Ada semacam sekat, terusan, garis batas—atau apa pun namanya—yang kini terbentuk di antara pelbagai entitas sosial, budaya, dan politik global, yang mengkategorisasi manusia ke dalam kotak-kotak sosio-budaya tertentu. Itulah sekat-sekat rasial yang de facto kerap meruncing ke dalam bentuk dikotomi mengerikan: ras satu lebih tinggi dari ras lainnya.
Fakta dikotomi rasial seperti ini sering kita sebut sebagai rasisme, sebuah paham bahwa karakter seseorang amat ditentukan oleh unsur-unsur biologis yang lahir bersamanya. Dari pandangan ini, maka masyarakat perlu dipisahkan menurut kualitas rasnya: ada ras yang dianggap lebih unggul dan ada ras lainnya yang dianggap lebih rendah.
Rasisme dalam Sejarah Global
Dalam sejarah, rasisme kerap muncul dalam bentuk tribalisme, xenofobia, prasangka, dan permusuhan terhadap satu kelompok etnis atau bangsa tertentu, dan kadang diiringi dengan sikap brutal. Perlakuan rasis yang masif dan mengerikan, misalnya, pernah dilakukan Adolf Hitler di Jerman lebih dari 50 tahun yang lalu.
Adolf Hitler melakukan pembunuhan sistematis terhadap ras-ras non-Arya (ras asli Jerman), terutama kaum Yahudi dan kelompok orang-orang cacat dan terbelakang. Peristiwa menyeramkan ini menyisakan luka historis dalam perjalanan Jerman sebagai sebuah bangsa.
Selain Jerman, Afrika juga begitu rentan dengan fenomena rasisme, terutama ketika apartheid menjadi mars manusia kulit hitam. Kemudian kolonialisme Eropa Barat terhadap bangsa-bangsa di Afrika, Asia, Australia, dan Amerika juga menjadi contoh kejam bagaimana rasisme bisa menimbulkan penderitaan dan kematian selama ratusan tahun. Selama masa itu, bangsa-bangsa lain dari Asia, Afrika, Australia, dan Amerika dianggap lebih rendah, bahkan tidak dianggap sebagai manusia.
Perbudakan modern pun lahir sebagai bentuk konkret dari pandangan picik bahwa orang-orang kulit hitam yang berasal dari Afrika bukanlah manusia, maka mereka bisa “dikomersialkan”. Singkat kata, dalam sejarah, rasisme terbukti menjadi ideologi yang mematikan. Lalu, bagaimana dengan kehidupan sosial-global kita sekarang, apakah akar-akar rasisme itu sudah sempurna ditumpas?
Jawabannya jelas ‘belum’. Rasisme masih sering menancapkan kuku-kuku tajamnya dalam peradaban global kita. Gejala rasisme masih menguat hingga sekarang, terutama dengan munculnya para pemimpin populis, seperti Donald Trump, yang meyakinkan warga negaranya untuk menyalahkan kaum imigran dan minoritas (muslim—yang kebanyakan dari Timur Tengah). Imigran dan minoritas disalahkan atas masalah-masalah semacam ketimpangan ekonomi, instabilitas keamanan nasional, dan terorisme.
Rasisme dalam Konteks Indonesia
Tak hanya di Amerika, di Indonesia pun rasisme masih menjadi momok yang meresahkan. Pada tahun 1998, misalnya, etnis Tionghoa mengalami diskriminasi rasial yang mengerikan. Toko-toko mereka dibakar dan dimusnahkan, begitu banyak yang dikejar-kejar, diperkosa, dan dibunuh secara brutal. Kemudian pada tahun 2001, pecah konflik antara etnis, yakni antara Suku Dayak asli dan penduduk pendatang dari Madura. Lebih dari 500 orang meninggal secara mengenaskan dalam peristiwa itu dan sekitar 100.000 warga Madura kehilangan rumah dan mata pencaharian mereka. Konflik berdarah pecah akibat kebencian rasistik yang terpendam, lalu meledak, sehingga menghancurkan semua tatanan bersama yang sudah terbangun lama.
Rasisme itu kemudian memasuki babak baru sejak kontestasi Pilpres pada tahun 2014. Jokowi, misalnya, distigma sebagai keturunan Tionghoa, sebuah stigma yang menggambarkan alergi yang kian kronis terhadap etnis Tionghoa. Hal yang sama juga dialami ‘Ahok’ dalam kontestasi Pilkada di DKI Jakarta pada tahun ini. Serangan rasial acapkali menggerayangnya. Itu artinya rasisme masih mengakar kuat di negeri ini. Kita masih belum siap menerima perbedaan etnis dan ras. Perbedaan itu bahkan kerap dipolitisasi demi mendulang kepentingan politik para politisi tengik dan sektarian.
