Setelah menjadi Paus, karya besar pertama yang dihasilkannya, adalah Nasehat Apostolik Evangelii Gaudium (Sukacita Injil). Ada banyak hal yang disampaikan. Intinya adalah bahwa Paus Fransiskus mengajak umat untuk membiarkan hati dan hidupnya dipenuhi dan diinspirasi oleh sukacita Injil, berkat perjumpaan mereka dengan pribadi Yesus. Sukacita Injil sebagai ideal yang ingin dicapai, terhambat oleh pelbagai macam halangan, baik halangan personal maupun halangan sosial.

Paus menyebut halangan sosial, yang diidentifikasikannya sebagai sistem ekonomi yang tidak adil, yang antara lain disebabkan oleh merebaknya korupsi, tidak saja pada level nasional, tetapi juga global. Korupsi memperbudak manusia. Korupsi membuat manusia dikuasai oleh hal-hal yang seharusnya menjadi sarana.

Sistem yang tidak adil itu membunuh manusia, karena kehidupan bersama menjadi arena pertarungan “darwinis”, di mana yang kuat bertahan hidup dengan membunuh yang lemah. Sesama tidak hanya dieskploitasi, tetapi dibuang menjadi sampah, atau bahkan lebih buruk menjadi remah-remah. Kita hidup, demikian Paus, di bawah kekuasaan tirani tak terlihat, yang terwujud dalam pemberhalaan pasar, di mana spekulasi keuangan, gurita korupsi serta pengemplangan pajak serta penyembunyian uang ke luar negeri semakin lumrah.

Konflik dan kekerasan sosial adalah buah dari ketidakadilan. Sayangnya, konflik dan kekerasan diselesaikan dengan senjata serta penyebarannya. Lingkaran kekerasan bersenjata terus menggelembung, bisnis kekerasan merajalela dan korban-korban terus membentuk piramida korban manusia.

Paus juga mengeritik “kesucian” yang membalut kejahatan, yang menjadi favorit dari mereka yang terpenjara oleh kebanggaan semu akan Gereja masa lalu, serta ogah mengembangkan evangelisasi baru, tetapi terus-menerus membesarkan romantisme religius masa lalu, lantas menutup mata terhadap fakta ketidakadilan yang makin beringas. Mereka menilai orang dari kesetiaannya pada ritus liturgis, dan bukan pada upaya membawa sukacita Injil hadir efektif dalam kehidupan orang-orang susah dan yang sungguh membutuhkan.

Paus menyebut hal itu sebagai kejahatan korupsi yang mengerikan. Korupsi sebagai suatu kejahatan mengerikan menggerogoti kehidupan bersama masyarakat masa kini. Gereja diajak Paus untuk menjadi promtor dan pemrakarsa pembasmian korupsi. Kepada para uskup Italia (18 Mei 2015), Paus menyerukan “Jangan takut mencela dan berperang melawan mentalitas korupsi, baik bersama maupun pribadi, yang tanpa malu dilakukan dengan akibat memperburuk kondisi hidup orang-orang miskin, keluarga, para pensiunan, buruh, komunitas Kristiani, kaum muda yang tercampak keluar dan kehilangan masa depan, yang meminggirkan orang lemah dan miskin. Sebagai gembala-gembala yang baik, kita butuh kepekaan gerejani, untuk melangkah maju bersama umat Allah membebaskan manusia dari penjajahan ideologis yang mencabut identitas dan martabat pribadi manusia”.

Bagai gayung bersambut, Konfrensi Wali Gereja Indonesia, tahun 2016 juga mengeluarkan Nota Pastoral untuk Memberantas Korupsi. Nota pastoral ini memperlihatkan keteguhan dan keberanian untuk membasmi korupsi sampai ke akarakarnya. Para Uskup tidak menampik ada dan maraknya praktek korupsi di dalam Gereja Katolik sendiri, mulai dari kelas teri sampai kelas kakap. “Pola korupsi yang ada dalam lingkungan Gereja biasanya mengikuti pola korupsi yang ada di lembaga-lembaga lain, misalnya penggunaan anggaran yang tidak jelas, penggelembungan angaran pada saat membuat proposal kepanitiaan, menggunakan bon pengeluaran fiktif, meminta komisi atas pembelian barang dan pengeluaran biaya yang dipaspaskan dengan anggaran pendapatan”.

Nota Pastoral ini, selain merupakan kritik diri Gereja, juga menegaskan keyakinan bahwa korupsi adalah kejahatan, dosa dan tindakan tercela, yang tidak bisa dibiarkan, tetapi harus dibasmi. Para Uskup yakin bahwa upaya menyeluruh dan sinergis menjadi pilihan pokok yang diyakini akan efektif membasmi korupsi dan menciptakan budaya adil dan jujur. Karena itu keluarga diberi mandat untuk merevitalisasi perannya sebagai arena dan lingkungan penumbuhan dan pengembangan nilai-nilai kejujuran dan keadilan.

Secara tegas para Uskup menyampaikan, “Perilaku koruptif meniadakan keadilan sejati”. Hal itu terlihat dalam eksploitasi alam atas dorongan keserakahan demi diri atau kelompok. Mengutip seruan para uskup 1993, para uskup mengingatkan “korupsi, nepotisme dan pemerasan tidak boleh kita biarkan, apalagi kalau didorong oleh keserakahan, atau didukung oleh suatu jabatan atau kekuatan politik.” Seruan Paus dan Para Uskup seiring dan sejalan.

Korupsi ibarat kanker yang menggerogoti tubuh masyarakat dan tubuh Gereja. Tidak bersuara lantang membasmi korupsi berarti membiarkan dan menyetujui. Tetapi bersuara lantang saja, barulah setengah jalan menuju masyarakat dan Gereja bebas korupsi. Untuk melengkapinya dan menyempurnakannya dituntut komitmen personal dan komunal untuk mempertegas sikap membasmi korupsi, secara nyata, yakni dengan tidak melakukannya. Gereja selalu pantas dituntut untuk menjadi model dan teladan dalam membasmi korupsi.

Redaksi

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

9 + seventeen =