LELAKI ITU menghabiskan seluruh waktunya di pantai. Hari berganti menjelma Minggu. Minggu bergulir menjadi bulan yang juga terus bergerak menjadi tahun. Lelaki itu seperti hanya membutuhkan satu ruang untuk waktu yang terus bergulir. Ia tak pernah beranjak dari pantai. Mungkin ia sedang kesepian dan hanya laut yang bisa memahami riak galaunya…

Atau jangan-jangan ia begitu cinta pada pantai! Entah!

Pasir putih menghampar. Tak ada banyak pohon di tepian yang mambuatmu bertahan menjelajah pantai ini dari ujung ke ujung. Di terik panas siang hari kamu takkan bisa bersembunyi. Rimbunan pohon sangat jarang. Di bibir pantai mendesis lidah-lidah ombak bernafsu menyapu jejak kakimu. Engkau memang perlu melewati bagian yang basah jika sedang memanjakan telapak dari panas siang yang serasa bara api dalam hamparan pasir.

Engkau akan mendapati pantai ini begitu indah. Kami menyebutnya Nanga Rawa. Di sini ada kampung pesisir yang namanya juga Nanga Rawa. Sebuah kampung plural di pesisir Selatan Manggarai Timur. Relasi kawin mawin di tempat ini mencairkan dikotomi Kristen-Islam. Yang muslim nikah dengan gadis Kristen. Gadis Kristen menjadi muslim. Orang tak mempersoalkan ini. Juga ketika gadis muslim nikah dengan pria katolik. Gadis itu menjadi katolik. Orang tak mempergunjingnya. Engkau mungkin heran betapa salib dan bulan sabit terlihat begitu akur di pesisir ini.

Ada cerita magis tentang kampung pesisir itu. Hal yang juga akan membuatmu tertarik dengannya. Ketika tiba di pantai ini, sebatang pohon asam yang menjulang di tengah kampung akan kau dapati. Pohon ini menyimpan kisah tragis. Dulu ada pria yang memangkas ranting kering di dahannya. Ia memangkas ranting itu buat kayu bakar. Kau tahu, apa yang terjadi setelahnya?

Lelaki itu mati secara mengejutkan di kamarnya. Tangis istrinya pecah saat membangunkannya di pagi hari untuk minum kopi. Orang kemudian memandang ini pohon keramat. Rantingnya tak boleh dipotong. Memangkas rantingnya menjadi sebuah pilihan untuk mati seperti lelaki itu. Padahal kita tahu cara mati itu harus unik. Orang tak pernah boleh mengkopi cara mati orang lain.  Setiap orang akan menemui cara matinya.

Memang ketika tiba di pohon itu kamu tak menemukan tanda larangan. Tak akan kau temukan sepotong papan bertuliskan: dilarang memangkas ranting pohon ini. Terinspirasi gambar bungkusan rokok saat ini, pada tulisan itu kamu mungkin hendak menyertakan gambar tengkorak yang menyiarkan aroma kematian. Pesannya jelas: ada bahaya kematian di balik pemangkasan ranting pohon itu. Tapi jika tetap penasaran, engkau boleh mencobanya ketika nanti tiba di pantai itu. Tetapi ada saja yang dengan yakin mewanti-wanti. Sekali melanggar, pagi berikutnya engkau tak bisa minum kopi…

Di belakang pohon itu ada mushola. Di samping mushola ada kolam yang setiap jangka waktu tertentu memberi panen ikan yang memberi panenan ikan warga di sekitar Nanga Rawa. Ketika panen tiba, orang dari kampung di bukit-bukit bahkan datang mengambil jata. Tapi ada aturannya. Panen ikan dilaksanakan dalam ritual yang diikuti semua warga.

Kolam itu nampak sebagai air sungai yang tak sampai ke laut karena dihalang tanggul pasir. Bertahun-tahun air menggenang dan tak pernah surut. Pasir yang membentuk tanggul itu akan dibuka saat panen. Air surut, dan orang mulai menciduk  seluruh isi kolam. Ada ikan udang, cumi-cumi dan sebagainya. Hasil panen dibagi untuk semua warga.

Di ujung cerita manis ini kamu mungkin akan menyesal dan bertanya. Mengapa tradisi ini tidak dijaga dengan baik? Konon selama waktu menunggu panen, tak boleh ada warga yang memancing ikan di kolam itu. Tapi saat ini banyak orang tak mengindahkan larangan itu. Orang tak sabar menanti panen yang berlangsung dengan sikap ritual yang penuh takzim pada alam. Tak terdengar lagi cerita panen ikan besar-besaran di kolam itu. Sudah hampir setahun saya ada di kampung pesisir ini. Tak ada cerita tentang panen yang akan tiba. Barangkali panen ikan dari kolam itu tinggal kenangan.

Diam-diam kamu mungkin tertarik datang kemari. Sebab kampung pesisir ini tak cuma menawarkan kecipak gelombangnya yang berubah garang ketika musim Tenggara tiba. Para penggemar selancar pasti menyenangi ini. Juga tak cuma menyajikan hamparan pasirnya yang putih.

