Salah satu pokok diskusi da­lam kapitel Provinsi OFM Indonesia yang diadakan belum lama ini ( 22-29 Sep­tember) ialah membangun di­alog dengan budaya-budaya lain, termasuk dialog dengan Islam. Terdorong oleh spirit kapitel ini pada tgl 1 Oktober 2016, tiga anggota OFM mengunjungi Pesantren Al-Zaytun di Indramayu, Jawa barat.

Inilah pesantren terbesar di Indonesia dengan visi yang meng­esankan, yaitu “mendidik generasi muda Indonesia agar menjunjung tinggi persatuan, toleransi, perda­maian dan persaudaraan antara umat beragama”. Para santri yang tinggal di tempat ini dididik selain secara teoretis-formal juga ditun­tun secara praktis terlibat dalam dialog dengan agama-agama lain yang diselenggarakan Pesantren secara regular.

Dialog ini dilaksanakan pada setiap perayaan tahun baru Islam (1 Muharam), yang tahun ini jatuh pada tgl 2 Oktober. Dari Gere­ja Katolik, yang diundang untuk ikut dalam dialog kali ini, ialah Prof. Dr. Franz Magnis Suseno SJ dan Dr. Vinsensius Darmin Mbu­la OFM, yang menjabat sebagai Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK). Di luar tokoh-tokoh resmi, Al-Zaytun juga terbuka menerima yang lain yang berminat asal terlebih dahulu menginformasikan kepada pani­tia penyelenggara. Itulah alasannya, kami (Hendrik dan Latif) juga boleh ikut dalam acara tersebut.

Latar Belakang Penyelenggaraan Dialog

Mengingat latar belakang sejarah Indonesia yang selama tiga ratus lima puluh tahun dijajah Belanda dan tiga setengah tahun ditindas Jepang menyodok bangsa Indonesia dalam pojok ke­bodohan. Suku-suku bangsa Indonesia tercerai-berai oleh politik “Devide et impera” yang dimain­kan Belanda untuk mengokohkan imperialismenya. Membaca celah kelemahan ini para pemuda Indonesia tempo itu tergerak untuk menggalang persatuan yang di­cetuskan dalam peristiwa historis yang disebut Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dalam peristiwa itulah para tunas muda bangsa Indonesia menyatakan diri di hadapan penjajah sebagai satu bangsa yaitu bangsa Indonesia, satu tanah air yaitu tanah air Indoensia dan satu bahasa yaitu bahasa Indonesia. Ra­jutan persatuan itu tidak mudah dan murah. Persatuan Indoensia dirajut dengan derita dan direkat dengan darah pahlawan. Persatuan para pemuda itulah kekuatan me­raih kemerdekaan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Belum lama kemerdekaan itu diraih, muncul lagi gerakan-gerakan politik yang rumit da­lam negeri dan gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Seiring bergulirnya waktu, gerakan-gerakan politik yang ekstrim dan separatisme yang sempit itu akhirnya berlalu dan lenyap. Meskipun demikian, tersulut kem­bali konflik lain, yaitu konflik antar agama. Peristiwa konflik jenis baru ini melemahkan kesatuan dalam mengejar cita-cita luhur para pe­juang kemerdekaan Indoensia, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Rasa persaudaraan antar­satu sama lain terkikis kembali.

Untuk mengentas kemerosotan persaudaraan (persatuan) itulah, maka melalui Pesantren Al-Zaytun tokoh-tokoh Islam moderat yang diketuai oleh A.S Panji Gumilang mendidikan generasi muda dengan pola pendidikan ter­padu. Generasi muda yang dibina di lembaga Pesantren Al-Zaytun diharapkan akan menjadi manusia yang berintelek, menguasai sains dan teknologi, berwawasan ekol­ogis, berperikemanusiaan (ber­moral), sanggup menghargai per­bedaan (toleransi) dan mencintai perdamaian. Para founder Al-Zay­tun mengangankan sebuah dunia yang damai, yang harus dimulai dari skala kecil, yaitu Indonesia.

Menjunjung Tinggi Persatuan

Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh; berdamai kita hidup, berkelahi kita mati. Persatuan tidak berarti seragam dan perdamaian tidak berarti membebek atau mem­beo. Persatuan mengandaikan ke­majemukan, baik suku, agama maupun partai politik. Perdamaian mengandaikan pertarungan dalam memperjuangkan kebaikan umum. Dengan demikian, sebuah agama, dalam NKRI, tidaklah berjuang un­tuk agamanya sendiri, dan sebuah suku tidaklah mengejar kemajuan untuk sukunya sendiri, melainkan, semuanya berjuang untuk kema­juan Indonesia Raya.

Semua agama, suku dan par­tai politik yang dianut oleh mas­ing-masing warga adalah milik bangsa Indonesia dan demi bang­sa Indonesia yang satu dan sama. Setiap warga bebas memeluk agama tertentu yang sesuai dengan sila Ketuhanan yang Mahaesa, be­bas menetap dan mencari kerja di daerah mana saja sesuai dengan sila persatuan Indonesia, dan be­bas menganut partai politik apa saja sesuai dengan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan ke­bijaksanaan permusyawaratan Perwakilan Rakyat.