Menalar Rasisme
Rasisme berakar pada keyakinan bahwa beberapa orang lebih unggul karena berasal dari kelompok etnis atau ras bangsa tertentu (Human Rights and Equal Opportunity Commission, 1998). Konsep ras ini berasal dari konstruksi sosial, bukan hasil kajian ilmiah. Sikap dan keyakinan rasistik itu disebabkan oleh kesalahpahaman terhadap garis rasial tertentu dan juga kerena menguatnya ketakutan akan perbedaan, termasuk perbedaan adat istiadat, nilai-nilai, agama, penampilan fisik, cara hidup, dan cara melihat dunia.
Pengalaman bangsa Yahudi di Eropa menggambarkan bagaimana kelompok lain melihat mereka sebagai kelompok yang sangat cerdas, terampil, dan kuat, maka perlu diwaspadai. Ketakutan sekaligus kecemburuan sosial memicu tindakan-tindakan rasis yang bermuara pada genosida dan penumpasan etnis.
Ketakutan dan kecemburuan sosial semacam itu juga sangat nyata di Idonesia. Melihat orang-orang Tionghoa menguasai banyak basis ekonomi di Indonesia, orang-orang pribumi lantas merasa minder dan terancam. Akumulasi rasa ketakutan dan rasa inferior itu kemudian meledak dalam bentuk praktik-praktik tidak beradab, seperti penghinaan, pelecehan rasial, dan permusuhan terhadap etnis Tionghoa.
Selain ketakutan dan rasa inferior, rasisme juga biasanya disebabkan oleh rasa superior yang berlebihan. Orang dari rasa tau etnis tertentu cenderung merasa lebih ungggul dan lebih berbudaya daripada kelompok etnis dan ras lainnya. Pada konteks ini, kelompok lain selalu dilihat lebih rendah, sebagai kelompok yang tidak bermoral dan jahat, maka harus dihancurkan untuk keadaban masyarakat. Pengalaman perbudakan orang-orang kulit hitam di Afrika de facto lahir dari luapan anggapan semacam ini, yang melihat mereka semata sebagai sejenis hewan, bukan manusia.
Rasisme tidak Masuk Akal
Jika demikian, apakah rasisme itu bisa diterima secara nalar? Jelas ‘tidak’, rasisme itu sama sekali tidak masuk akal. Sebab secara biologis, terbukti bahwa hasil anatomi manusia itu tidak sungguh berbeda antar-ras yang satu dan ras lainnya, dan unsur biologis tidak menjadi penentu utama karakter dan kualitas pribadi seseorang.
Secara biologis, kita adalah satu spesies yang sama, dan memiliki kebutuhan badaniah yang sama, mulai dari makan, minum, sampai dengan kebersihan. Diferensiasi sosial dan kultural tidak bisa menampik fakta biologis ini.
Berdasarkan pandangan ini, kita bisa berkesimpulan bahwa rasisme pada dasarnya tidak mungkin. Tidak ada alasan yang cukup kuat yang mendorong orang untuk bertindak rasis terhadap orang lainnya, karena setiap manusia, apapun latar belakang kultural maupun biologisnya, pada dasarnya adalah sama: secara metafisis ia adalah pribadi yang unik yang membuatnya khas dan berharga (lantas tidak boleh dihomogenisasi ke dalam etnis dan ras-ras tertentu yang dominan); secara epistemologis, ia jelas rasional dan tahu apa yang baik dan jahat; secara etis, ia pasti selalu merindukan hal-hal baik (maka tidak lantas melakukan diskriminasi dan kejahatan secara gampangan); dan secara politis, ia memiliki kerinduan akan yang lain, kerinduan untuk hidup bersama sebagai saudara.
Penyebab utama rasisme adalah sesat pikir (kesalahpahaman) dan instabilitas emosional yang memproduksi rasa takut, rasa inferior, serta rasa superior yang berlebihan dalam diri orang. Orang-orang rasis adalah orang-orang yang tidak bertanggung jawab secara etis, metafisis, epistemologis, dan politis. Oleh karena itu, tindakan-tindakan mereka sulit dimengerti akal sehat. Namun, sayangnya, tindakan-tindakan semacam itu seringkali menjadi banal dalam sejarah. ***
Sdr. Joan Udu, OFM