Joe Rozansky bukanlah sosok baru dalam “dunia” JPIC, khususnya dalam Ordo Fransiskan (OFM). Sejak lama beliau telah terlibat dalam JPIC. Perjumpaan  pertama dengan beliau terjadi tahun 2000, sewaktu Kongres Internasional JPIC OFM di Vossenack, Jerman.

Sejak tahun 2005 beliau menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif JPIC OFM di Roma serta berakhir tahun 2015 . Sekarang beliau kembali ke Provinsi asalnya di New York, USA,  dan mendapat tugas sebagai formator dan juga Presiden Franciscans International. Beliau sendiri tinggal di rumah formasi Fransiskan di Chicago.

Redaksi kali ini menampilkan beliau untuk mensyeringkan refleksinya tentang JPIC, dan kepadanya diajukan beberapa pertanyaan via email sebagai berikut:

JPIC dalam Gereja Katolik sudah semakin berkembang, demikian juga dalam Taekat-Tarekat Religius. Sebenarnya apa sih landasan teologis dari konsern Gereja pada JPIC? Dan bagaimana riwayat perkembangan pandangan Gereja tentang JPIC?

JPIC adalah aspek integral dari Evangelisasi masa kini. Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes dikatakan, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS 1).

Para Uskup peserta Konsili tentu saja dipengaruhi oleh dokumen Ajaran Sosial Gereja seperti Rerum Novarum, Quadragesimo Anno, Pacem in Terris, serta  diperkaya pengalaman pastoral mereka. Semua itu menuntut mereka bersuara demi keadilan sosial serta demi mereka yang tertindas.

Selanjutnya dalam Sinode Uskup tahun 1971, para Uskup meneruskan refleksi mengenai ajaran social Gereja yang menghasilkan dokumen Keadilan di Dunia (Iustitia in Mundo). Dalam pengantar dokumen tersebut dikatakan, “Kegiatan demi keadilan dan partisipasi dalam perombakan dunia, bagi kami nampak sepenuhnya sebagai dimensi hakiki pewartaan Injil, atau, dengan kata lain, perutusan  demi penebusan umat manusia serta pembebasannya dari tiap situasi penindasan” (JiW no.6).

Gaudium et Spes dan Iustitia in Mundo jelas-jelas memperlihatkan perkembangan kesadaran para Uskup bahwa seluruh karya mewartakan Injil dalam Geeja mesti berhubungan dengan apa yang sedang terjadi di dunia sekitarnya. Mewartakan Inji tidak bisa dipisahkan dari apa yang terjadi  di dunia, pada tempat dan waktu tertentu.

Penggunaan kata “konstitutif” amat tegas, karena mau menekankan bahwa karya kita dalam bidang keadilan dan perdamaian merupakan hal hakiki dalam pewartaan Injil. Memperjuangkan keadilan dan perdamaian adalah wujud komitmen pada misi Gereja mewartakan Injil.

Dalam Sinode tahun 1987, para Uskup juga menegaskan hal penting, di mana dikatakan bahwa Roh Kudus memimpin kita untuk lebih memahami makna kesucian pada masa kini. Kesucian tidak dapat dicapai tanpa komitmen pada perwujudan keadilan. Paus Yohanes Paulus II dalam Centesimus Annus juga menyatakan bahwa mewartakan ajaran sosial Gereja adalah bagian hakiki dari pewartaan kristiani …. Dan unsur dasar dari evangelisasi baru” (CA 5).

Bagaimana perkembangan tersebut terjadi dalam Ordo Fransiskan?

Pernyataan-pernyataan dari Hirarki Gereja tersebut mendorong kaum religius pada umumnya, khususnya pada Fransiskan, untuk memperganda upaya menjadikan JPIC bagian integral dari misi serta kehidupan mereka. Pada awalnya isyu keadilan dan perdamaian menjadi kepedulian utama, namun kemudian, perhatian pada ekologi juga menjadi penting, karena bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh persoalan lingkungan hidup yang dihadapi umat manusia pada masa kini.

Maka, keutuhan ciptaan menjadi bagian keprihatinan kita. Hal tersebut jelas penting dan benar bagi kita Fransiskan. St. Fransiskus Assisi diangkat Gereja menjadi pelindung ekologi  dan spiritualitas Fransiskan sungguh berlandaskan pada cinta akan alam dan kepedulian pada ciptaan Allah yang mengagumkan.

Apa tantangan dalam pemahaman tentang JPIC sebagai bagian esensial dari evangelisasi serta kehidupan Fransiskan?

Landasan dasar untuk memahami JPIC sebagai aspek integral dari evangelisasi adalah pemahaman tentang spiritualitas secara baru. Sementara orang merasa bahwa iman dan perjuangan mewujudkan perubahan sosial adalah dua hal yang tak berhubungan.  Iman berhubungan dengan doa, hal-hal rohani dan hidup bersama Allah. Pemahaman seperti itu sebenarnya berakar pada pemahaman yang tidak tepat tentang akar spiritualitas Kristen.

Leluhur kita dalam iman, yakni orang-orang Yahudi, tidak pernah melakukan pemisahan seperti itu. Bagi mereka lawan dari roh adalah kematian (bukan yang material), serta hal-hal yang membawa kehancuran. Yang terjadi kemudian adalah masuknya filsafat Yunani, yang memberi tekanan utama pada akalbudi serta proses yang terjadi dalam pemikiran kita. Kegiatan mental tentu penting dan hakiki, tetapi menekannya berlebihan dapat menyebabkan berkurangnya penghargaan terhadap tubuh.

