
[*] David G. Horrell
Membaca Injil Secara Ekologis
Kutipan bahan-bahan yang relevan dari Injil untuk ekologi, tidak dengan sendirinya memberi suatu pendasaran biblis bagi teologi ekologi. Banyaknya lukisan atau gambaran tentang bumi atau lingkungan dalam Injil, tidak berarti bahwa Injil mengajarkan komitmen untuk menjaga ciptaan atau bahwa ciptaan memiliki nnilai intrinsik.
Tidak dapat diragukan bahwa fokus pewartaan Yesus, melalui tindakan dan mukjizat-mukjizat-Nya yang dikerjakan-Nya adalah manusia (antroposentris). Bukan hanya burung dan bunga, tetapi juga babi bernilai lebih rendah dari manusia.
Bagaimana jika kita melihat dalam lingkup lebih luas serta memberi perhatian pada sejumlah hal pokok dari pewartaan dan tindakan Yesus? Para ahli masih memperdebatkan, tetapi setidak-tidaknya kita temukan dua hal pokok, dari banyak pokok utama dalam misi dan pewartaan Yesus, yakni “Yesus sejarah” (yakni kontruksi pribadi Yesus dari pelbagai informasi Injil), sebagaimana ditampilkan dalam Injil Sinoptik.
Di sana kita menemukan dua hal pokok, yakni, pertama, pewartaan tentang Kerajaan Allah (bdk. Mk. 1:15; 4:11; 9:1); dan kedua, gagasan tentang kerajaan Allah yang terwujud dalam pewartaan dan tindakan Yesus; yakni bahwa Kerajaan Allah itu bukanlah sesuatu yang terjadi di masa depan, tetapi sekarang dimulai dan terwujud dalam pelayanan Yesus.
E.P. Sanders misalnya mengatakan bahwa pokok pertama, yakni kerajaan Allah, merupakan pokok yang dapat dikaitkan dengan Yesus sejarah. (Sanders 1985:326).
Gerd Theissen dan Annette Merz, dalam karya tentang Yesus sejarah, melihat bahwa pernyataan tentang Kerajaan Allah di masa depan dan yang sekarang hadir merupakan pokok yang otentik dari Yesus sejarah (1998:261; lih. Hlm.240-280).
Mereka menyimpulkan:
“Kerajaan Allah itu sekaligus di masa depan dan juga terwujud kini. Saat pemenuhannya sudah terjadi sekarang, dan setan sudah dikalahkan. Pernyataan-pernyataan mengenai pemenuhan dan perjuangan (konflik antara kepentingan setan dan Allah) menandakan suatu eskatologi di m,asa kini. Pernyataan-pernyataan mengenai munculnya Kerajaan juga memiliki makna kekinian. Pernyataan-pernyataan itu merupakan rumusan dan gambaran yang paradox, yang menyiratkan bahwa dunia baru sedang dimulai di tengah-tengah dunia lama. Tetapi hanya masa depan yang akan memberikan perwujudan penuh dari Kerajaan Allah” (Theissen dan Merz 1998:275).
Apapun hal yang berkaitan dengan Yesus historis, selalu menyiratkan sesuatu yang akan datang, yang dimulai masa kini, Mungkin hanya Markus yang kurang, memberi gambaran tentang “eskatologi yang kini dimulai”.
Kerajaan yang diharapkan itu kini hadir dan kelihatan, walau hanya sebagian dan secara antisipatif, dalam karya pelayanan Yesus dan kehidupan komunitas Kristiani (lihat diskusi Theissen dan Merz 1998:256-261).
Sejumlah teks penting dikutip di sini:
“Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Mat.12:28//Lk.11:20)
“Atas pertanyaan orang-orang Farisi, apabila Kerajaan Allah akan datang, Yesus menjawab kata-Nya:”Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah, juga orang tidak dapat mengatakan: lihat ia ada di sini atau ia ada di sana! Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara lkamu.” (Lk.17:21; lih. Juga Mat. 11:12-13//Lk.16:16; Mat.11:2-6//Lk.7:18-23).
Theissen dan Merz juga menyampaikan bahwa pewartaan Kerajaan Allah yang hadir kini dapat ditemukan dalam Mk.1:15-16 (hlm.256-257), sedangkan kombinasi kehadiran Kerajaan di masa kini dan di masa depan ditemukan dalam doa Tuhan (hlm.161-264).
Satu pertanyaan penting berkaitan dengan kontribusi dari tradisi Yesus bagi etika lingkungan hidup Kristen adalah apakah Kerajaan – dan kepenuhan masa depan yang diantisipasi kini – mengandung di dalamnya akhir dari segala yang sekarang ada, termasuk alam ciptaan?
