Masalah diskriminasi dan kekerasaan terhadap perempuan belum kunjung berakhir. Dari hari ke hari media massa baik cetak maupun elektronik tidak pernah alpa memberitakan masalah seputar kekerasan terhadap perempuan. Hingga sekarang belum ada upaya konkret menangani persoalan tersebut. Hemat penulis, sadar atau tidak, saking sering terjadi, kenyataan tersebut menjadi hal yang sangat lumrah.
Diskriminasi, dalam kajian sosiologi, adalah perlakuan yang berbeda yang dialami sekelompok orang atau seseorang mengenai suatu hal khusus. Misalnya, secara umum perempuan dianggap lemah dan emosional daripada laki-laki. Keadaan ini mengakibatkan perempuan mengalami diskriminasi dalam hal memperoleh jabatan, pendidikan, dan pekerjaan.
Diskriminasi terhadap perempuan melanggar prinsip persamaan hak dan penghormatan terhadap martabat manusia. Selain itu, hal ini merupakan hambatan bagi partisipasi perempuan dalam berbagai bidang kehidupan; sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Konsep kesetaraan menjadi sebuah konsep mandul. Hal ini tentu menghambat pertumbuhan, kemakmuran masyarakat dan keluarga, dan mempersulit pengembangan potensi perempuan secara penuh dalam mengabdi kepada negara dan kemanusiaan.
Perempuan kerap menjadi obyek kekerasaan. Meski demikian, perempuan juga tidak jarang menjadi pelaku kekerasaan itu sendiri. Akan tetapi perbandingan jumlah tindak kriminal lebih banyak menjadikan perempuan sebagai objek. Kekerasaan yang diterima oleh perempuan merupakan “tampang” dari upaya mempertontonkan otoritas, kekuasaan dan keperkasaan pelakunya (laki-laki). Hal ini menjadi masalah serius bagi aktivis-aktivis perempuan di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia.
UU Perlindungan Perempuan Belum Memadai
Pemerintah Republik Indonesia bertanggung jawab terhadap kenyataan ketidakadilan ini. Kapasitas pemerintah sebagai penjamin efisiensi ketertiban warga negara seakan koyak. Akan tetapi tidak akan disangsikan bahwa pemerintah Indonesia pernah turut meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms Againts Woman) dan diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminsi terhadap perempuan. Penandatanganan konvensi tersebut belum memberikan dampak yang signifikan bagi perkembangan tingkat kepedulian masyarakat dalam menindak persoalan dikriminatif dan kekerasan terhadap kaum perempuan.
Selain itu, bentuk riil yang seakan-akan membetulkan kekerasan terhadap kaum perempuan pun tertuang dalam beberapa Undang-undang. Salah satu Undang-Undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dalam beberapa pasal yang termaktub di dalamnya (misalnya pasal 3 dan 4). Isi Undang-Undang ini, secara konkret menindas kesejajaran kaum perempuan dan laki-laki.
Selain terkait kehidupan sosial (relasi perempuan dan laki-laki dalam status, sudah menikah) pendiskriminasian pun merebak dalam sektor politik, terkait keterlibatan perempuan dalam panggung politik. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (pasal 53 dan 55 ayat (2)). Dalam dunia politik kuota terhadap perempuan terkait keikutsertaannya dalam dunia politik dibatasi. Pasal 53 dan 55 tersebut sangat bertentangan dengan amanat UUD 1945 yang tertuang dalam pasal 28D dan pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Berdasarkan dua undang-undang di atas, timbul pertanyaan besar “bagaimana mungkin diskriminasi dapat terhindarkan apabila Undang-Undang sendiri melegitimasinya?” Di sini jelas terlihat bahwa negara melalui aparat-aparatnya belum mempunyai komitmen serius terhadap perlindungan hak-hak perempuan, ditambah lagi komitmen khusus yakni perlindungan terhadap diskriminasi, dan bahkan penghapusan terhadap diskriminasi itu sendiri.
Perempuan Setara dengan Laki-Laki
Perempuan dan laki-laki adalah pribadi yang memiliki martabat luhur. Keluhuran martabat itu didasarkan pada kodratnya sebagai ciptaan yang luhur. Perempuan dan laki-laki adalah ciptaan yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Manusia diciptakan menurut “gambar Allah”; ia mampu mengenal dan mengasihi penciptanya;…. Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah,dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat (GS 12).
Hal tersebut mengindikasikan bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara. Dengan begitu (sudah layak dan sepantasnya) perempuan dan laki-laki harus saling menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi yang dimiliki. Perempuan tidak lagi disubordinatkan dan kembali menemukan keberadaannya sebagai manusia penyandang hak dan kewajiban di tengah masyarakat.
Pendasaran teologis-biblis sebagai kerangka normatif kesederajatan perempuan dan laki-laki. Para pembuat Undang-Undang untuk melakukan review dalam pembuatan Undang-Undang. Perlu adanya evaluasi komprehensif dari setiap undang-undang yang telah dan akan diberlakuan, khususnya Undang-Undang tentang perempuan (yang sampai saat ini belum dibuat).
Undang-Undang yang dibuat mesti tidak memberi celah terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Prinsip kesetaraan tidak berarti diperlakukan “sama rata” dengan laki-laki tetapi tetap memperhitungkan “kekhasan” sebagai perempuan.
Diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan akan semakin berkurang jika para pelaku ditindak dengan tegas tanpa tebang pilih. Selain itu, perlu sebuah pendidikan yang mengubah mindset yang memandang perempuan sebagai the second class. Perempuan dalam segala keunikannya adalah manusia yang memiliki harkat dan martabat yang mesti dihargai dan dijunjung tinggi.
Flafiani Jehalu
Penulis adalah alumna SMPK-SMAK St. Fransiskus Xaverius Ruteng, saat ini sedang menempuh pendidikan lanjutan di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta.