“Aku seorang diri dan merasa begitu senang di lingkungan ini yang telah diciptakan untuk sebuah jiwa seperti jiwaku.” (J. Wolfgang Goethe dalam Die Leiden De Jungen Werther)
Mungkin karena keterpesonaan yang begitu mendalam dengan alam di sekitarnya, maka Goethe menyelipkan kata-kata itu dalam salah satu karyanya. yang datang dari pemahaman yang mendalam pula tentang misteri kabut tebal dalam alam semesta yang juga ada dalam diri manusia. Atau mungkin karena kedekatan dan kelekatan inilah yang membuat Goethe tak mampu mengelak?
Dalam sejarah pemikiran filsafat, kesadaran tentang alam menjadi yang pertama mendapatkan kursi kehormatan dalam kesadaran manusia sekaligus melahirkan hasrat besar untuk menyibak kabut tebal di dalamnya. Namun, hasrat untuk mengetahui atau menyibak kabut tebal itu, saya kira, bukanlah sebuah motif tunggal. Adalah siasat untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam kelangkaan (scarcity) yang seringkali luput dari kesadaran kita.
Hesiodus (sekitar 700 SM), seorang penyair Yunani kuno, dalam puisinya berjudul Kerja dan Hari menulis demikian: “Manusia harus bekerja lantaran dewa-dewa membuat makanan tetap tersembunyi; karena jika tidak, dengan mudah kamu akan memperolehnya dalam sehari apa yang kamu butuhkan untuk setahun.”
Tapi, kita tidak belajar seni bersiasat menghadapi kelangkaan dari Hesiodus, atau dari Xenophon oikonomos yang melahirkan istilah sebagai akar kata ekonomi, melainkan dari Adam Smith (1723-1790) dalam karyanya The Wealth of Nations.
Smith, sebagaimana dikemukakan oleh Romo Herry-Priyono (Diskursus Vol.6, No.1, April 2007, 7), menulis karyanya itu karena digerakkan oleh kegelisahan akan pencarian dalil-dalil yang memungkinkan simpang-siur gejala alam semesta maupun kehidupan sosial tidak berujung pada chaos, tetapi pada tata keteraturan.
Sekarang, ekonomi hadir ke tengah-tengah kita layaknya makanan siap saji: tersedia dan siap disantap. Sehingga, apapun di sekitar kita: asal ada, pasti siap disantap! Entah itu alam atau mungkin juga sesama manusia. Tidak banyak orang menangkap pesan kegelisahan, bahkan moral di dalamnya.
Menyebut kata ekonomi kepada anak-anak zaman ini langsung diidentikkan dengan untung, rugi, laba, dan ujung-ujungnya uang. Mungkin karena itu juga, maka kata ekonomi lebih sering disandingkan dengan politik: ekonomi-politik karena nyaris tak terbedakan dalam tataran idealisme dan praktiknya yang kotor. Lalu, kita masih dengan bangga memukul dada mengatakan bahwa kita sebagai homo oeconomicus?
Semoga saudara-saudara saya yang sedang berjuang menolak reklamasi Teluk Benoa di Bali dan eksploitasi Pantai Pede di Manggarai Barat adalah orang yang memiliki semangat yang sama dengan Goethe: mendapati alam terbentang luas di dalam jiwanya!***
Sdr. G. F. W. Ranus, OFM