Kasus tambang di Manggarai kembali mencuat awal tahun 2017 ini ketika PT Masterlong Mining Resources (MMR) dan pemerintah kabupaten Manggarai membahas izin lingkungan atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam rangka mendapat izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah provinsi NTT atas eksplorasi tambang mangan di Nggalak dan Maki, Kecamatan Reok Barat.
Seperti lazimnya, ketika dilempar ke tengah ruang diskursus publik, pro dan kontra diproduksi. Ada pihak yang mendukung kebijakan pertambangan dengan dalil-dalilnya sendiri, ada juga yang gigih menolak tambang. Dan fenomena ini sangat umum sejak beberapa tahun lalu. Menariknya, polarisasi kedua kubu ini masing-masing menampilkan karakteristik yang khas.
Pertama, kubu pro tambang tampil sebagai kaum elite, baik pemerintahan maupun elite masyarakat (kelas menengah ke atas atau pengusaha). Ada juga kelompok masyarakat kecil yang mendukung tambang. Biasanya, kelompok ini mendapat sokongan yang cukup kuat dari aktor-aktor besar (playmaker) di belakangnya, misalnya diberikan kompensasi atas lahannya.
Ada juga masyarakat kecil yang mendukung tambang secara terpaksa, lantaran sosialisai tambang itu dilakukan secara kilat dan dalam situasi tegang yang mengharuskan terucapnya kata sepakat di atas kertas. Yang lebih menarik lagi, lahan atau tanah dari kelompok grassroot pro tambang biasanya tidak bersentuhan dengan lahan tempat eksplorasi tambang dilakukan.
Jadi tanda tangan hitam di atas putih lebih sering dibubuhi tangan-tangan kelompok pro karena tidak dirugikan oleh eksplorasi itu (meskipun dalam jangka panjang tetap merugikan).
Kedua, kelompok kontra tambang adalah kelompok yang memiliki concern terhadap masalah-masalah ekologi dan sosial masyarakat. Kelompok kedua ini terdiri dari mayoritas masyarakat yang disokong kelompok intelektual independen atau kategori religius (tokoh-tokoh agama).
Kegigihan kelompok kontra pertambangan ini didasari pada tesis-tesis keselamatan lingkungan hidup seperti yang juga menjadi agenda global saat ini mengingat semakin kentaranya ancaman akan keselamatan ekologi bumi. Pertambangan, terutama untuk konteks wilayah Flores-Lembata dan Manggarai secara khsusus memang menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan hidup, hutan lindung, tanah ulayat masyarakat, dan domino lainnya seperti masalah ketersediaan air tanah.
Di samping konsentrasi pada kelestaraian ekologi, perjuangan kontra pertambangan juga dibangun di atas kesadaran umum tentang keselamatan manusia, baik secara fisik-biologis maupun secara sosial-ekonomi.
Tulisan ini memcoba mengantar kita pada diskusi rasional tentang problem polarisasi masyarakat akibat pertambangan ini. Kita diajak untuk melihat secara rasional dan etis, entahkah pertambangan membawa berkah bagi lingkungan dan manusia Manggarai atau justru sebaliknya menjadi apa yang terus menerus dinamakan ‘monster’ yang membawa lingkungan dan manusia pada kondisi kaos, seperti kepercayaan tentang morat-maritnya susunan alam semesta yang konon belum mencapai kondisi kosmos.
Karakter dua kubu
Pertama, kelompok pro tambang adalah perwakilan wajah neoliberalisme yang pada dasarnya mengusung panji pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan maksimal. Liberalisme, akar neoliberalisme yang sedang disejajarkan dengan kapitalisme yang muncul dalam bentuk perusahaan-perusahaan transnasional ditandai oleh privatisasi segala potensi ekonomi, pencarian untung sebesar-besarnya dan kompetisi dalam tata ekonomi pasar bebas (Denar, 2015:22).
