (Gs 43).  Gereja dibutuhkan dunia justru karena memiliki otoritas menyuarakan kebenaran serta bebas dari pelbagai macam kepentingan, entah sosial, ekonomi maupun politik.

Dengan menjalankan peran sebagai suara hati bagi dunia, Gereja terutama melalui ajaran sosialnya justru akan menawarkan refleksi tentang kenyataan sosial yang serba rumit dalam terang iman dan tradisi Gereja. Ajaran sosial dimaksudkan untuk memberikan arah, kriteria dan dorongan aksi sebagai suatu pertanggungjawaban iman akan Kristus, pewarta utama Kerajaan Allah.

Misi kritis-profetis itu dirumuskan Sollicitudi Rei Socialis sebagai berikut: “Pengajaran dan penyiaran ajaran social Gereja tercakup dalam misi Gereja mewartakan Injil. Dan karena itu ajaran itu membimbing perilaku orang-orang maka membangkitkan “komitmen kepada keadilan” sesuai dengan peranan, panggilan dan situasi masing-masing. Pengecaman kejahatan dan ketidakadilan pun termasuk pelayanan mewartakan Injil di bidang social, yang merupakan satu segi peranan kenabian Gereja. Akan tetapi perlu dijelaskan, bahwa pewartaan itu selalu lebih penting dari pada pengecaman, dan pengecaman tidak dapat mengabaikan pewartaan, yang memberinya kemantapan yang andal dan kekuatan motivasi yang lebihluhur” (SRS 41).

JPIC:  Mata, Hati dan Tangan Gereja

Paus Paulus VI ketika meresmikan Komisi Keadilan dan Perdamaian (20 April 1967) memberi kata sambutan yang menarik untuk disimak. Beliau mengatakan bahwa misi dari komisi Justice and Peace adalah menjaga agar mata Gereja tetap terbuka, hatinya tetap peka dan tangannya senantiasa siap melaksanakan karya kasih yang harus diwujudkan di dunia.

Untuk dapat sungguh membuka mata, maka Gereja harus sungguh hadir, mencermati dan memahami  realita dunia, merefleksikannya dalam terang Injil, agar dapat memberikan tanggapan efektif Gereja terhadap keprihatinan dunia. Hati yang peka hanya mungkin terwujud kalau Gereja terbiasa dan mengenal dengan sungguh realitas dan penderitaan orang-orang kecil dan miskin.

Tanda bahwa Gereja sungguh mengenal derita dunia dan orang miskin, kalau Gereja tergerak untuk melakukan tindakan belaskasihan nyata. Hal itu mesti ditopang oleh gaya hidup serta kesaksian yata Gereja, bukan sekedar kotbah dan kata-kata indah.

Karya kasih adalah perwujudan kasih Allah akan dunia. Menerima dan mengalami Allah yang adalah kasih mendorong Gereja menempatkan kasih Allah dalam inti hidup dan keberadaannya. Gereja mesti juga mengembangkan kasih, bukan hanya dalam praksis karitatif, tetapi juga dalam wujud kasih sosial-politik yang mendorong Gereja bersama orang-orang berhendak baik, mengenal dan menyingkirkan akar-akar kemiskinan dan kekerasan dalam dunia.

Gereja mesti mendorong warga masyarakat untuk memajukan perkembangan manusiawi yang integral, dengan mengutamakan mereka yang terpinggirkan dan paling lemah. Berkat komitmennya Gereja mesti berupaya menyingkirkan struktur-struktur dosa, yang melahirkan penderitaan, kekerasan, kemiskinan, yang menyengsarakan kehidupan umat manusia.

Dalam arti demikian maka Gereja menjadi lembaga kritis dan profetis. Peran tersebut sejalan dengan dengan seruan GS, yakni membaca tanda-tanda zaman, menafsirkannya dalam terang Injil agar menemukan langkah-langkah untuk memnyikapinya (GS 4).

Kondisi atau fakta dunia masa kini mesti ditelisik secara kritis untuk menemukan akar-akar penyebab dari fakta-fakta derita, ketidakadilan serta penindasan yang mendera hidup manusia masa kini. Sebagai orang Kristen yang meneruskan tugas perutusan Kristus,  Gereja mesti menemukan rencana Allah untuk dunia masa kini.

Dalam bahasa Paus Fransiskus keberpihakan Gereja pada orang-orang miskin merupakan kategori teologis. Beliau menghendaki Gereja yang miskin bagi orang-orang miskin…berbagi dalam kesulitan-kesulitan mereka serta mengenal Kristus dalam diri orang miskin. Tanpa keberpihakan pada orang-orang  miskin, pewartaan Injil yang merupakan tindakan amal kasih menghadapi resiko disalahpahami atau tenggelam dalam samudera kata-kata yang sehari-hari membanjiri kita dalam masyarakat media komunikasi massa (bdk. EG 199).

Sebagai “mata, hati dan tangan”, maka JPIC di satu pihak merupakan representasi Gereja di tengah dunia untuk memperjuangkan dan mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah, di lain pihak merupakan suara hati bagi Gereja sendiri, agar Gereja tidak menyimpang, tetapi setia pada tugas perutusannya.

Sdr. Peter C. Aman, OFM, Direktur JPIC OFM Indonesia

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

4 × 3 =