Amin masih merasa aman, meskipun ia tak lagi beriman.
“Apa gunanya beriman jika tanpanya hidup terasa lebih nyaman?” tanya Amin suatu ketika. Tidak kepada siapa-siapa, selain untuk dirinya sendiri. Ia tidak memberikan jawaban, karena toh memang tidak perlu. Tetapi ia juga masih hendak mencari jawaban, sebab ia juga penasaran. Ia ingin sekali bertanya kepada pastor, tapi ia segera ragu. Ia berpikir jawaban yang akan diperolehnya tidak lebih menyenangkan atau juga menenangkan, seperti kotbah di misa minggu pagi.
Amin teringat, sudah lama ia absen dari semua jenis peribadatan. Sejauh ingatannya, terakir kali ia ke Gereja pada pernikahan putrinya yang bungsu. Ia ingat, tentu saja, bukan karena moment sakral itu menduduki posisi penting dalam ruang kenangan Amin. Ia ingat karena pernikahan itu pernah menjadi topik yang heboh diperbincangkan seperti geliat penari dangdut yang berusaha meruntuhkan panggung. Amin merasa, ia tak perlu tergesa-gesa untuk kembali beribadat, sejauh ia masih beribadah.
Ia duduk di atas kursi malas setiap sore, sambil membaca berita di koran yang tidak bosan-bosannya menurunkan cerita perihal kemiskinan.
“Koran ini mendapatkan uang dengan menceritakan kemiskinan yang dialami orang kecil,” Amin nyiyir.
Amin memang membenci surat kabar dengan segala macam tampilannya. Karena ia tahu, surat kabar serinkali menyediakan alibi untuk menyembunyikan dusta yang mereka wartakan tentang orang hebat seperti dirinya. Sesewaktu ia memilih berdiam diri demi nama baik yang ia biakan selama ini. Ia menutup mulut ketika perihal buruknya diumbar-umbar.
Di waktu lain, Amin bersyukur dan merasa perlu berterima kasih dengan semua jenis media, karena bagaimana pun namanya melejit jauh berkat media. Ia akan tersenyum sambil memuji-muji media ketika di halaman depan koran terpampang fotonya sedang menyerahkan bantuan untuk panti asuhan Belaskasihan.
***
Amin tahu diri. Kekayaan yang dimilikinya adalah hasil jerih lelah bertahun-tahun untuk berkilah dari media yang mengejar-ngejar koruptor. Ia merasa dirinya bukan koruptor. Ia hanyalah seorang laki-laki yang beruntung, memiliki kesempatan dan kemampuan untuk menyembunyikan uang negara di rekening pribadi. Media yang menuduhnya koruptor hanyalah mereka yang tidak memiliki kesempatan, kemampuan dan keberanian untuk menyembunyikan uang negara. Bagi Amin, seseorang barulah menjadi koruptor, hanya jika ada bukti yang cukup atau ketika ia ditangkap. Selama masih menjadi berita yang muncul di surat kabar, itu tak lebih dari gossip yang tumbuh karena dengki.
Amin masih duduk di beranda rumah. Membaca koran kota. Ia berpikir seandainya orang miskin memiliki kesempatan, mereka pasti melakukan apa yang ia hayati, menyimpan uang negara di rekening pribadi. Ia ingat temannya, seorang koruptor (tentu saja karena sudah ditangkap dan dipenjarakan), mulanya adalah seorang aktivis yang rutin menyuarakan perang melawan korupsi. Berbagai proyek ia selidiki. Rakyat mana yang tidak segera terpesona dengan aktivis macam ini? Dalam pemilu berikutnya, ia segera terpilih menjadi anggota dewan. Sebagai seorang anggota dewan, ia terus bersuara menentang korupsi sambil menenteng kejujuran. Sampai suatu ketika, ia ditangkap karena diduga terlibat kasus suap. Ternyata itu bukan sekadar dugaan. Aktivis anti korupsi itu pun berakhir di penjara.
Amin tahu, kesempatan saja tidak cukup. Koruptor yang baik, perlu mengasah kemampuan berkilah dari media. Korupsi butuh lebih dari kesempatan, tetapi juga kemampuan. Dan, itu bukanlah suatu yang instan. Ia mempelajarinya bertahun-tahun, bahkan sejak ia masih kanak-kanak.
***
Pada waktu kecil, Amin sering diajak ibunya ke Gereja. Mendengarkan Pastor berkotbah. Ibunya sering memberikan selembar uang seribuan untuk didermakan.
“Uang ini untuk Pastor ya bu?”
Ibunya tidak menjawab. Amin menduga diam pertanda iya, makanya ia berceletuk.
“Pantas saja mereka kaya.”
Ibunya menghardik. Sejak itu Amin bercita-cita menjadi pastor. Katanya setiap minggu bisa mendapatkan uang dari umat. Apalagi kalau kotbahnya bagus. Lebih apalagi kalau lihai memilah relasi, memilih yang kaya dan menyilih yang miskin. Cita-cita itu dipeluknya erat-erat, sampai hari Amin remaja, ketika akhirnya ia jatuh cinta pada teman SMA. Ia tahu ada yang lebih hangat dari cita-cita yang dipeluknya erat-erat, yakni pelukan pacarnya. Amin mengubah haluan. Ia bercita-cita menjadi pemeluk wanita, meskipun belakangan ia tahu, menjadi pastor tak meluputkan seseorang dari kemungkinan untuk memeluk wanita.
