REFLEKSI, JPIC OFM INdonesia, Perjumpaan dengan hal-hal baru tentu meninggalkan aneka kesan, baik kesan positif maupun kesan negatif. Kesan-kesan itu biasanya melahirkan suatu kesadaran baru untuk mengubah diri kepada sesuatu yang lebih baik. Kesan-kesan itu mencakup perasaan simpatik, empati, bahagia, dan sebagainya.
Melalui aneka pengalaman perjumpaan dengan peristiwa hidup, kita akan disadarkan pada sesuatu yang baru, yang membangkitkan semangat untuk melakukan sesuatu yang lebih baik lagi. Hal ini sangat ditentukan oleh penentuan keputusan kita untuk memaknai setiap pengalaman itu.
Di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, banyak orang yang memiliki gaya hidup yang individualis, tidak peduli dengan kehidupan orang lain. Gaya hidup seperti ini akan membuat seseorang melihat orang lain sebagai penghambat kebebasannya untuk bereuforia. Muncul perasaan bahwa mengurus mereka yang terpinggirkan adalah beban berat. Bahkan yang lebih parah lagi, orang merasa sebagai suatu beban melayani orang tuanya sendiri yang sudah sepuh dan tidak mandiri lagi.
Namun, di tengah situasi seperti itu masih ada setetas embun yang memberikan harapan bagi orang-orang yang kadang tidak diperhitungkan dalam kehidupan sosial. Harapan itu adalah masih adanya orang yang mau peduli kepada orang-orang kecil dan sederhana. Orang-orang ini merasa bahagia dan menemukan banyak inspirasi dalam pelayanan mereka kepada orang-orang sederhana dan terpinggirkan.
Berangkat dari fenomena ini, saya ingin membagikan sedikit goresan pengalaman perjumpaan saya dengan para pasien, khususnya di Rumah Singgah St. Antonius Padua, sebuah karya pelayanan sosial yang dikelola oleh para Fransiskan Muda Indonesia. Para pasien ini dilayani oleh para Frater OFM dan dibantu oleh Ibu May. Para Frater biasanya melayani para pasien pada malam hari secara bergantian dan siang harinya dilayani oleh Ibu May.
Penghuni Rumah Singgah pada umumnya orang tua yang tidak bisa lagi hidup mandiri dan orang-orang yang tidak diperhatikan lagi oleh keluarga dan kerabatnya. Mereka biasanya diantar oleh keluarga atau kerabatnya, tetapi, pada umunya, setelah itu keluarganya kerap kali tidak peduli lagi dengan para pasien itu.
Situasi tersebut menggugah hati dan pikiran saya, kenapa orang menjadi tidak peduli kepada orang tuanya sendiri? Apakah dia tidak merasakan sentuhan kasih dan kebaikan orang tuanya? Atau apakah mereka tidak berpikir bahwa suatu saat nanti mereka akan menjadi seperti orang tua mereka, menjadi tua? Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya lahir dari keprihatinan saya terhadap para pasien yang seringkali mengungkapkan isi hati mereka bahwa mereka sangat merindukan pelayanan anak-anak mereka, atau lebih tepatnya sapaan dari anak-anaknya.
Walaupun demikian, para pasien itu tidak pernah putus asa. Bahkan ketika saya berbicara dengan mereka, kata-kata yang seingkali mereka ucapkan adalah pujian kepada Tuhan yang telah memberikan kehidupan dan masih menganugerahkan kesempatan untuk memperbaiki diri dan menyesali segala dosa dan kesalahannya.
Ungkapan-ungkapan mereka yang spontan menyadarkan saya bahwa pelayanan harus dilihat sebagai proses yang dilakukan Tuhan untuk mewujudkan kasih-Nya kepada orang-orang yang kita jumpai, khususnya orang kecil dan sederhana. Karena Yesus sendiri dalam sabda-Nya pernah mengatakan bahwa, “Apa yang kau lakukan bagi orang yang hina dina ini itu kau lakukan untuk aku” (bdk Mat 25:40). Kemudian muncul dalam benak saya bahwa tidak ada pelayanan yang lebih mulia lagi selain pelayanan kepada mereka yang sudah tua, mereka yang ditinggalkan oleh anak mereka, terlantar, miskin dan juga mereka yang sakit.
