Assisi, kota yang bertengger di gunung Subasio Italia tengah, selain indah menawan, juga simbolis. Di hadapannya membentang luas lembah Spoleto, yang sudah sejak zaman dulu menjadi areal pertanian.
Sekali peristiwa, ketika merayakan Pesta St. Fransiskus – yang adalah juga hari libur nasional Italia, karena St. Fransiskus Assisi adalah pelindung Italia -, penyiar Televisi Italia (Rai Uno) menggambarkan kota Assisi sebagai peghubung surga dan bumi.
Ada apa di balik gambaran seperti itu? Sebelum mencapai ubun pegunungan Subasio orang mesti menapaki Assisi, juga sebaliknya, sebelum sampai ke lembah Spoleto. Letak Assisi yang menghubungkan gunung Subasio dan Lembah Spoleto ini, menjadi simbol: penghubung surga dan bumi.
Simbolisasi tersebut tentu bukan tanpa alasan. Alasannya mengerucut pada seorang pribadi warga kota Assisi dari abad ke-13 yang pengaruhnya sampai kini masih terasa dalam Gereja, bahkan menembus batas-batas agama, yakni St. Fransiskus dari Assisi.
Melalui dia, Allah melaksanakan karya agung-Nya: mempertobatkan banyak orang, memperbaharui Gereja, membawa damai di tengah kecamuk perang salib dan mengembalikan harmoni relasi awal antar ciptaan sebagai saudara-saudari dari satu Bapa Pencitpa yang sama.
St. Fransiskus dikenal sebagai salah satu ikon perdamaian dunia. Itulah sebabnya, mengapa di tahun 1986, untuk pertama kalinya, Yohanes Paulus II memanggil semua pemimpin agama dunia untuk berkumpul di Assisi.
Ketokohan St. Fransiskus dan contoh hidupnya sebagai seorang manusia damai, merupakan sumber inspirasi dan motiviasi bagi upaya perdamaian dunia masa kini. Para pemimpin agama diundang untuk merenungkan dan menghirup kekuatan spiritual St. Fransiskus, agar pada masa kini, para tokoh agama tetap memainkan perannya sebagai promotor perdamaian sesuai dengan mandat spiritual dan sosial dari setiap agama.
Inspirasi spiritual apa yang dapat ditimba dari St. Fransiskus? Sesungguhnya St. Fransiskus mempraktekkan dalam hidupnya kebajikan moral utama, yakni kerendahan hati. Kepada para pengikutnya ia menegaskan agar dalam perjalanan mereka tidak bertengkar atau berselisih, tetapi mereka murah hati, suka damai dan tidak berlagak, lemah lembut dan rendah hati, sopan santun dalam berbicara dengan semua orang sebagaimana pantasnya. (bdk. AngBul III).
Sikap dan perilaku seperti itu merupakan pernyataan lahiriah dari pribadi yang memelihara damai dalam pikiran dan hatinya demi cinta akan Yesus Kristus (Petuah 25). St. Fransiskus sendiri dalam hidupnya bersikap dan berlaku jujur serta rendah hati, karena dia tahu siapa dirinya di hadapan Allah (Petuah 20). Di mana ada hati damai dan pengenalan diri yang jujur di hadapan Allah maka di sana tidak akan ada kecemasan dan kemarahan (Petuah 27).
Ada banyak contoh dari hidup St. Fransisuskus di mana dia sungguh menjadi manusia damai dan pembawa damai. Salam yang paling disukainya, yang diterimanya sendiri dari Allah dan yang dia kehendaki agar setiap saudara menggunakannya adalah: Semoga Tuhan memberi engkau damai (bdk. Wasiat 23).
Apakah inspirasi dan contoh teladan St. Fransiskus relevan untuk dunia masa kini? Dunia masa kini ditandai oleh kekerasan yang meluas, yang berdampingan mesra dengan ketidakadilan serta penindasan. Kita hidup pada suatu masa yang tidak dijiwai semangat solidaritas, tetapi persaingan dan saling menyingkirkan.
Kondisi manusia yang digambarkan Thomas Hobbes kembali mengemuka: manusia menjadi mangsa sesamanya (homo homini lupus) untuk dapat bertahan hidup. Darwinisme sosial melingkupi dan mengancam relasi damai dan adil di antara manusia, padahal tak ada perdamaian sejati tanpa keadilan (opus iustitiae pax).
Selain kebajikan kerendahan hati yang menjadi modal moral dan spiritual seorang pembawa damai, St. Fransiskus mewariskan suatu yang amat bernilai yakni menghargai kesucian setiap pribadi dan setiap ciptaan. Kesucian dari setiap pribadi dan setiap makhluk bersumber dari keberadaannya sebagai ciptaan dan sebagai gambar serta rupa si Pencipta sendiri.
Nah, bagaimana menghargai kesucian seorang maling uang Negara? Penjahat perang? Diktator? Kaum kapitalis yang menghisap sumber daya alam dan kekayaan sesamanya secara tak adil? Bagaimana menghargai kesucian pelaku kejahatan ekologi yang menyebabkan kehidupan alam dan manusia hancur?
Sulit dipercaya kerakusan manusia masa kini yang menyebabkan ketidakadilan global dan pemiskinan yang mengerikan yang merupakan cikal-bakal konflik, permusuhan, kebencian dan peperangan. Masih adakah kesucian dalam diri para pelaku kejahatan sehebat itu?
Bila setiap manusia tidak mengakui martabat pribadinya sendiri dan bila dia tidak dalam hubungan yang benar dan baik dengan Allah, sesama dan alam; bila hati dan budinya tercemar oleh kecenderungan untuk menjadikan segala sesuatu obyek demi kepuasan dan kepenuhan ambisi serta kepentingan pribadinya, maka dia sesungguhnya jauh dari kesadaran akan keluhuran martabatnya sendiri.
Ia menjadi budak keinginan dan hawa nafsunya. Naluri kemanusiaan sejati yang semestinya peka terhadap nilai menjadi tumpul. Inilah yang mencemari keluhuran martabat manusia dan ketika manusia yang sudah tercemar itu memiliki posisi dan kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang digdaya maka ia akan menjadi sumber konflik, pertentangan, kebangkrutan bagi kemanusiaan dan perusak perdamaian.
Tetapi St. Fransiskus mengingatkan agar orang tidak menjadi gusar atas kejahatan atau kesalahan orang lain. Di balik spirit ini sebenarnya St. Fransiskus menekankan pentingnya semangat ‘kemiskinan’ – yang tidak melulu dipahami sebagai kemiskinan ekonomi-sosial, tetapi suatu kesadaran akan cara berada di hadapan Allah, bahwa Allah adalah segalanya (Deus meus et omnia) sehingga manusia tidak menahan sesuatupun bagi dirinya, tetapi mengembalikan kepada Allah segala yang baik karena Dialah satu-satunya yang baik dan kebaikan tertinggi.
Ketika orang membebaskan diri dari cinta diri dan menjadi orang miskin sejati di hadapan Allah, maka dialah manusia damai. St. Fransiskus telah menyelesaikan apa yang menjadi bagiannya, sekarang kita menjalankan apa yang menjadi tugas hidup kita: menjadi manusia damai, bebas dari egoisme serta cinta akan keadilan dan kebenaran yang akhirnya membuahkan damai.
Sdr. Peter C. Aman, OFM