Aktualitas Belaskasih

Salah satu perhatian pokok Gereja pada era Paus Fransiskus ini adalah tentang spirit belaskasih. Dalam arti ter­tentu, tema itu tidaklah baru mengingat pada 13 November 1980 Paus Yohanes Paulus II telah mempubli­kasikan ensiklik Dives in Misericordia, Kaya dalam Kerahiman. Dalam ensiklik itu ditampilkan pengakuan iman alkitabiah bahwa Allah adalah Bapa yang murah hati, limpah belaskasih dan mengampuni anak-anak-Nya yang berdosa. Sekaligus juga disajikan oleh ensiklik itu suatu imperatif bahwa panggilan untuk memperlihatkan belaskasih bersifat fundamental dan eksistensi­al bagi setiap pengikut Kristus.

Pada tahun 2012 atau se­tahun sebelum terpilih menjadi Paus Fransiskus pada 2013, teolog Walter Kasper menulis buku meng­enai belas kasih sebagai inti atau saripati Injil Yesus Kristus dan sebagai kunci untuk mengukur mutu hidup menggereja. Kardinal Kasper berkeyakinan bahwa belas kasih dapat mencegah kita dari sikap masa bodoh, berlaku barbar dan tidak adil terhadap sesama. Belaskasih melapangkan jalan untuk rekonsili­asi, pengampunan dan pemulihan martabat manusia.

Tema tentang belaskasih itu diartikulasikan lagi oleh Paus Fransiskus dalam bulla yang dipubli­kasikannya pada 11 April 2015, yakni Misericordiae Vultus, Wajah Kerahiman. Panggilan untuk berbelaskasih itu menjadi semakin mendesak terutama karena kita hidup dengan rintihan bumi dan para papa lantaran terus dihantam oleh aneka realitas negatif berikut: penghancuran tanpa ampun terhadap alam semesta, aneka rupa kecurangan dan pengasingan, konfrontasi antara kelompok agama, diskriminasi, pemusnahan ras atau etnis, perdagangan perempuan dan anak-anak, eksploitasi seksual berupa pornografi, jejak-jejak darah di balik setiap propaganda perang, teror dan horor narkoba, dan begitu banyak kekejaman lainnya.

Sdr. Frumens Gions, OFM (dok. pribadi)
Frumens Gions, OFM (dok. pribadi)

Alkitab tentang Belas Kasih

Alkitab menggunakan macam-macam kata untuk mendeskripsikan kekayaan makna belaskasih, yakni hesed; rahamim; hamal, hus, emet.

Pertama, hesed. Dapat di­terjemahkan dengan kasih setia; sikap penuh komitmen terhadap perjanjian; rahmat; kasih. Hesed kadang digabungkan dengan emet sehingga menjadi hesed we emet yang artinya rahmat dan ke­setiaan. Buah-buah hesed ini adalah pengampunan dan pemulihan kembali kepada rahmat, penegak­an kembali perjanjian batin. Beberapa teks kunci: Kel 34:6; Mzm 25, 40; Mi 7:20. Hesed tidak lain adalah kasih yang memberi, kasih yang memaafkan, kasih yang unggul melampaui pengkianatan, kasih yang lebih kuat dari dosa.

Kedua, rahamim. Aspek keibuan (rehem: rahim ibu). Dari persatuan seorang ibu dan anak­nya lahirlah suatu hubungan yang spesial dengan anak itu. Kasih itu dihadiah­kan, dianugrahkan, dan diperoleh bukan karena prestasi kita atau jasa kita. Dalam arti itu, kasih seperti itu merupakan anu­gerah; keperluan jiwa; ke­butuhan untuk bisa percaya; kelembut­an; penuh perasaan, kesabaran dan pengertian; dan kesediaan mengampuni. Teks kunci: Yes 49:15 – Mengidentikkan belaskasih Allah dengan belaskasih seorang ibu kepada anaknya.

Ketiga, hamal yang berarti menyayangi (musuh yang sudah dikalahkan) dan memperlihatkan belaskasih dan kerahiman. Intrinsik di dalamnya pengampunan dan penghapusan kesalahan. Selain itu, ada hus yang berarti iba, simpati, rasa kasihan dan pengampun­an. Emet yang berarti keteguhan, kepastian, kebenaran, dan kesetia­an.

Kata-kata tersebut mengingatkan kita bahwa belaskasih merupakan salah satu karakter atau sifat Tuhan sendiri. Dalam arti itu, belas kasih menjadi inti, prinsip, dan spiritualitas yang perlu men­jiwai praksis beriman kita. Selain itu kita melihat bahwa ada kaitan erat antara cinta, belaskasih, pengampunan dan keadilan. Di­sebutkan bahwa pengampunan itu penting bagi belaskasih dan bahwa keadil­an tidak begitu cukup untuk meng­ungkapkan perlakuan Allah ter­hadap anak-anak-Nya.

Belaskasih, Kriteria Hidup Beriman

Belaskasih bersifat normatif bagi hidup beriman kristiani. Ini artinya kualitas hidup beriman kita mesti terukur oleh praksis belaskasih. Relevan di sini kisah pengadilan terakhir dalam Mat 25:31-46. Kisah ini merupakan teks programatik belaskasih dan permenungan atas teks itu membawa kita pada beberapa hal pokok be­rikut ini.