Pertanyaan ini akan didalami dalam bab 8 dan 9. Untuk sekarang dapat dikatakan bahwa ide tentang eskatologi yang dimulai masa kini mengandaikan adanya kontinuitas antara yang lama dan yang baru, karena ciri-ciri serta perubahan-perubahan yang menandakan Kerajaan masa depan itu kini sudah kelihatan.
Mengenai apa yang menandai kekuasaan Allah di masa depan, kita menemukan dalam visi profetis dari Perjanjian Lama, khususnya Kitab Yesaya, yang memberikan gambaran kuat, yang terdapat dalam Injil Sinoptik (lihat di bab 8 buku ini).
Dalam penyampaian program, yang ditempatkan Lukas pada awal pelayanan Yesus, Yesus membacakan di sinagoga teks Yesaya:
“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.
Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu Ia duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. Lalu Ia mulai mengajar mereka kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” (Lk.4:18-20).
Kendati kisah ini khas dalam Injil Lukas, sabda bahagia yang terkenal itu, yang diedit Matius dan Lukas dari sumber yang disebut Q, memperlihatkan isi yang sama, yakni berkat kepada orang miskin dan tertindas (Mt. 5:3-4//Lk.6:20-21).
Dalam tradisi Q yang lain, yang terdapat dalam Matius dan Lukas, Yesus mengutip teks yang sama dari Yesaya 61:1-2.
Ketika menjawab pertanyaan para murid Yohanes Pembaptis mengenai apakah “Dia yang akan datang”, Yesus berkata: “Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan khabar baik” (Mt. 11:5//Lk.7:22).
Adrian Leske dalam bukunya Earth Bible membaca Mat 6:25-34, teks favorit yang sudah kita lihat, dengan memperhatikan latarbelakang lukisan kenabian tentang pemulihan dan pembaharuan ciptaan (Leske 2002).
Dia menulis “Matius … menunjukkan bahwa Yesus datang untuk memenuhi nubuat Yesaya dan para nabi dengan mewartakan khabar gembira kerajaan Allah” (hlm.21).
Menurut Leske gambaran-gambaran seperti makanan, minuman dan pakaian, semuanya mengantisipasi perayaan Kerajaan Allah, yang dilukiskan sebagai suatu perjamuan (hlm.23).
“Kabar gembira Kerajaan Allah .. adalah bahwa Allah meraja sekarang ini di sini dan juga di masa depan” (hlm.25).
Tetapi, nampaknya Leske terlalu optimis dalam membaca teks ini ketika dia mengemukakan bahwa prinsip (keadilan ekologis) (lihat hlm 13-14) yakni keterhubungan dan kepedulian timbal balik manusia dan semua ciptaan sebenarnya secara implisit sudah disampaikan di sini (hlm.15-15.27).
Kenyataan bahwa “manusia mesti belajar dari makhluk ciptaan lain tentang bagaimana Allah memelihara ciptaan-Nya” (hlm.17) tidak mesti menunjukkan adanya keberhubungan yang mendalam antar-ciptaan; burung-burung dan buga-bunga berperan sebagai suatu analogi saja dari mana para murid mesti belajar tentang pemeliharaan Allah atas mereka (bahkan lebih dari itu).
Dan relasi para murid dengan Allah sebagai Bapa, tidak dengan sendirinya mengandung makna adanya relasi mandalam antara makhluk ciptaan sebagai warga komunitas bumi” (hlm 26), kecuali dalam arti minimal berkaitan dengan Allah sebagai Pencipta serta Penyelenggara segala sesuatu.
Upaya lain untuk menafsirkan Injil dengan latar belakang visi profetis dilakukan Richard Baukham dengan gagasan pembaharuan ciptaan. Richard Bauckham mengacu kepada kalimat dalam Mk 1:13, “Dia bersama binatang-binatang (Bauckham 1994).
Bauckham melihat bahwa dalam kalimat pendek ini terdapat gagasan mengenai harmoni eskatologis, secara khusus ide tentang Messias yang menegakkan kedamaian dengan dan di antara semua ciptaan.
Sebagaimana sudah kita lihat (dalam bab 4), tradisi Yahudi menyatakan adanya pemusuhan antara manusia dan binatang. Saling memangsa dalam dunia binatang merupakan tanda rusaknya hubungan, yang disebabkan dorongan daging yang terdapat pada makhluk hidup.
Bauckham mengusulkan dua model untuk mengatasi kerusakan relasi tersebut: pertama, dalam kehidupan orang benar, di mana ada perdamaian dengan binatang (Ayub 5:22-23) dan. Kedua, pada masa Messias ketika Messias keturunan David menegakkan perdamaian (lih. Yes 11:1-9).
