/1/ Para Pembunuh Kopi

kami tanam kopi

datang kalian beriring-iringan

mengarak chain saw,

membabat dengan saleh:

jaga hutan lindung babat pohon.

Lelah membabat, kamu hirup kopi penuh selera

diseduh dari air mata kami

yang mendidih dalam panas api kebencian.

Sisa tunggul memberi harapan

menghapus air mata kami

sebab akar masih tabah mengirimkan segalanya

bagi tumbuhnya pucuk baru

daun baru pun rekah

ranting muda merentangkan lengan

memeluk harapan kami yang nyaris terkulai

lalu mengirim sepoi angin bagi lalunya duka

yang basah di air mata kami.

Lihatlah…kalian, para pembunuh kopi

ada yang tak mampu kamu babat seutuhnya:

harapan kami yang menancap

sekuat akar memeluk tanah

merayu langit mengirimkan embun

bagi tunggul menumbuhkan pucuk.

Maukah kalian mengakhiri senja yang sendu ini

dengan menghirup kopi panas sekali lagi

buah bernas dari tunggul yang tak mau mati

bersama kami, kini

tanpa air mata, tangis duka

horor iring-iringan regu babat yang saleh?

/2/Kopi Pahit

Sebelum ampas mengental di dasar gelas

maukah kalian tahu

mengapa kami minum kopi pahit?

pahit kopi tak segetir pilkina, sahabat

tetapi keduanya bagai lengan terbuka

yang memeluk begitu erat kekasihnya:

kesehatan yang terasa lebih manis tanpa gula.

demi rindumu pada sehat

seruputlah kopi pahit yang bukan dari saset

sisakan di dasar gelasmu, ampas

tanpa perlu ada tafsir sebab segala yang pahit dari

kenangan selalu mungkin seperti kopi:

menyembunyikan hikmat dalam pahit

yang dapat lebih nikmat dari gula-gula!

/3/ Kami Rindu

Tak ada lagi pembunuh kopi

bersama bual janji-janji yang pahit

dan tak pernah menyembuhkan

karena selalu ada jawaban keliru

untuk pertanyaan yang bukan untuk kami:

mengapa minum kopi pahit?

Seujung sendok gula

kau larutkan di gelas kami

lalu merasa dermawan

telah memberi sesuatu yang tak kami butuh

juga tak pernah menyembuhkan

engkau penyembuh yang malang, mungkin

selalu ngantuk dan tertidur

segelas kopi pahit untukmu,

dari kami untuk membuka mata

asa…inungs ga!

/4/Di Tiga Harilalu

10 Maret di tiga harilalu

adalah sujud doa dan seringkali tanya

bagaimana rasa kopi kita kini?

.

.

.

jauh sebelum tiga belas tahun lalu

hingga kini dan mungkin nanti

nikmat selalu untuk dan hanya buat:

mereka yang seruput bukan dari kebunnya sendiri

yang tak pernah getir mendoakan musim

bagi limpahnya panen)***

Catatan: asa Inungs ga: ajakan untuk menyeruput dalam bahasa Manggarai

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

4 + 4 =