Pernah mendengar nama Aleta Baun? Semoga pernah. Bagi yang, belum saya ingin membagikan secuil kisah tentangnya. Aleta Baun adalah seorang permpuan suku Molo, Lelobatan, Timor Tengah Selatan yang lahir pada 16 Maret 1966. Ia seorang Perempuan biasa, dari kampung yang sangat dekat dengan alamnya. Perempuan biasa ini mulai terusik ketika pada 1980-an pemerintah daerah secara ilegal menerbitkan izin untuk perusahaan-perusahaan marmer.
Dia merasa tulang-tulangnya diremuk ketika perusahaan-perusahaan tambang marmer mulai memotong batu marmer dari gunung keramat suku Molo. Dia seolah-olah botak saat menyaksikan hutan-hutan adat mereka mulai digunduli. Darahnya berhenti mengalir saat menyaksikan sungai-sungai sumber kehidupan diracuni.
Filosofinya sederhana, batu adalah bagaikan tulang dalam tubuhnya, tanah adalah dagingnya, hutan adalah bagaikan rambut di kepalanya dan sungai itu adalah representasi darah yang mengalir dalam dirinya.
Perempuan biasa itu menjadi perkasa ketika pada tahun 1990-an memutuskan untuk melawan dan mulai menginisiasi protes terhadap perusahaan penambang. Bersama tiga Perempuan lain dia mulai menggalang kekuatan.
Mengapa Perempuan? Aleta sangat sadar bahwa yang paling merasakan dampak kerusakan adalah para Perempuan.
Bukankah yang mengurus urusan domestik keluarga adalah Perempuan? Apa yang mereka masak jikalau hutan mulai gundul? Dari mana air yang akan digunakan di rumah tangga jika mata airnya meninggalkan air mata dan sungai-sungai mengalirkan racun? Bagaimana mereka mengambil obat ketika anak-anaknya sakit padahal hutan-hutan keramat mereka sudah luluh lantah di tangan penambang? Bagaimana mereka menenun jika pewarna kain di hutan adat mereka tinggal kenangan?
Tidak dipungkiri lagi, perempuanlah yang paling menderita dimana terjadi kerusakan dan kehancuran lingkungan terutama karena ulah pertambangan, apapun bentuknya.
Perempuan perkasa itu menjadi semakin garang. Dia dikejar-kejar, diancam untuk dibunuh oleh kroni-kroni dan mencapnya sebagai pelacur jalanan karena sebagai Perempuan seharusnya ia berada di rumah. Itu semua tidak menyurutkan niatnya. Di tengah intimidasi dia terus menyuarakan suara mereka yang tak bersuara.
Sebelas tahun dia terus berkampanye meyakinkan bahwa bumi Molo sedang menangis dalam diri Perempuan-Perempuan Molo secara khusus dan masyarakat Molo umumnya.
Puncak perlawanan terjadi pada tahun 2006. Dia berhasil mengajak ratusan Perempuan bersuara dengan bahasa yang sangat simbolik. Bersama Perempuan lainnya dia menenun di depan pintu tambang dan menduduki Bukit Anjaf dan Bukit Nausus di kaki gunung selama satu tahun. Kaum pria membantu dengan mengasuh anak, memasak, dan mengirim makanan pada kaum wanita yang terus menenun menghalangi penambang.
Makna dari tenun masal ini meurut Baun tak lain mewakili Perempuan yang sedang tak berdaya yaitu Perempuan yang biasa disapa Ibu Bumi. Ibu Bumi sedang ditelanjangi, segala miliknya dirampas dari padanya. Menenun adalah tindakan penyelamatan, sebuah aktivitas melindungi, dan memulihkan martabat.
Kain dari hasil tenunan digunakan untuk menyelimuti, memberi kehangatan, dan menjadi pakayan yang mengembalikan martabat seseorang. Itu yang sedang dbutuhkan perempuan, Ibu bumi yang sedang tak berdaya ini.
Pada tahun 2007 aktivitas mereka membuahkan hasil. Para penambang tak berdaya berhadapan dengan ketangguhan Perempuan-Perempuan yang merajut dan merawat kehidupan melalui tenunan.
Atas perjuangannya ini pada tahun 2013 Perempuan bernama Aleta ini memenangkan penghargaan Goldman Environmental Prize karena perjuanganya menyelamatkan perempuan, Ibu bumi di daerah Molo.
Perempuan perkasa, Aleta Baun (54) terakhir menerima penghargaan Yap Thiam Hien Award (YTHA) 2016 di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, Rabu (25/1) malam, tahun yang lalu. YTHA merupakan penghargaan yang diberikan kepada siapa pun, baik individu, kelompok atau lembaga yang gigih dan tanpa pamrih konsisten dalam membela, memperjuangkan, dan mempromosikan hak asasi manusia di Indonesia.
Aleta, tentu tidak bekerja untuk penghargaan ini. Aleta bekerja untuk kehidupan yang ia sangat yakini tidak bisa tanpa Sang Perempuan, Ibu Bumi. Sebagai seorang Perempuan, Aleta pasti merasakan bagaimana menjadi seorang Perempuan, dan kini dia semakin memahami betapa pedih duka Perempuan, Ibu Bumi yang sedang lara ini.
Perempuan, Ibu bumi menunggu uluran tangan yang halus nan lembut dari orang-orang yang mau memberikan dirinya untuk memberikan perhatian istimewa pada sang Perempuan Sumber Kehidupan. Perempuan, Ibu Pertiwi kini sedang berduka, dibutuhkan kehadiran Aleta-Aleta lainnya yang dapat menginspirasi, memulihkan kembali harkat dan martabat Perempuan, Ibu Bumi. Selamat Hari Perempuan!!
Sdr. Charlest, OFM