Baca Juga: Yesus dan Ibu Bumi: Injil dan Ekologi
Bauckham menyatakan, “damai Messianik itulah yang diwujudkan Yesus, yakni berdamai dengan binatang … Yes 11:6-9, mengandung visi klasik mengenai damai Messianik dengan binatang, yang berhubungan dengan Yes 11:1-5, yaitu nubuat pprofetis dari Messias keturunan David. Damai dengan binatang adalah wujud kekuasaan Messianik yang benar (hlm.9, lebih lanjut dalam bab 8 nanti).
Studi Bauckham yang kaya dan sugestif, dengan berdasar pada empat kata Yunani dalam Injil Markus, “Dia bersama binatang-binatang”, membuka jalan di mana gambaran tentang Yesus dapat memberikan suatu relevansi eskatologis.
Penting untuk menekankan bahwa relevansi yang demikian hanya dapat ditemukan ketika gambaran tentang kerajaan Allah diperkaya dan mendapatkan informasi dari lingkup biblis yang lebih luas dan teks-teks Yahudi.
Sejauh Injil memberikan visi eskatologis, maka fokusnya adalah antroposentris. Unsur-unsur dari visi Yesaya yang ditemukan dalam Injil misalnya, merupakan gagasan janji pembebasan masyarakat yang menderita dan tertindas (Yes 61:1-3; bdk. Mt 5:3-4//Lk 6:20-21; Mt 11:5//Lk 7:22; Lk.4: 18-19) dan bukan tentang ciptaan yang terbebaskan dari kekerasan karnivora dan insting keganasan (Yes 11:6-9; 65:25.
Referensi Yesaya kepada tahun rahmat Tuhan (61:2) merupakan kiasan dari tahun Yubileum (bdk. Im.25:1055), yang memiliki impilkasi pada tanah: tanah yang istirahat dan dipulihkan sebagaimana juga manusia.
Tetapi pokok ini tidak disebutkan Yesus secara eksplisit dalam visi Yesayanya. Tentang itu Ernest Lucas mengobservasi:
“Latarbelakang Perjanjian lama membantu kita melihat pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah mengandung implikasi ekologis, kendati tidak secara eksplisit disampaikan dalam Injil. Penyembuhan yang dilakukan Yesus tidak mesti dilihat hanya dalam perspektif antroposentris.
Penyembuhan adalah tanda-tanda dari kedatangan suatu pembaharuan tatanan ciptaan seluruhnya. Mukjizat-mukjizat alami Yesus memiliki makna special dalam konteks ini. Ketika Dia menenangkan gelombang danau, cara dan kata yang dipakai Yesus adalah cara eksorsis.
Bukan hanya manusia yang berada dalam godaan kejahatan, yang membutuhkan pembebasan dari jeratan setan melalui penyembuhan dan eksorsisme. Juga berlaku pada ciptaan bukan manusia, dan karya pembebasan Yesus meliputi keduanya”. (Lucas 1999:94).
Jadi, eksatologi yang dimulai kini dalam Injil Sinoptik dapat memberikan kerangka yang dengannya visi eskatologis para Nabi Yahudi dan penafsirnya kemudian menjadi suatu yang bermakna bagi realisasinya sekarang serta tuntutan etis, sebagaimana juga harapan di masa depan.
Mungkin hal tersebut memberikan kerangka pokok yang dengannya teks-teks dan ide-ide lain memberikan sumbangan bagi teologi ekologi dan etika. Tetapi hal ini tetap mesti diesplorasi lebih jauh (lihat bab 11).
Sejarah dan Hermeneutika
Kita kembali sejenak ke pokok yang disampaikan pada awal, ketika saya mengutip Schweitzer yang mengeritik tentang tafsir “kehidupan Yesus” yang sebenarnya lebih merupakan ciptaan dari para penafsir bukan kehidupan Yesus sebagaimana adanya.
Saya juga mengatakan bahwa gambaran tentang Yesus yang sama juga ditemukan dalam banyuak tulisan teologis, selain dalam teologi tentang ekologi. Apakah itu masalah? Bukankah tidak dapat dicegah bahwa kita membuat Yesus menurut gambaran kita?
Sejak tulisan Schweitzer kita menjadi lebih hati-hati terhadap setiap klaim tentang tulisan objektif historis tentang Yesus (atau sebagai figure historis), karena sekarang ini semakin luas diakui bahwa setiap gambaran historis tidak bisa luput dari konteks, komitmen dan praduga dari penafsir.