Memang butuh sebuah kesabaran dalam mengurus para lansia di Rumah Singgah. Mereka seringkali membutuhkan perhatian dan orang yang mau mendengarkan mereka. Setiap malam para saudara muda bergiliran mendampingi mereka, mendengarkan ungkapan isi hati mereka, menghibur mereka, dan pagi harinya, memandikan para lansia, membersihkan rumah, dan mengurus segala hal yang diperlukan dan setelah itu berangkat ke kampus untuk mengikuti kuliah. Melalui pelayanan itu, bagi saya, Rumah singgah selalu menjadi tempat yang melahirkan cerita baru yang bisa dikenang karena selalu menemukan pengalaman menarik dan unik.
Yesus pernah bersabda bahwa Dia akan selalu hadir dalam pribadi mereka yang dilupakan oleh orang lain seperti kaum papa. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang menderita. Sabda Yesus ini perlahan-lahan menjadi landasan yang terus memotivasi saya untuk melayani mereka dengan penuh cinta dan ketulusan. Pelayanan kepada mereka juga adalah sebuah proses pembentukan karakter agar bisa menjadi Fransiskan seperti yang diharapkan St. Fransiskus Asisi.
Rupanya sang waktu turut serta membentuk diri saya melalui perjumpaan bersama mereka di Rumah Singgah. Di sinilah saya belajar karya nyata dari sebuah pelayanan yang langsung kepada mereka yang terpinggirkan. Kehidupan yang ditampilkan oleh orang-orang tua ini semakin hari semakin mengingatkan saya pada Dia yang saya imani.
Saya berpikir, kenapa ya Yesus harus seperti mereka-mereka ini. Bukankah Dia raja, kenapa harus menjelma melalui orang-orang seperti ini. Namun saya sadar ternyata Kehendak dan pikiran Allah melampaui pikiran manusia. Pelayanan kepada mereka memang merupakan sebuah pelayanan yang jarang digemari oleh orang-orang. Apalagi pelayanan kepada mereka juga menurut kebanyakan orang lebih susah daripada pelayanan kepada seorang bayi.
Kehadiran mereka di Rumah Singgah mengetuk kesadaran setiap orang yang mengunjungi Rumah Singgah. Tatapan mata serta raut wajah mereka yang selalu menampilkan tanda kepasrahan. Hal ini selalu meluluhkan rasa belas kasihan. Ternyata pelayanan kepada mereka adalah sebuah pelayanan yang tak terhingga nilainya. Mereka adalah orang-orang yang tidak mampu secara fisik sehingga dalam segala hal, kita sendiri yang harus membantu mereka, menuntun mereka, bercerita dengan mereka, menghibur mereka. Di tempat inilah saya sesungguhnya diuji untuk menjadi seorang Fransiskan. Saya boleh saja mengatakan ingin mengikuti Fransiskus kalau tidak hadir dalam pelayanan seperti ini, jadinya percuma.
Konkretisasi sabda Yesus sebenarnya terletak pada pelanyanan kepada orang-rang seperti ini. Mereka adalah pribadi yang butuh dilayani, bukan karena mereka hanya pura-pura. Dalam pemahaman saya, tanpa orang tua, mungkin saya tidak bisa hardir di dunai ini. Maka saya sangat menyayangkan bagi anak-anak yang sudah sukses lalu membuang orang tua yang telah mendidik mereka hingga sukses ke tempat penampungan seperti panti-panti sosial. Pelayanan kepada mereka adalah sebuah pelayanan kemanusiaan. Mereka pun hanya bisa mengucapkan kata terima kasih kepada kita yang melayani mereka. Rasa terima kasih mereka juga lahir dari ketulusan mereka karena kita sudah melayani mereka. Mereka juga mungkin membalasnya melalui doa mereka. Akan tetapi pelayanan adalah sesuatu yang universal dalam kehidupan manusia. Siapa lagi kalau bukan kita yang memperhatikan mereka? Bagaimana nasib mereka jika tidak ada orang yang berbaik hati untuk menampung mereka yang terpinggirkan di dunai ini?
Oleh: Ogy Ganggus, OFM