Karakter paling umum dari neoliberalisme, seperti ditulis Benny Denar adalah ketidakpeduliannya pada keluhuran kodrati manusia. Manusia lebih sering diinstrumentalisasi dan ia diukur harganya sejauh dinilai produktif secara ekonomis. Lebih lanjut, neoliberalisme membuat ambruk perpolitikan sebuah negara, memarginalisasi kaum miskin dan menganggap sepi (acuh tak acuh) kelestarian ekologi.
Kedua, kelompok pro tambang yang dibacking pemerintah tidak lain adalah cara berada atau cara mewajah dari suatu konspirasi busuk yang tertutup dan eksklusif. Di dalam itu, biasanya ada ‘kongkalikong’ antara pemerintah dengan pengusaha atau kapitalis dengan catatan keduan pihak mesti sama-sama diuntungkan (mutualistis).
Hal ini sering terjadi sejak sebelum rezim pemerintah bertahta dengan adanya nota-nota konspiratif terselubung. Sering pula pemerintah melegitimasi kebijakan pro tambangnya dengan dalil unndang-undang tertentu tentang izin pertambagan tanpa secara rasional mempertimbangkan aspek ekologi dan kemanusiaan.
Di sini dapat dipastikan neoliberalisme sudah memaksa pemerintah untuk mendulang uang dari legalisasi perusahaan tambang.
Ketiga, seperti yang ditulis di atas, prosedur sosialisasi dengan masyarakat lingkar tambang pra eksplorasi tambang oleh perusahaan seringkali dimanipulasi untuk kepentingan perusahaan, misalnya hanya mengundang masyarakat yang pro tambang (karena lahannya tidak tersentuh tambang) atau membawa serta algojo keamanan yang membuat maasyarakat merasa takut lantaran diteror.
Kecaman terhadap kelompok pro pertambangan terus menerus dilancarkan para aktivis lingkungan, masyarakat lingkar tambang, Gereja, dan masyarakat luas. Menurut kelompok ini, ada landasan ekologis, sosial, etis dan moral dari gerakan kontra pertambangan yang dilakukan itu.
Pertama, keselamatan ekologi adalah harga mutlak mengingat krisis ekologi global sekarang ini menjadi isu sentral yang banyak dicemaskan di pelbagai belahan dunia. Kita yang sedang beruntung berada di wilayah dengan keadaan ekologi, hutan dan sumber daya alam yang seimbang mestinya selalu sadar bahwa menerima perusahaan pertambangan berarti mempersiapkan kehancuran di masa depan.
Sekarang ini saja, fakta memperlihatkan betapa besar potensi destruktif pertambangan terhadap lingkungan. Air minum bersih menjadi susah diperoleh, hutan tidak lagi menjadi penyedia oksigen bagi manusia, iklim tidak menentu, panas matahari semakin membara, dan masih banyak ekses lain lagi.
Kedua, konsentrasi penolak tambang tidak berhenti pada advokasi mengenai dampak buruk tambang terhadap lingkungan, tetapi lebih jauh pada keselamatan manusia, baik masyarakat lingkar tambang maupun masyarakat luas. Dalam keadaan seperti ini, muncul kecemasan bahwa pertambangan membawa banyak penyakit bagi manusia, kehilangan lahan pertanian, kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, dan adanya konflik sosial vertikal maupun horisontal.
Banyak rumpun keluarga mengakhiri hubungan kekerabatannya akibat sengketa lahan lingko, yang satu menyerahkan lingko bagi perusahaan tambang dengan kompensasi sejumlah uang, yang lain bersikeras menolak karena alasan keselamatan masa depan.
Mengapa kasus tambang kian pelik?
Ada beberapa alasan yang membuat pertambangan selalu menjadi topik serius di Manggarai. Sejak beberapa tahun lalu, para aktivis lingkungan, Gereja dan masyarakat umum di Manggarai selalu melancarkan penolakan terhadap pertambangan, tetapi seiring bergantinya rezim penguasa, isu ini mencuat lagi pada awal tahun ini.
