JAKARTA, JPIC OFM Indonesia – Bangkitya populisme menjadi fenomena yang merebak di mana-mana belakangan ini. Di Indonesia muncul gerakan seperti  aksi bela Islam. Sementara di tingkat global munculnya gerakan dan kebijakan anti-Islam seperti di Amerika Serikat, Jerman, Perancis, dll. Fakta ini memantik nalar kritis civitas akedemika STF Driyarkara Jakarta.

Dalam rangka membuka rangkaian acara Dies Natalis yang Ke-48, STF Driyarkara mencoba memberi tanggapan ilmiah atas fenomena tersebut melalui seminar akademik yang mengusung tema “Indonesia dan Bangkitnya Populisme dalam Politik Global,” (Sabtu, 25/02).

Dr. Simon Petrus Lili Tjahjadi, Ketua STF Driyarkara menuturkan, tema populisme sangat relevan dengan situasi sekarang. Menurutnya, seminar akademik ini  menunjukkan tiga hal. Pertama, sebagai bentuk dari komitmen dari lembaga yang dipimpinnya untuk terlibat dalam membangun bangsa dengan refleksi filsafat. Kedua, menunjukkan bahwa filsafat harus berdialog dengan disiplin ilmu lain. Ketiga, menjadi momentum bagi civitas akademika Driyarkara untuk terus belajar sebagai insan-insan yang menggeluti filsafat.

Dalam seminar yang diikuti oleh sekitar tiga ratusan peserta ini, panitia menghadirkan tiga pembicara yaitu Luthfi Assyaukanie PhD, Prof. Dr. Hikmahanto Juwono dan Dr. Francesco Budi Hardiman. Sementara yang memoderatorinya adalah Dr. A. Setyo Wibowo.

Luthfi yang membahas bangkitnya populisme dalam Islam menuturkan bahwa ada keterkaitan yang jelas antara demokrasi dan populisme.

“Ketika glombang demokratisasi naik maka glombang populisme menurun dan ketika gelombang demokratisasi turun makan glombang populisme naik,” demikian menurut pendiri Qureta ini.

Karateristik populisme kontemporer menurut Luthfi yaitu anti terhadap universalisme dan globalisasi karena bagi kaum populis universalime dan globalisasi mengaburkan identitas mereka.

Penolakan terhadap imigran muslim di Eropa salah satu penyebabnya karena politik identitas ini. Namun, Luthfi juga mengingatkan tidak semua gerakan populisme itu berasal dari rakyat tetapi sengaja dirancang oleh elit tertentu untuk menggolkan kepentingan mereka sendiri. Bangkitnya populisme dalam Islam disenyalir selain karena politik identitas juga sengaja dimainkan oleh elit tertentu untuk kepentingan politik.

Sementara pembicara kedua, Prof. Dr. Hikmahanto Juwono, banyak membahas populisme dalam politik global. Pakar Hubungan International ini melihat bangkitnya populisme sebagai ekspresi ketidakpuasan masyarakat atas kebijakan dari para penguasa.

Seringkali produk hukum yang diciptakan lebih mencerminkan kepentingan penguasa. Sebab Hukum adalah politik!” Hukum mencerminkan kepentingan pihak yang berkuasa.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia ini menekankan produk hukum yang berdasarkan kemauan rakyat. Populisme bangkit ketika rakyat kecewa dan tidak senang dengan apa yang ditawarkan pemerintah.

Dr. Francesco Budi Hardiman yang membahas populisme dari filsafat politik mengatakan, “sebagai gerakan oposional, populisme kanan mengancam negara hukum demoktratis karena  mereka dapat menekan parlemen, mendikte pemerintah, mengancam pengadilan dan polisi. Di dalam masyrakat, mereka (kaum populis kanan)  meracuni ruang-ruang publik dengan ujaran-ujaran kebencian terhadap elit, minoritas dan pendatang.”

Dosen Filsafat Politik STF Diyarkara ini melihat populisme sebagai suatu pelajaran dalam demokrasi. Populisme muncul ketika ada persoalan dalam demokrasi seperti kesenjangan yang sangat tinggi dan ada sikap tidak percaya kepada elit. “Karena elit tidak mencerminkan sikap negarawan yang normatif!”

Namun ia juga menilai bahwa populisme merupakan simptom, suatu penyakit dalam sistem negara demokrasi.  Populisme tidak bisa disandingkan dengan demokrasi.

Ada ambivalensi dalam gerakan populisme. Partai-partai populis tetap bersikap oposisional sekalipun mereka memerintah. Bahkan ia sulit untuk berdiri sebagai partai karena kecendrungannya yang menerjang prosedur.

Populisme, kata Hardiman, bukanlah solusi. Ketika masuk sistem, populisme mengalami kesulitan dengan dirinya sendiri karena begitu banyak kepentingan. Tidak ada pegangan yang bisa mempertemukan semua kelompok itu. Demikian besar nafsu partai populis sehingga tidak bisa mendisiplinkan diri dalam suatu sistem.

Seperti membaca masa depan gerakan ini, dengan yakin ia mengatakan “Populisme dikutuk untuk gagal!”

 Rian Safio

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

8 − 3 =