Kampung pesisir ini menjadi paduan yang sangat mengagumkan dari beragam unsur keindahan. Jika melangkah ke kiri, setelah melewati pohon asam itu, kamu akan mendapati sebuah padang dan barisan bukit di belakangnya. Di padang itu, rumput tak lebih dari lima senti meter pada musim kemarau. Ketika hujan tiba, rumput-rumput itu akan bertambah tinggi. Di padang itu kamu bisa memandang barisan bukit yang indah dari ujung ke ujung. Di pojok kanan kamu akan melihat biru kerucut gunung Inerie. Engkau mungkin lebih mengenal kampung di bawah gunung itu. Sebuah kampung budaya yang mendunia dengan nama kampung Bena. Jika matamu menjangkau padang yang luas itu akan kamu dapatkan kuda tanpa sepotong tali kekang yang akan lari menjauh darimu. Juga ada rajawali yang terbang merendah. Mereka terbang meliuk-liuk seolah sedang memamerkan kelincahan.

Jika engkau memunggungi bukit dan menatap ke Barat, kamu akan menatap laut yang bergelombang. Akan kau dapati permukaan yang mengkilat bergulung-gulung di bawah sinar matahari sore. Dan jika engkau menyenangi senja: kamu akan bertahan menanti sunset tenggelam melesap di cakrawala di balik siluet pulau Mules. Setelahnya engkau memandang begitu takzim pada langit senja yang keemas-emasan. Masih kau dapatkan permukaan yang serentak menjelma lembaran emas karena cahaya kemerah-merahan dari bola mentari yang nyaris tenggelam.

Sampai di sini kamu memaki pengarang cerita ini. Di mana ia sembunyikan lelaki yang membuat penasaran itu?

Lelaki itu tenggelam di antara keindahan-keindahan yang diceritakan. Jangan-jangan pengarang ini sedang mempromosikan tempat paling indah yang pernah dikunjunginya? Sialan!

***

Di pantai itu, lelaki pemuja jejak  akan membawa sekopnya setiap kali sepasang kekasih menapaki bibir pantai yang basah. Jejak tapak-tapak kaki akan terlihat jelas. Seringkali ada pasangan yang lari terbirit-birit melihat lelaki itu memanggul sekop. Mereka menduga lelaki itu gila.

Tapi lelaki itu tak pernah tersinggung. Kadang ia tertawa sambil melambaikan tangannya pada sepasang kekasih yang menjauh sambil melihat ke arahnya. Mereka akan berhenti sambil ngos-ngosan melihat apa yang dilakukan lelaki itu dengan sekopnya.

Torehan jejak di Pantai Nanga Rawa
Torehan jejak di Pantai Nanga Rawa

Ia akan berjalan sebentar mengitari jejak-jejak itu. Ada sesuatu yang ingin disingkapnya pada jejak-jejak segar yang baru terbentuk. Ia akan memilih yang menurutnya paling serasi dari sepasang jejak itu. Ia akan mencongkel sepasang jejak dan menaruhnya di atas sebuah papan yang telah dirancangnya dengan bentuk yang indah dilihat. Papan yang pas benar dengan ukuran sepasang jejak para kekasih. Kemana ia selanjutnya membawa jejak sepasang kekasih itu?

Kamu mungkin menuduhnya penyihir. Ia akan merapalkan mantra pada sepasang jejak itu. Hubungan sepasang insan yang empunya jejak menjadi tak langgeng. Maka kali berikutnya hanya ada satu pasang jejak yang galau di pantai itu. Jejak dari mereka yang membagi kesal pada keabadian laut.

Mereka yang putus cinta akan mudah menuduh lelaki itu penyihir. Mereka akan kembali mencarinya di pantai. Mereka memaki-makinya dari jauh. Kadang-kadang lelaki itu dilempari batu tanpa pernah tahu siapa pelakunya. Tapi orang tak pernah berani menegur langsung. Seperti halnya kita tak pernah berani mengatakan secara langsung: kamu penyihir. Paling-paling kita bercerita di luar sana bahwa orang itu punya ilmu sihir.

Engkau harusnya betah menyimak karena kisah tentang lelaki itu tak pernah tunggal. Di saat lain ia datang dengan sepotong kayu berisi jejak yang diawetkan. Jejak itu masih terlihat seperti saat pertama kali ketika ia mencongkelnya. Pasir yang basah dan sepasang jejak yang segar. Bagaimana lelaki itu mengawetkan jejak? Simpan pertanyaanmu ini. Hanya lelaki itu yang tahu. Ia tak pernah membocorkan resepnya.

