Pintu depan rumah yang bercat biru itu sudah dua bulan tidak dibuka oleh pemiliknya. Karena tidak seperti biasanya, menjadi tanda tanya besar bagiku, mengapa pintu rumah itu tidak pernah dibuka lagi, padahal di dalam rumah itu, setiap hari ada kedengaran suara wanita. Ditambah lagi dari bisikkan yang hampir tak kedengaran, masih nampak bahwa suara itu, suara pemilik rumah. Entahlah, gumamku sore itu.
***
Tadi malam, aku sempat bertanya kepada saudara Romel tentang rumah itu, tapi saudara Romel menjawab dengan tepat seperti yang ada dalam pikiranku, yakni bahwa suami wanita itu lagi sakit Leukemia. “Jadi suaminya butuh ketenangan dan keheningan” ujar saudara Romel malam itu sembari meneguk satu gelas air putih yang telah dituangkannya.
Malam kedua sesudahnya, aku sejenak pergi ke kamar dan kurebahkan seluruh tubuhku di atas kursi rotan. Kursi rotan itu hasil kerja tangan suami wanita yang sedang sakit itu. Ia menghadiahkannya kepada kami. Di atas kursi rotan itu aku teringat kepadanya dimana dua bulan yang lalu dia sempat bercerita kepadaku seputar kehidupan yang ia alami. Pertama sekali aku sangat salut dengan kursi-kursi rotan itu. Rapi dan sangat menarik perhatianku.
***
“Kalau harga kursi yang satu ini berapa, Pak?” tanyaku mulai mengangkat pembicaraan saat itu. “Yah, hanya cukup membiayai hidup sehari saja, Mas” balasnya singkat. Awalnya aku kurang percaya bahwa harga kursi rotan sebagus ini hanya cukup membiayai hidup sehari.
“Hidup ini penuh dengan perjuangan, Mas! Bahkan sebenarnya tidak ada sesuatu hal yang perlu disombongkan!” ujar lelaki itu sambil mempersilakanku duduk di atas salah satu kursi rotan yang sudah diselesaikannya saat itu. Aku setengah bingung, mengapa ia berkata demikian. “Maksud, Bapak?” tanyaku penasaran. Kala itu, matahari masih belum turun. Lelaki setengah baya itu ingin berbecerita lebih panjang lagi kepadaku. Di raut wajahnya yang sudah mulai keriput, ingin mengungkapkan bahwa banyak kisah yang terjadi di dalam hidupnya.
“Dulu, pertama sekali saya sampai di desa kecil ini, saya termasuk orang ternama yang kaya soal kebutuhan sehari-hari, Mas. Anak-anak saya, saya sekolahkan di Universitas-universitas ternama di Jakarta. Istri saya juga mempunyai perhiasan-perhiasan yang begitu mahal dan mewah, sepeti emas dan barang-barang antik lainya. Tapi…” cerita Bapak itu tiba-tiba terpotong. Matanya menerawang ke langit biru. Ia seperti sukar menceritakan semuanya. Sepertinya, cerita yang selanjutnya sulit untuk diucapkannya, dan seakan hal itulah yan membuat hidupnya hancur dan tak tahu berbuat apa-apa lagi untuk memulihkannya kembali. Aku hanya diam, sebab wajahnya ada terlihat sebuah penyesalan. Penyesalan yang selalu datang terlambat.
“…Tapi, kekurangan kami sekeluarga kala itu, begitu sombong dengan apa yang sudah kami punya, dan tak mau peduli terhadap orang-orang yang berkekurangan!” Orang tua itu melanjutkan kisahnya lagi sambil menghela nafas. Mungkin kalau direnungkannya seorang diri, dia pasti akan menangis.
“Seolah-seolah kamilah yang paling hebat di desa ini, bahkan di dunia ini pun. Kami kurang mensyukuri bahwa itu semua berasal dari Tuhan.” Cerita orangtua itu terpotong lagi. Aku hanya diam saja.
