Komunikasi tidak akan lepas dari kehidupan manusia. Kiranya dapat dikatakan bahwa komunikasi adalah salah-satu kebutuhan dasar manusia. Salah satu pembuktian itu melalui fenomena kemunculan bahasa. Seluruh manusia di dunia ini pada dasarnya memiliki bahasa. Termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Kebutuhan akan komunikasi didasari pada kenyataan bahwa salah-satu kodrat kita adalah makhluk ‘’sosial”. Kita tidak bisa hidup sendiri melainkan selalu membutuhkan orang lain.
Fenomena kerja adalah salah-satu dari sekian banyak pembuktian di mana kodrat kesosialan kita sangat nampak. Kalau kita mau realistis, kita tidak pernah bekerja sendiri dan hanya untuk diri kita saja. Unsur peneriamaan dan pemberian dalam akvitas “kerja” tak dapat dimungkiri. Dan di sana, komunikasi memainkan peran penting agar “kerja” itu dapat terwujud sesuai harapan.
Refleksi singkat ini, kiranya mau mempertanyakan sejauh mana kegiatan komunikasi itu telah memberi sumbangsih bagi keberlangsungan hidup kita sebagai makhluk sosial. Apakah komunikasi telah digunakan sebagaimana mestinya demi menjawab kepentingan kodrat kita sebagai makhluk sosial atau malah komunikasi mereduksi kodrat kesosialan kita? Selain itu, penting untuk diingatkan bahwa kehadiran teknologi telah menghadirkan bentuk-bentuk komunikasi baru.
Secara etimologis, kata komunikasi (Cum=bersama, Unus=satu) merujuk pada pemaknaan “menyatu-bersama”. Adanya suatu momen untuk berbagi di mana ada yang memberi dan yang menerima. Saya berkeyakinan, komunikasi tidak bertujuan untuk memisahkan atau membuat hubungan kita menjadi renggang. Kodrat kesosialan kita menuntut adanya komunikasi melalui bahasa. Tentu tujuannya adalah menjawab kebutuhan kodrat kesosialan kita dan bukan merusak kodrat kesosialan itu. Meminjam ide para filsuf hukum kodrat, sesuatu itu baik secara moral jika sesuai dengan kodrat manusia. Dengan demikian, komunikasi pada dasarnya baik karena menjawab kebutuhan akan kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Dengan demikian, dapat ditarik bahwa komunikasi itu tidak sejalan dengan ujaran kebencian ataupun kemarahan karena toh itu malah merusak kodrat kesosialan kita. Artinya, esensi dari komunikasi adalah membagi sesuatu yang baik demi memenuhi kebutuhan dari kodrat kesosialan kita bukan sebaliknya merusak kodrat kesosialan itu.
Pada permenungan kali ini, saya akan mencoba melihat bentuk komunikasi di era digital sekarang. Ada banyak bentuk melalui berbagai media sosial seperti FaceBook, Twitter, E-mail, Instagram, dan lain-lain. Namun pertanyaannya, Sejauh mana bentuk-bentuk komunikasi ini telah menjawab kebutuhan akan kodrat kesosialan?
Tidak dapat ditolak bahwa kehadiran media-media komunikasi baru telah memberi banyak manfaat bagi manusia. Kita semakin dipermudah untuk berkomunikasi apalagi dalam menyampaikan pesan-pesan darurat. Media-media komunikasi baru telah melampui ruang. Dalam ruang berbeda kita masih dapat berkomunikasi satu sama lain dengan berbagai media komunikasi. Tentu ada banyak manfaat dan kemudahan lain yang tidak sempat disebutkan. Pada dasarnya, kehadiran media komunikasi baru itu sebenarnya mau menjawab kebutuhaan kodrat kesosialan di mana kita selalu membutuhkan orang lain.
Setelah kita melihat berbagai manfaat dan kemudahan di atas kiranya kita mesti melihat berbagai kekurangan dari media-media komunikasi baru bahkan malah melawan kodrat kesosialan itu. Bukannya menambah hubungan satu sama lain menjadi semakin intim tetapi sebaliknya semakin renggang.