Pertama, apatisme masyarakat terhadap isu-isu sensitif termasuk isu tambang. Dalam situasi peliknya persoalan tambang, banyak orang ternyata tidak concern. Padahal bahaya tambang tidak hanya akan dirasakan di wilayah lingkar tambang, tetapi juga di wilayah lain dalam jangka panjang.
Hal ini juga mau menunjukkan betapa lemahnya solidaritas sosial masyarakat, serentak betapa tingginya individualitas yang tidak lain adalah produk laten dari kapitalisme atau neoliberalisme. Sikap apatis masyarakat seringkali dikaitkan dengan perasaan lemah di hadapan rezim penguasa. Tanpa sadar sikap ini mau mengantar kita kembali ke masa kelam Orde Baru di mana demokrasi dan suara kritis dibungkam habis-habisan dan ruang publik sama sekali tidak dikenal.
Apatisme juga sering diakibatkan karena lemahnya daya kognitif, pengetahuan atau kemampuan berpikir masyarakat tentang bahaya pertambangan. Terkait rendahnya daya nalar ini, saya pernah menemukan argumentasi seorang teman facebook tentang gerakan anti tambang. Orang itu menulis, “orang yang menolak tambang tidak pernah sadar kalau jam tangan, televisi, hp, dan lain-lain adalah produk tambang” dan “tambang sudah diatur dalam undang-undang”.
Selanjutnya, terhadap orang ini, asumsi saya ada dua; orang ini berpikiran sangat sempit tentang aktivitas pertambangan di Manggarai yang ditolak banyak orang dan karakter proseduralnya sudah pada taraf memprihatinkan, sama seperti penguasa yang menggunakan dalih undang-undang dalam mengegolkan perusahaan tambang.
Kedua, pemerintah yang tidak berwawasan ekologi berkelanjutan melainkan berwawasan ekonomi pragmatis. Dalam banyak kasus tambang, ditemukan bahwa ijon politik antar pemerintah dengan pengusaha tambang adalah hal biasa. Dengan inteligensinya di ranah hukum, seorang penguasa bisa saja memanfaatkan dalil undang-undang untuk mendapatkan legitimasi bagi aktivitas pertambangan. Sayangnya, inteligensi itu sama sekali tidak ‘kena’ dengan konteks masyarakat setempat yang sedang menangis lantaran digusur taring monster tambang.
Ketiga, tidak jarang kelompok kontra pertambangan difitnah sebagai kelompok anti pembangunan atau anti investor. Di Manggarai, saking getolnya Gereja lokal memperjuangkan penolakan tambang, ada pihak yang menuduh Gereja sebagai anti investasi (Flores Pos, 22/2/17). Sekali lagi pemahaman sempit dan rapuh seperti ini adalah bagian dari rendahnya daya kognitif tentang investasi.
Konsisten menolak
Isu tambang yang mencuat awal tahun ini sama sekali tidak membuat gerakan penolakan tambang surut. Apapun rasionalisasi yang dibuat oleh pihak pro tambang, konteks Flores-Lembata terutama Manggarai tidak bisa mengamini alibi-alibi itu.
Pelbagai potensi destruktif tambang tidak dapat diterima begitu saja. Gerakan penolakan tidak akan berhenti sampai monster pertambangan hengkang dari bumi Manggarai. Ekses pertambangan terhadap ekologi dan kemanusiaan menjadi alasan yang kuat mengapa kelompok kontra tambang tetap konsisten dalam gerakannya.
Ranah politik demokrasi tidak pernah melarang gerakan kekuatan massa (people power) untuk berpartisipasi aktif. Bahkan, ruang publik demokrasi selalu mengizinkan diskursus rasional tentang problem-problem sosial dan ekologi. Kiranya tulisan ini membawa kita pada pemikiran rasional, mengapa tambang harus ditolak dari bumi Manggarai. Bukankah Baruch Spinoza (1632-1677) jauh sebelumnya sudah mengingatkan bahwa alam ciptaan, termasuk manusia, hutan, air dan lain sebagaianya adalah cara berada yang lain dari Allah, Sang Ada?
Oleh: Fr. Anno Susabun, Anggota Centro John Paul II Ritapiret