Lukisan tentang Yesus, seperti halnya interpretasi terhadap tokoh KS, merupakan hasil dan refleksi dari suatu lokasi: budaya, politik, ekonomi, geografi, dll. Jadi, di satu sisi, kita tidak bisa terhindar dari menggambarkan Yesus menurut gambaran kita. Atau sekurang-kurangnya membuat Yesus sesuai dengan prioritas dan asumsi-asumsi kita.
Seringkali hal itu dibuat tanpa disadari oleh mereka yang ingin menggambarkan Yesus secara objektif. Sering juga , gambaran tentang Yesus (KS umumnya) lebih merupakan suatu refleksi, sekurang-kurangnya sebagian, dari keyakinan politis atau budaya, seperti paham tentang bangsa dengan ras superior serta membenarkan penaklukan; di sana ada hubungan erat antara misi dan kolonialisme.
Para pembaca dari konteks dan budaya lain, juga kadang-kadang mereka yang tertindas dan terjajah, memulai suatu gambaran yang berlawanan dan membaca dengan cara berlawanan, yang menantang hegemoni ilmu dari mereka (kelompok) yang mapan.
Tetapi, apakah dengan demikian kita begitu saja menerima dan mengharapkan bahwa kelompok vegetarian dan feminis, bersama dengan kapitalis dan pasar bebas, membuat gambaran Yesus yang sesuai dengan keyakinan mereka?
Demikian juga mereka yang konsern pada ekologi akan membuat gambaran Yesus ekologis, dan hal itu merupakan aspek penting dari upaya mereka untuk mempromosikan dan membenarkan cara pandang mereka sendiri?
Menurut saya ada dua ekstrem yang harus dihindari. Pertama, kecenderungan untuk hanya membuat gambaran Yesus sejarah, tanpa dipengaruhi samasekali oleh agenda atau komitmen kontemporer. Hal tersebut menurut saya, hanya ilusi.
Tetapi ekstrem lain adalah menerima begitu saja yang disampaikan oleh setiap penafsir, setiap kelompok kepentingan, yang memberikan gambaran mereka sendiri, sesuai pespektif atau cara baca mereka sendiri tentang Yesus, dan bahwa hal itu dalam arti tertentu, merupakan suatu refleksi sesuai dengan keyakinan dan kepentingan mereka sendiri.
Masalahnya adalah menjamin bagaimana kita tetap memperhatikan bahwa cara baca seperti itu mesti juga menjadi sasaran penelaahan kritis. Hal tersebut membuka kepada suatu kemungkinan, karena hanya dengan kemungkinan yang dapat dikomunikasikan, kita mencapai kemungkinan lain yang dapat kita ajukan untuk mempengaruhi satu sama lain, agar mengubah pandangan kita, untuk bertindak dan berkeyakinan berbeda.
Dengan kata lain, kita mesti berupaya menggambarkan potret Yesus yang mungkin, dengan terus menerus mengakui bahwa gambar itu dapat diubah, atau diganti, karena prioritas dan persoalan-persoalan khusus yang kita bawa.
Dengan demikian kita kembali kepada isu yang ada dalam buku ini: dengan ilustrasi yang memberi ruang interpretasi dan kesulitan-kesulitan (juga kemungkinan-kemungkinan) dalam membaca Injil secara ekologis.
Saya harap semakin jelas bahwa teologi ekologi dan etika tidak dapat begitu saja muncul dari “mendengarkan” pesan Injil (sebagaimana dianjurkan para editor buku The Green Bible’s). Kita sudah melihat dalam bab ini bagaimana menampilkan sejumlah teks Injil yang memberi indikasi bahwa Yesus mencintai ciptaan dan memperhatikan bumi, sebenarnya tidaklah mungkin, malah sebaliknya, lebih memberikan gambaran dari nilai-nilai yang dimasukkan penafsir, bukan isi dari Injil.
Namun pada saat yang sama juga ada kemungkinan untuk membuat suatu konstruksi teologi ekologi dengan menggunakan materi-materi dalam Injil, dengan menghubungkannya dengan visi eskatologi dari bahan-bahan para nabi.
Pokok yang perlu dijawab adalah menunjukkan bagaimana dan mengapa kita harus terlibat dalam membuat konstruksi interpretasi seperti itu; dan bagaimana melakukan itu tanpa berpikir bahwa apa yang dikatakan Injil adalah apa yang kita ingin untuk dikatakan Injil; tanpa berpikir bahwa Yesus sungguh seorang environmentalis yang mendahului zamannya.
[*] David G. Horrell adalah pengajar Perjanjian Baru dan Direktur Pusat Studi Kitab Suci, pada Universitas EXETER. Inggris. Artikel ini adalah terjemahan dari bab 6 bukunya yang berjudul: The Bible and the Environment, 2010, yang dibagi menjadi dua bagian. Diterjemahkan oleh Sdr. Peter C. Aman OFM.