Demikianlah kita temukan dalam tulisan Paulus, di mana dia mempertentangan roh dengan daging. Tetapi Paulus adalah seorang Yahudi yang setia, yang tidak memisahkan bagian-bagian yang berbeda-beda dalam tubuh manusia. Ketika dia berbicara tentang roh, maka yang dimaksudkannya adalah seluruh diri manusia (tubuh, pikiran, hati, jiwa) yang terarah kepada Allah. Demikian juga ketika dia berbicara tentang daging, maka yang dimaksudkannya adalah seluruh diri manusia (tubuh, pikiran, hati, jiwa) yang berpaling dari Allah.

Kehidupan rohani yang sehat akan mengantar seluruh diri kita semakin dekat dengan Allah, dan hidup sebagaimana dikehendaki Allah. Dosa, sebagai kehidupan spiritual yang tak sehat, hidup dalam daging, menjauhkan kita dari Allah dan dari cara hidup yang dikehendaki Allah. Dengan demikian kehidupan spiritual bukanlah hal yang lain, yang terpisah, dari seluruh diri kita. Tetapi keseluruhan hidup kita, yang hidup di dalam Roh, merupakan suatu kehidupan yang diinspirasikan atau diberi nafas oleh Roh Allah.

Bila dilihat secara demikian, maka kita tidak bisa memisahkan iman kita dari kepedulian kita pada upaya mengubah dunia menjadi lebih baik. Dunia yang adil, damai, kasih, sederajat, solider dan berbagi adalah dunia yang dikehendaki Allah. Iman kita mesti berkaitan dengan apa yang dikehendaki Allah, mewujudkan impian Allah di bumi.

Bagaimana merefleksikan pertautan antara hidup religius dan JPIC?

Refleksi yang bagus berkaitan dengan pertanyaan ini dapat diitemukan dalam buku Donal Dorr “Spirituality and Justice”. Donal Dorr berbicara tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk mencapai spiritualitas yang seimbang.

Buku tersebut mengajukan model pertobatan. Menekankan berlebihan atau mengabaikan satu unsur dari ketiganya akan menyebabkan  spiritualitas yang tak utuh. Seperti bangku berkaki tiga, jika yang satu hilang maka tidak akan berfungsi baik.   Jika salah satu kaki tak ada, maka orang yang duduk di atasnya akan jatuh.

Pandangan Dorr berlandas pada Mikah 6:8, “Inilah yang dituntut Yahweh dari padamu, yakni berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu”.  Ketiganya menyiratkan tiga model pertobatan:

a). Hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu, merupakan suatu ajakan pertobatan, yang berhubungan dengan relasi personal dengan  Allah. Mengakui campur tangan Allah serta penyelenggaraan-Nya pada hidupku serta segala yang saya kerjakan. Ini adalah hal personal, tetapi bukan privat, serta mengalir kepada kedua inti pertobatan lainya;

b) mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati. Mencintai  kesetiaan merupakan panggilan kepada pertobatan moral.  Hal itu berhubungan dengan hubungan antar-pribadi, dengan orang-orang yang saya jumpai dalam hidup sehari-hari. Kita dipanggil untuk mengasihi sesama, memusatkan diri pada orang lain; percaya pada orang lain dan tidak megutamakan diri. Sikap ini menuntut kemampuan mendengarkan dan kesetiaan. Pertobatan seperti ini  membantu saya menerima kelemahan saya serta memberikan perhatian pada sesama.

c) “Berlaku adil” adalah panggilan kepada pertobatan politis, menyampaikan nilai-nilai moral dalam kehidupan bersama, kehidupan politik. Kita perlu waspada akan masyarakat kita dan bagaimana mengaturnya pada tingkat lokal, nasional dan global. Kita bekerja membangun masyarakat di dalamnya terdapat keadilan.   Kita mempromosikan nilai-nilai Kerajaan Allah.

Jika kita sungguh mengembangkan spiritualitas yang utuh, maka otomatis kita berupaya mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah, serta nilai-nilai penting di dalamnya yakni keadilan, kebenaran dan kasih. Spiritualitas yang demikian tentu saja sejalan dengan contoh atau teladan hidup Santo  Fransiskus yang diwariskannya kepada para pengikutya. Ketika dia mencoba memahami situasi pada zamannya, dia menemukan masyarakatnya tercabik-cabik oleh kekerasan pada semua tingkat.

Berhadapan dengan kondisi itu,  Fransiskus menganjurkan  salam yang diberikan: Semoga Tuhan memberimu damai. Ia menggunakan salam itu secara pribadi serta mendorong para saudara untuk juga meggunakannya. Dalam riwayat hidupya, kita membaca bahwa beliau adalah pembawa damai: antara walikota dan Uskup Assisi, dengan serigala Gubbio, berkunjung ke Damietta dan berbicara kepada Sultan selama perang salib.

Pesan-pesan Fransiskus merupakan tantangan untuk hirarki pada masa itu, dan merupakan suatu undangan kepada semua orang, agar hidup menurut Injil, yang bagi Fransiskus merupakan fundasi hidupnya. Kita pada masa kini pun diundang untuk melakukan hal yang sama, dalam semangat Yesus Kristus yang mewartakan Kerajaan Allah yang telah hadir di tengah kita, serta mengundang semua orang berkehendak baik untuk memulihkan martabat semua ciptaan, bekerja melawan struktur-struktur yang tidak adil  serta menyelamatkan bumi  Ibu kita.

Sdr. Peter C. Aman, OFM

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

fourteen − 9 =