“Kemudian, enam bulan sesudahnya, semua yang kami miliki selama di rumah ini lenyap begitu saja. Dan saya sendiri tidak tahu arah kemana dan di mana pergi semuanya!” Tanpa kusadari, air mata Bapak yang mempunyai tiga anak itu mulai mengalir membasahi kedua pipinya. Ia mulai menangis tanpa ada rasa enggan dan malu kepadaku. Ia benar-benar tahu bahwa kehidupan mempunyai roda. Roda yang terus berputar tanpa ada henti, kecuali ketika Sang Pencipta telah memanggil.
“Hingga akhirnya, Mas, saya membuka usaha membuat kursi rotan di sini dengan perjuangan saya sendiri. Saya jual, dan hasilnya hanya mencukupi kebutuhan sehari-hari saja. Anak-anak saya yang kuliah di Universitas ternama di Jakarta kini berhenti. Saya menyesal, Mas! Saya baru sadar bahwa semua kelebihan yang saya miliki di dunia ini tidak ada artinya untuk disombongkan, Mas! Sebab semua itu bukan milik kita, tapi milik, Tuhan! Dia punya hak untuk mengubah segalanya,” Bapak yang kukenal baik itu mengakhiri ceritanya sembari menyeka air matanya yang masih tersisa. Kala itu, aku hanya siap mendengarkan cerita hidupnya, dan segera pamit dan berlalu di hadapannya karena awan sudah mulai menghitam menandakan bahwa sebentar lagi hujan akan turun.
***
“Sanherib…Bangun…! Bangun…!” Astaga..! Tanpa kusadari bahwa aku telah tertidur semalaman di atas kursi rotan buatan lelaki itu. Baru kusadari ketika saudara Romel membangunkanku saat matahari sudah mulai meninggi di ufuk Barat. Aku segera berdiri membuka pintu kamarku menjumpai saudara Romel di luar.
“Kenapa kamu terlambat bangun?!” tanya saudara Romel agak kesal kepadaku. Dengan mata yang masih sayup-sayup, aku tidak tahu mau menjawab apa kepada saudara Romel. “Sanherib, apakah kamu sudah mendengar berita pagi ini?” tanya saudara Romel melanjutkan.
“Lucu.! Bagaimana aku bisa mendengar berita pagi ini, padahal aku baru bangun! Berita tentang apa? Apakah saudara tidak tahu bahwa aku baru bangun, dan tidak ada aku ikut Misa pagi ini?” balasku membuatku sedikit penasaran tentang apa yang telah terjadi pagi itu.
“Suami wanita di rumah yang bercat biru itu sudah meninggal tadi malam, tidak lama setelah kita bersharing emaus di ruang rekresi. Dan hari ini ia langsung dimakamkan!” ujar saudara Romel memberitahuku sedikit berapi-api, sekaligus merasa kasihan.
Mendengar berita itu, aku hanya terdiam seribu bahasa. Sebenarnya, sama sekali tidak ada urusanku dengan lelaki itu. Tetapi terasa aneh bagiku ketika aku telah mengulang kisahnya sebelum aku tidur tadi malam di atas kursi rotan buatan tangannya. Jadinya, aku merasa takut dengan hebatnya. Apakah gerangan ini? Namun, ketakutanku itu kusembunyikan dari saudara Romel.
Pagi yang masih sama, aku kembali ke dalam kamar. Walaupun tubuhku sedikit bergetar ketakutan, namun di dalam kisah lelaki itu aku menyadari secepat kilat bahwa memang tidak hal yang perlu disombongkan di dunia ini, sebab semuanya hanya berupa mimpi yang terkadang tidak bisa dimengerti. Aku segera berlutut dan berdoa di depan Salib Yesus yang terpampang di dinding kamarmu. Aku berdoa bagi lelaki pembuat kursi rotan itu. Semoga Tuhan memberi dia tempat di dalam Surga.
***
Dua hari sesudahnya, nyanyian diselilingi sayup-sayup terdengar dari puncak bukit, memecah keheningan. Sebuah tenda biru memayungi sekelompok orang yang rata-rata berbaju hitam. Gerimis membasahi area pemakaman San Diego Hills, mengiringi kepergian lelaki pembuat kursi rotan itu.
Bikap Alverna-Pematangsiantar, 2016