Riny belum uzur. Tapi ia punya derita, “saya tunduk di bawah cita-cita orang lain”. Ini zaman modern, zaman di mana kebebasan djunjung tinggi. Juga, zaman di mana penindasan dan manipulasi menguasai banyak orang. Atau, zaman di mana ‘pembangunan’, kemajuan dan globalisasi menjadi mantra gaib. Di situ, pada zaman ini janji-janji manis menjamur: “bahagia, sukses, kaya, pintar dan muda”.

Perempuan berumur 27 tahun itu pernah mengeluh tentang abad ini: “Pekerjaan saya banyak. Setiap hari saya bekerja. Dari hari Senin hingga hari Minggu, kecuali hari jumat, saya masuk Pkl 07. 00 pulang Pkl. 17.00. Lelah, memang, tetapi saya harus berjuang demi menghidupi anak dan saya sendiri. Suami saya sudah meninggal dua tahun lalu. Terpaksa sekarang, saya harus berjuang sendiri.” Demikian ia memberi penjelasan pada saya sambil sesekali mengelus kepala anaknya.

Perempuankelahiran Muntilan 9 Oktober 1983 ini, setelah tamat salah satu perguruan tinggiswasta di Jogja hijrah dan bekerja di sini. Alasannya datang ke Jakarta Karena menurutnya di sini gampang memilih tempat kerja.

Memang, begitulah kenyataanya, tak lama setelah tiba di Jakarta, lamarannya untuk bekerja di salah satu perusahan di daerah Cideng Barat, Jakarta Pusat diterima. Ia bekerja di sana selama 3 tahun sebelum akhirnya pindah ke tempat sekarang.

“Saya tidak punya alasan lain, selain karena gaji makanya saya pindah dari tempat lama ke tempat baru. Di tempat lama sebulan saya terima gaji satu juta lima ratus rupiah. Tentu tidak cukup untuk hidup saya, terutama semenjak kematian suami saya. Sementara di tempat baru ini, gaji saya berjumlah dua juta lima ratus rupiah. Yah, lumayanlah untuk menghidupi saya dan anak  saya dengan gaji sejumlah itu”.

“Kecuali itu, saya harus mengontrak rumah dan juga menggaji pembantu yang hanya dating untuk mencuci pakayan dan membersihkan rumah. Saya berikan untuknya tiga ratus ribu per bulan. Saya kira itu cukup dan sesuai dengan kerjanya. Lagi pula, kami sudah sepakat, kok”, demikian ia ‘membela diri’ ketika saya sedikit menggugat jumlah gaji yang harus ia berikan kepada pembantunya.

“Saya bekerja selama sepuluh jam sehari. Seharusnya, sepekan saya hanya bekerja selama empat puluh jam. Namun kamu dapat hitung, waktu kerja saya lebih dua puluh jam dari yang wajar. Tapi, apa mau
dikata, saya tetap bekerja. Lagi, demi  hidup saya dan anak ini”.

Begitulah memang: kerja, pembangunan, ‘kemajuan’, seperti juga bahagia, sukses, kaya telah disusupi laknat, telah dimasuki bualan, manipulasi dan penindasan. Atau kalaupun sukses dan bahagia tetap ada, mereka hanyalah semacam nisan yang dihiasi indah, tetapi di dalamnya penuh ulat dan tulang-belulang mati.

Dan, hujan sore ini membuyarkan cerita-cerita kami. Ia pamit pulang. Saya pun sungkawa menatapnya sambil berujar dalam hati, “ Riny, kita memang sering tunduk-hidup di bawah cita-cita
orang lain. Tapi, sampai kapan?”***

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here