Atas dasar itulah, maka da­lam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak ada agama, tidak ada daerah, dan tidak ada partai politik yang dimiliki hanya oleh kelompok tertentu. Semua aga­ma, suku dan partai politik dalam rahim RI itu termasuk milik dan kekayaan Indonesia raya. Maka itu, 1) semua warga masyarakat In­donensia dari ujung Timur sampai tepi Barat, dari Merauke sampai Sabang bebas dan merdeka menga­nut agama-agama yang terkandung dalam rahim Ibu Pertiwi Republik Indonesia; 2) semua warga masyarakat Indonesia bebas tinggal dan bekerja di daerah mana saja dalam wadah Negara Kesatuan RI dengan rasa aman dan damai.

Semua agama yang selaras dengan sila pertama pancasila ada­lah kepunyaan bangsa Indoensia. Oleh sebab itu, tidak ada alasan un­tuk saling menghina dan menindas antar agama. Tindakan penghinaan atau penolakan tehadap agama tertentu, itu tidak hanya menghi­na dan menolak agama tertentu itu saja, melainkan menghina In­donensia seutuhnya. Jika ternyata, bahwa terjadi penghinaan dan pe­nolakan terhadap salah satu aga­ma, maka penanggungjawab atas kepemimpinan Republik Indonesia sepantasnya bertindak tegas dan adil.

Persatuan Indonesia yang telah dirajut dalam sejarah yang panjang selayaknya dijunjung set­inggi-tingginya melalui pengabdi­an timbal balik antara agama dan suku bangsa dengan aneka ragam cara yang halal dalam semangat kerendah hati demi kehormatan dan kemuliaan ibu pertiwi. Spirit lagu wajib nasinal : “Padamu negeri aku berjanji, padamu negeri aku mengabdi” hendaknya menyala sepanjang masa dari generasi ke generasi ke depan.

Demikianlah titik akhir se­tiap dialog, baik dialog budaya, agama maupun dialog politik mes­ti membawa para pelaku dialog itu sendiri pada kesadaran akan

dirinya sebagai abdi, yakni abdi kebaikan, abdi kebenaran, abdi perdamaian, dan keadilan, yang memahami kewajiban dan tidak semata menuntut hak. Memahami kewajiban berarti tahu apa yang harus keperbuat bagi yang lain sebagaimana aku tahu apa yang orang lain mesti perbuat bagiku atau kelompokku. Di situlah letak kerekatan dan asas persatuan.

Musuh Kita Bersama

Semua agama dalam ra­him Negara Kesatuan Republik Indonesia, sekarang, se­dang menghadapi satu musuh ber­sama yaitu ke­jahatan yang menjelmakan dirinya da­lam praktek korupsi dan dalam tinda­kan penghi­naan terhadap agama terten­tu. Kejahatan ini mesti dihadapi bersama oleh semua agama, karena merusak citra dan martabat luhur Indonesia Raya

Praktek korupsi dan penghinaan terhadap agama tertentu itu adalah kejahatan melawawan Ketu­hanan Yang Maha Esa yang men­gajarkan kejujuran; Korupsi itu kejahatan terhadap prikemanusiaan dan peradaban; Korupsi adalah kejahatan yang merusak persat­uan Indonensia; korupsi adalah kejahatan yang menggadai hikmat dan kebijaksanaan dan menen­tang keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia

Dalam spiritualitas aga­ma-agama yang ter­kandung dalam rahim Republik Indonesia, semua menga­jarkan bahwa korupsi dan p e ng h i n a an terhadap aga­ma lain mana pun adalah ke­jahatan. Korupsi dan penghinaan terhadap agama ter­tentu itu jahat karena merongrong nilai-nilai luhur Pancasila, dan akan mele­mahkan sendi-sendi persatuan RI. Pelaku korupsi dan pelaku pengh­inaan itu tidak hanya dalam batas agama dan daerah tertentu. Maka itu, apa pun agama dan darimana pun asalnya, semua pelaku korupsi dan pelaku penghinaan terhadap agama tertentu sepatutnya dilawan bersama.

Penganut-penganut agama tertentu yang mempraktekkan ko­rupsi dan ketidak-adilan, mereka­lah pengkhianat cita-cita Nega­ra. Orang-orang yang atas nama agamanya menyerang agama lain adalah pengkhianat agama yang dipeluknya sendiri dan menciderai persatuan Indonesia. Mereka yang berlaku demikian, adalah musuh semua agama yang berada dalam rangkulan Ibu pertiwi tercinta.

Akhir Kata

Mengutip kata-kata Injil, saya mengakhiri tulisan ini: “siapa yang tidak melawan kamu, dia ada di pihak kamu (Luk 9:50)”. Dalam pengertian yang sama boleh saya berkata: “ barang siapa memper­juangkan keadilan, persaudaraan, perdamaian, kelestarian lingkun­gan hidup, apapun agama yang di­anutnya dan dari suku mana pun asalnya, dia itu ada di pihak kita.

Sebaliknya, barang siapa yang merusak keadilan, persaudaraan, perdamaian dan lingkungan hidup, apapun agamanya dan dari daerah manapun asalnya, dia itu tidak ada di pihak kita.

Sdr. Hendrikus Seta OFM (Penulis adalah Fransiskan, tinggal dan berkarya di bumi Lorosae, Timor Leste)

 

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here