Dia menunjukkan jejak itu pada si empunya. Mereka terdiam sejenak. Mereka akhirnya ingat saat ketika mereka pertama kali datang ke pantai ini dan menjumpai lelaki itu. Lalu mereka mengajak lelaki itu makan siang atau menimati makanan ringan seadanya. Tetapi lelaki itu selalu menolak. Paling-paling ia hanya menerima pemberian berupa rokok. Rokok, katanya membawa kita lebih dekat pada kosmos. Sebab pada rokok ada api, salah satu dari empat anasir pembentuk kosmos menurut ajaran Filsafat Yunani klasik.

Ia akan pulang dengan jejak yang diawetkan itu. Sebelum pulang, sepasang kekasih gemar mengajaknya berpose. Lagi-lagi lelaki itu menolak. Kadang ada yang memaksanya begitu rupa sehingga lelaki kitu kehilangan cara sopan untuk menolak. Ia akhirnya mau pose bersama.

Tapi keterkejutan selalu saja terjadi setelah foto dicetak. Lelaki itu menampakkan punggungnya saja. Rupanya ia menyenangi foto tampak belakang daripada tampak depan. Orang akhirnya tak pernah menghafal wajahnya. Ingatan menjadi begitu lemah untuk menghafal wajah lelaki itu. Barangkali ia pemuja yang tak mau dikenal. Sebut saja pemuja rahasia.

Setiap perjumpaan terasa selalu baru. Orang akan terdiam sejenak untuk akhirnya mengakui, di pantai ini mereka pernah datang dan melihat seorang lelaki. Namun mereka sudah lupa wajah lelaki itu. Mereka lebih ingat pada sesosok tubuh yang datang dengan sekop dan mencari sepasang jejak terbaik untuk diawatkannya entah dengan merapalkan mantera apa.

***

Di saat lain lelaki itu menjadi penyulut pertengkaran sepasang kekasih. Pantai itu serentak menjadi latar dari kisah cinta yang tak langgeng.

Ia datang dengan sepasang jejak yang masih segar. Papan itu ditunjuknya pada sepasang kekasih. Di suatu kesempatan seorang pria mengaku, “yang ini jejak saya!”. Entah mengapa di depan lelaki itu orang bisa mengenal jejaknya sendiri. Orang hanya butuh sekian detik untuk memastikan: ini jejak saya.

Malang buat lelaki itu. Sebab perempuan yang digandengnya kali ini tiba-tiba merengut, menampilkan muka asam. Seperti asam yang menyambut mereka di pantai itu. Gadis itu kecut karena di situ ia tak mengenal jejaknya. Kemudian ia bertanya dengan begitu kesal pada kekasihnya, “Ini jejak siapa?

Lelaki itu sulit untuk menyembunyikan suatu hal. Minggu lalu ia bersama orang lain di pantai itu. Begitulah Nanga Rawa dan lelaki pemuja jejak menjadi cerita buruk bagi mereka yang menyimpan kekasih berjilid-jilid.

Lelaki pemuja jejak sepertinya mengunggulkan kesetiaan. Pada sepasang kekasih yang mengenal jejaknya masing-masing, lelaki itu memberi apresiasi. Ia memberi tempat yang tinggi untuk kesetiaan.

Sepasang kekasih yang setia akan selalu datang di pantai itu. Setiap kali itu juga lelaki pemuja jejak datang membawa sepasang jejak yang segar. Jejak yang diawetkannya entah dengan mantera apa. Pantai itu lekas menjadi kenangan indah untuk kekasih yang setia. Kini di pantai itu orang tidak berani membawa pasangan selingkuh.

Jika hendak selingkuh mereka akan ke pantai yang lain. Mungkin mereka ke Cepi Watu sebab ada batu-batu yang berserakan di sana. Orang menginjak batu, bukan pasir basah. Begitulah nantinya batu-batu itu menjadi pijakan sepasang kekasih gelap. Lelaki pemuja jejak kehilangan akal mengayun sekop untuk mencongkel jejak-jejak segar .yang tak pernah terlihat di batu-batu di Cepi Watu.

Tapi hal itu pun tak pernah terjadi di Cepi Watu. Lelaki Pemuja Jejak hanya ada di Nanga Rawa. Ia mungkin hendak menjadikan Nanga Rawa sebagai latar indah bagi sepasang kekasih yang setia.

Mungkin saja lelaki pemuja jejak itu memutuskan pindah saat dikabarkan bahwa pub-pub yang menjual alkohol, dentuman musik, dan layanan genit lady escort di Cepi Watu adalah ruang bagi pemuliaan kehidupan. Bagus nian. Dengan paket ‘wisata malam’ ini Cepi Watu lalu menjadi tempat memuliakan kehidupan para lelaki yang seringkali datang ke sana tanpa istri dan anak-anaknya!

Semoga saja tidak. Karena mungkin sekali lelaki pemuja jejak akan bertanya: memuliakan kehidupan kok sembunyi dari istri dan anak-anak pak? Belajar di mana sih itu?

Kamu ingin bertemu Lelaki Pemuja Jejak? Datanglah ke Nanga Rawa. Ia menanti kalian dengan sekopnya. Mencongkel jejak, menakar kesetiaan.

Nana Lalong

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

12 + sixteen =