Ia belajar cara memberi derma sejak kecil, di gereja. Ia juga belajar cara mencuri, sejak kecil, juga di gereja. Ibunya tidak pernah alpa memberikan selembar uang seribuan kepada Amin sebelum berangkat mengikuti misa di minggu pagi. Sekali saja ibunya lupa, berarti tidak ada misa bagi Amin hari itu. Ibu Amin terkagum-kagum dengan anaknya yang sudah pandai memberi derma.
Di kemudian hari, Amin menemukan cara yang entah dipelajarinya dari mana. Ia menaruh uang seribuan pada kantong derma dan menarik uang sepuluh ribuan dari sana. Ibunya selalu menduga Amin anak yang baik, yang selalu setia memberi derma di gereja.
Amin tidak merasa berdosa. Baginya, setiap penderma wajib menerima balasan. Toh, ia juga tahu, Tuhan tidak mungkin rugi hanya karena sembilan ribuan yang diambilnya. Amin percaya pada dua hal yang bisa membuat Tuhan lupa akan sembilan ribu rupiah yang diambilnya.
Pertama,selembar ribuan yang ia dermakan. (Tuhan yang ia kenal adalah Tuhan yang mudah mengingat kebaikan umatnya dan segera melupakan kejahatannya.) Kedua, sebagian uang yang diambilnya akan digunakan untuk mentraktir teman-temannya. Tidak mengherankan jika di mata teman-temannya, Amin dikenal murah hati. (Tuhan yang diimani Amin waktu kecil, juga adalah Tuhan yang mudah luluh di hadapan kemurahan hati.) Tuhan dan koruptor, bagi Amin, sama-sama punya kecakapan bermurah hati.
Bagi Amin, ia bukanlah pencuri hanya dengan mengambil uang derma pada kantong derma. Seseorang barulah pencuri, jika ia ketahuan. Selama belum ketahuan, ia bisa hidup sewajar-wajarnya, bahkan dianggap sebagai penderma yang mendonasikan sebagian uangnya untuk mentraktir teman-temannya.
Kebiasaan itu dipeliharanya hingga dewasa. Ketika ia menyadari kalau gereja bukanlah lahan yang baik untuk mendapatkan uang lebih banyak, Amin tahu, ada yang lebih kaya dari gereja, yakni negara. Tetapi, Amin juga tahu, negara seringkali lebih kejam dari Tuhan.
***
Banyak koruptor telah dihukum, Amin masih aman. Tak juga gelisah. Ia tahu, koruptor bisa membayar hukum demi menghindari hukuman. Ada desas-desus yang mulai beredar, ketika negara mengumumkan kematian bagi setiap koruptor. Amin tau, maut yang tak bisa dirayu atau dibungkam dengan rupiah. Maut-tetaplah maut yang siap mencabut setiap nyawa. Tapi, maut yang tumbuh dari hukum, masih bisa dikelabui.
***
“Tuhan mungkin menganggap remeh seorang koruptor, tapi koruptor juga bisa menganggap remeh Tuhan,” kata Amin pada diriya sendiri.
Itulah makanya Amin tak lagi ke gereja. Apa gunanya ke gereja pada hari minggu, toh Tuhan tidak akan menyendengkan telinga ke arahnya. Amin berpikir untuk berpindah agama. Amin juga tahu, Tuhan di semua agama mengecam korupsi. Amin perlahan menghapus Tuhan dari ingatan dan rutinitasnya, sebelum Tuhan menghapusya dari kehidupan. Tuhan yang mengganggu tabungan uang yang dirampasnya dari penderitaan orang miskin. Seperti Tuhan yang hanya merupakan ciptaan manusia, demikian juga koruptor hanyalah kosakata yang diberikan manusia karena iri, katanya suatu ketika.
Tuhan akan mengabaikan doa seorang koruptor. Tapi, Amin tahu, Tuhan yang diajarkan dulu waktu sekolah minggu adalah Tuhan yang mencintai orang miskin dan mendengarkan doa pengikutnya.
“Tuhan mungkin menganggap remeh seorang koruptor, tetapi ia tidak mungkin mengabaikan doa orang miskin untuk donatur mereka. Tuhan mungkin tidak mendengarkan doa seorang koruptor, tetapi ia pasti menjawab doa pemuka agama yang menerima sedekah untuk pembangunan rumah ibadat”.
Di beranda rumah, Amin masih merasa nyaman, meskipun tidak lagi beriman. Ia tersenyum membaca halaman depan harian ibukota. Pemuka agama tersenyum menerima bantuan, dan menjanjikan doa untuk kesuksesan Amin.
“Mungkin Ia meremehkan aku, tetapi tidak mungkin mengabaikan doa orang miskin dan pemuka agama yang menerima uang santunan dari kemurahan hatiku,” kata Amin kepada dirinya sendiri.
Seketika maut yang bersembunyi di balik pintu, mengecup jidatnya. Amin tak sempat menawarkan rupiah ketika semu anya itu terjadi.)***