Perkembangan media-media komunikasi baru membuat kita semakin mudah menyampaikan sesuatu. Namun “kemudahan” itu pun tidak hanya pada hal-hal baik tetapi juga pada hal-hal yang buruk. Ketidakhadiran fisik membuat kita semakin mudah menyampaikan pesan dalam nada kemarahan, kebencian atau bahkan permusuhan. Misalnya kita dengan mudah menyampaikan kemarahan kita melalui media sosial daripada kita bertatap muka secara langsung. Kemudahan-kemudahan itu mengurangi tanggungjawab atas setiap pernyataan yang kita lontarkan. Kita menjadi lebih “berani” mengatakan apa saja walaupun itu konyol atau bahkan menyinggung perasaan yang lain. Bukankah dengan demikian, makna komunikasi itu sendiri bergeser dari “membagi sesuatu yang baik” menuju sebuah aktivitas “merusak tatanan hidup bersama”.
Kebebasan mengekpresikan pendapat tentu kita inginkan namun kehadiran media sosial itu mengurangi rasa tanggungjawab atas berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Misalnya, saja kita tidak lagi memikirkan akibat atau adanya rasa tanggungjawab ketika kita membagi sebuah kebohongan atau bahkan memanipulasi fakta. Kurangnya selektifitas dari media sosial memberi pengaruh yang cukup besar bagi berbagai kemungkinan munculnya konflik sosial baru dengan berbagai motif.
Dengan berbagai fenomena di atas khususnya terkait media sosial, kiranya ada beberapa hal yang terus kita olah dan pikirkan secara terus-menerus. Pertama, bagaimanapun kita tidak bisa menolak bahwa esensi dari komunikasi itu mau menjawab kebutuhan kita sebagai makhluk sosial. Dan satu hal yang penting sekali, komunikasi tidak bisa lepas dari yang namanya kebenaran. Melalui media sosial, kita dengan mudah mengungkapkan apa saja tetapi mesti dipikirkan nilai-nilai kebenaran setiap pernyataan yang kita ungkapkan. Kita dapat mengatakan apa saja sejauh itu benar dan tepat. Sekalipun itu mungkin sulit diterima misalnya oleh oknum tertentu tetapi kalau itu seputar penyingkapan kebenaran maka hal itu dapat diterima. Namun sebaliknya, kita tidak boleh memanipulasi data apalagi mengubahnya demi tujuan provokatif. Kiranya, hal ini menjadi masalah besar yang dialami bangsa kita akhir-akhir ini.
Kedua, hadirnya media sosial secara tidak sadar menurunkan tanggungjawab personal dalam membagi berita, hasrat, ataupun pernyataan-pernyataan. Saya pikir tidaklah tepat, kita menggunakan media sosial itu untuk mengungkapkan kemarahahn, kebencian, ataupun unsur provokatif. Setiap hal atau apa saja yang bernada negatif dan kita bagikan melalui sosial media akan dibaca oleh khalayak umum. Itu berarti, kita telah merusak makna komunikasi sebagai kebutuhan akan kodrat kesosialan. Karena toh, apa yang dibagi berakibat pada permusuhan ataupun kebencian satu-sama lain. Bukankah dengan demikian, kita akhirnya tidak lagi membutuhkan satu sama lain tetapi malah saling memusushi ataupun mencurigai satu sama lain. Namun tidak boleh disamakan antara penyataan kritik (apalagi berkaitan dengan kebenaran) dengan ujaran kebencian, kemarahan, ataupun provokatif.
Ketiga, media sosial malah “melupakan” orang-orang di sekitar kita. Berkomunikasi dengan orang-orang di dunia maya tetapi kita melupakan hubungan dengan orang-orang sekitar kita seperti keluarga, saudara-saudara dalam sekomunitas, atau siapa saja yang sebenarnya kita tidak perlu membutuhkan media sosial. Bagaimanapun kehadiran fisik sangatlah berarti dibandingkan dengan “kata-kata” melalui media sosial. Oleh karena itu, kehadiran media sosial tidak boleh melupakan kehadiran fisik untuk berjumpa dengan yang lain. Dan yang paling penting, media sosial mesti digunakan dalam rangka menjawab kebutuhan kita sebagai makhluk sosial bukan sebagi perusak hubungan sosial itu.
Sdr. Ekky Sedek Oddo
Penulis, mahasiswa Semester Vi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkar, Jakarta.