Pertama, identifikasi diri Yesus dengan para papa: kaum terpinggirkan, miskin, para gelandangan, menderita sakit, dan ter­alienasi. Karena itu, belas kasih merupakan jalan kepada pengenal­an akan Kristus. Sebabnya, para papa adalah tempat Tuhan bersemayam dan bersedia ditemui oleh kita. Tuhan tinggal berdiam dalam setiap ciptaan khususnya dalam pancaran wajah kaum papa. Tuhan berbicara kepada kita melalui sejarah hidup mereka yang se­nantiasa memperdengarkan jeritan dan keluh kesahnya kepada kita. Berbelas kasih kepada para papa jelas merupakan tuntutan iman dan syarat injili bagi pengikut Kristus. Kalau kita sanggup berbelas kasih maka kita sendiri akan menjadi sakramen, tanda yang hidup dari kehadiran Kristus sendiri bagi yang lain. Di sini belaskasih dialami sebagai simpati, partisipasi, peduli, membantu dan menerima anugra sesama kita.

Kedua, belaskasih merupakan jantung panggilan dan per­utusan setiap pengikut Kristus. Sebagai suatu panggilan, belas kasih mendorong kita tidak hanya untuk memberi tetapi juga untuk memberikan diri kita sendiri kepada orang lain. Kita berbagi hidup dengan sesama kita dan memberikan usaha-usaha konkret untuk bersama mereka menjadi pembawa persekutuan, cahaya sukacita, pengampunan dan solidaritas. Berbelaskasih berarti melakukan semacam eksodus, yakni keberanian untuk keluar dari diri kita sendiri, dari kenyamanan-kenyamanan semu dan pergi menjumpai yang lain dalam situasi konkretnya. Para­digma yang melihat diri sendiri sebagai sentrum kehidupan harus diubah. Berbelas kasih berarti proaktif menemukan perwujudan iman dan kasih. Praksis belaskasih seperti itu dapat mengantar kita pada perjumpaan dengan Kristus, wajah belaskasih Allah Bapa sendiri.

Ketiga, corak hidup teosentris dan transformasi sosial. Cara berpikir dan berlaku orang kristiani mesti bercorak teosentris. Allah ditempatkan sebagai pusat atau poros kehidupannya. Maka itu, makna sejati keberadaan seorang kristiani mesti diletakkan dalam bingkai relasinya dengan Allah. Hidupnya menjadi otentik jika berpusat pada Allah dan bukan pada dirinya sendiri. Inilah artinya, individu kristiani harus berpikir, berperasaan dan bertingkah laku sebagai gambar dan rupa Allah sendiri. Dan hidup berpusat pada Allah itu tidaklah mengecualikan seorang kristiani dari tanggung jawab dan kepeduliannya terhadap sesama. Kesucian atau kesalehan personal baru menjadi sempurna ketika pada saat yang sama diterima solidaritas dan perjuangan untuk menjunjung keadilan, perdamaian, kesejahteraan bersama, dan keutuh­an ciptaan. Dalam hidup beriman, iktiar melakukan transformasi personal dan transformasi sosial selalu menjadi satu kesatuan.

Belaskasih, Hidup di Hadirat Tuhan

Belaskasih Tuhan tampak nya­ta juga dalam Penciptaan. Sebabnya, bumi dan segala isinya merupakan ungkapan kasih sa­yang Allah sendiri kepada manusia. Sa­yangnya, manusia kerap meng­hadapi dunia ini semata-mata sebagai objek dan sasaran pemenuhan kebutuhan hidup. Ketika menyaksikan gunung yang menjulang tinggi, laut biru, purnama bulan, dan matahari yang memerah di ufuk barat, kita kerap lupa mengaitkannya dengan asal dan sumber-Nya. Ketika merasakan angin segar pegunungan, air yang memuaskan dahaga, dan burung berkicau merdu, kita kerap mengabaikan sikap syukur dan terima kasih.

Padahal, dalam dan me­lalui ciptaan Tuhan menyatakan diri-Nya, memberikan diri-Nya, dan menunjukkan diri-Nya. Tuhan hadir dan aktif dalam segala sesuatu. Ini berarti kita mempunyai sesuatu yang konkret untuk dapat berjumpa dan merasakan kasih Tuhan. Dalam Rom 1:19-21 disebutkan bahwa Tuhan hadir dalam karya ciptaan-Nya. Dalam Rom 12:1-2 dikatakan: persembahkanlah tubuh sebagai persembahan yang hidup, suci lagi berkenan kepada Allah – itu ibadah kita yang sejati. Dalam Yoh 4:21-24 kita diajak untuk menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran sebab Allah adalah Roh. Dalam 1 Yoh 4:7-16 Tuhan diimani sebagai kasih yang menyelamatkan. Kasih itu berasal dari Tuhan dan kita harus saling meng­asihi. Dalam Mazmur-mazmur sering dilantunkan tentang Tuhan sebagai Gembala (Mzm 23); Tuhan yang hadir melalui karya ciptaan-Nya dan Taurat-Nya (Mzm 19 dan 119); Tuhan yang menyertai dan melingkupi kita (Mzm 139); Tuhan yang mengatasi badai (Mzm 29); dan masih banyak lagi. Semua ini memang mau menyatakan bahwa Kerajaan Allah ada dan berkarya di antara kita (Luk 17:21).

Tuhan menjadi latar dari semua peristiwa itu. Orang yang peka akan kehadiran-Nya selalu dapat berdoa dan bersujud di mana saja. Hal ini tentu tidak dapat dimeng­er­ti secara naif bahwa tempat ibadat (gereja atau kapel) menjadi tidak perlu lagi. Hidup di hadirat Tuhan berarti menempatkan Tuhan sebagai Pribadi yang terutama dalam hidup kita. Kita tidak dapat mengabaikan Tuhan kecuali kalau kita bertindak busuk, licik, men­jijikkan, dan menistakan sesama.

Sdr. Frumens Gions OFM

Penulis adalah Dosen Teologi Moral pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

two × 5 =