“Bencana kelaparan justru tidak disebabkan oleh macetnya mata rantai suplai pangan. Tetapi karena runtuhnya kemampuan dan hak seseorang untuk mengakses sumber pangan secara legal.” (Amartya Sen, Pemenang Nobel Ekonomi asal India)
Amartya Sen, melalui ungkapannya di atas, dengan tepat dan benar merangkum persoalan dunia nyata saat ini. Persoalan nyata yang dialami oleh manusia sekarang, termasuk urusan perut lapar, adalah hilangnya hak dan akses. Hak dan akses akan kehidupan yang merupakan tuntutan dasar setiap individu, perlahan lenyap seiring dengan semakin menguatnya dominasi dan monopoli kelompok atau pihak tertentu. Bahkan dalam negara kesatuan Indonesia yang hak dan akses individu untuk kemakmuran dijamin oleh UUD 1945 terutama pasal 33.
Hal ini nyata ketika koran CNN Indonesia (Selasa, 18/10/2016) memberitakan bahwa BI (Bank Indonesia) dalam siaran persnya (Senin17/03/2016) mengungkapkan posisi utang Luar Negeri Indonesia per Agustus 2016 mencapai US$ 323 miliar atau setara dengan Rp. 4.215,6 triliun (kurs Rp. 13.051/ US$). Swasta menjadi pengutang terbesar di mancanegara, dengan nilai sebesar US$163,3 miliar atau sekitar Rp2.131 triliun. Utang swasta tersebut menyumbang 50,6 persen terhadap total ULN. Sementara 49,4 persen sisanya merupakan utang publik yang ditarik oleh pemerintah, dengan nilai mencapai US$159,7 miliar atau sekitar Rp 2.084 triliun.
Utang Luar Negeri (ULN) swasta pada akhir Agustus 2016 terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, serta listrik, gas dan air bersih. Pangsa ULN keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 75,5 persen.
Utang yang harus ditanggung oleh negara ini tidak terlepas dari sejarah panjang Indonesia yang berada di era presiden Soeharto. Éric Toussaint dkk dalam laporannya mengungkapkan bahwa tidak tanggung–tanggung selama masa kepresidenannya (1965– 1998), Soeharto mewarisi kepada negara utang sebesar $ 91 milar (Eric Toussaint: World Debt Figures, 2012).
Besarnya utang Indonesia warisan Suharto tidak terlepas dari keberadaan negara yang telah disandera oleh kepentingan Bretton Woods Institutions (IMF, World Bank, GATT/ WTO tahun 1944) yang adalah KOLONIALISME berwajah baru. IMF dan World Bank telah memberikan pinjaman uang kepada negara-negara di Asia dan Afrika dengan dalih membantu pembangunan dan menciptakan ide pembangunan atau development tapi sebenarnya memberikan debt trap/jerat utang.
Bahkan pada 1997 (sesuai mandat yang dikeluarkan oleh KTT negara–negara G7 di Lyon 1996) melalui IMF dan World Bank, negara-negara G7 menawarkan program bagi negara–negara miskin yang dikenal dengan nama The Heavily Indebted Poor Countries (HIPC). HIPC ternyata hanyalah akal bulus dan penuh tipu muslihat dari ekonomi Neoliberal yang kian memperburuk kondisi hidup dan melanggar hak–hak warga negara penerima pinjaman, melemahkan ekonomi negara–negara bersangkutan karena memaksa mereka ikut dalam kompetisi pasar bebas (Eric Toussaint: World Debt Figures, 2012).
Memburu Pemburu Rente
Utang luar negeri yang merupakan bagian dari strategi pembangunan Indonesia, ternyata menciptakan beban finansial yang berat. Beban finansial yang merupakan konsukensi dari berbagai utang luar negeri telah mengorbankan kedaulatan ekonomi sebagai bagian dari persyaratan pemberian utang. Karena setiap pemberian utang selalu disertai dengan syarat kebijakan ekonomi yang harus dijalani oleh Indonesia. Ini adalah praktek lunak dan licik yang dimainkan oleh IMF dan World Bank sebagai lembaga keuangan dunia yang sejak tahun 1944-1980-an memberi pinjaman uang kepada negara-negara Asia dan Afrika yang baru selesai diperbudak selama 500 tahun.
IMF sebagai lembaga keuangan misalnya, mengajukan 130 syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia ketika meminjam uang. Syarat– syarat itu antara lain pencabutan subsidi, privatisasi berbagai pelayanan publik, penyerahan kedaulatan negara dalam hal pengelolaan bumi, air dan kekayaan alam kepada korporasi (Eric Toussaint: World Debt Figures, 2015).
Pada tahap ini, Indonesia secara sempurna masuk dalam sistem ekonomi neoliberal. Selanjutnya, beragam perundangan pun dikeluarkan mulai dari liberalisasi fiskal dan moneter hingga pada dominasi penguasaan aset-aset alam.
Beberapa peraturan perundang–undangan tersebut antara lain UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No 5/67 tentang Kehutanan, UU No 11/67 tentang Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan Generasi I dan II. Pengambilalihan kedaulatan negara oleh korporasi yang dilegitimasi oleh peraturan perundang–undangan menghantar Indonesia memasuki fase: jual murah, jual cepat, dan jual habis kekayaan alam demi kejayaan korporasi.
Ekspansi Neoliberalisme dengan mesin utamanya IMF, World Bank dan GATT/WTO melalui eksekutor lapangannya transnational corporations (TNCs) atau multinational corporations (MNCs) (PETRANS) di Indonesia nyata dilihat pada pemetaan wilayah penguasaan sumber daya dan kekayaan alam.
Hampir setiap jengkal tanah di Indonesia telah dikuasai oleh korporasi dalam bentuk hak penguasaan hutan, hutan tanaman industri, kontrak karya pertambangan, perkebunan besar kelapa sawit, kontrak bagi hasil batu bara, kontrak bagi hasil minyak dan gas, kuasa pertambangan, dll. Bahkan menurut Menurut Joyo Winoto, Mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), 56 persen aset (properti, tanah, dan perkebunan) dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia (mereka ini termasuk dalam kelompok 40 orang Kaya di Indonesia dengan aset $ 71 miliar) (Chalid Muhammad: “Korporasi dan Penguasaan Ruang di Indonesia,” 2011).
Sebaran rampokan para kapitalis meliputi semua yang telah diatur dalam UUD 45 (secara khusus pasal 33 : bumi, air dan semua kekayaan) yang seharusnya diperuntukan sebesar–besarnya untuk kemakmuran rakyat. Persoalan inilah secara tegas dan tepat diungkapkan oleh KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) sebagai persoalan agraria yang serius dan masif. Betapa tidak persoalan agraria telah menjurus pada konflik agraria.
Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam catatan akhir tahun 2014, diungkapkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir, sejak 2004 hingga ujung 2014 telah terjadi 1.520 konflik agraria dengan luasan areal konflik seluas 6.541.951.00 hektar, yang melibatkan 977.103 kepala keluarga. Dengan demikian, rata-rata hampir dua hari sekali terjadi konflik agraria. Dalam satu hari, ada 1.792 hektar tanah rakyat yang dirampas hak penguasaan dan pengelolaannya, dan lebih dari 267 KK terampas tanahnya. Setiap menit satu rumah tangga petani hilang, begitu pun 0,25 ha lahan pertanian hilang menjadi non-pertanian (perkebunan, pertambangan, kehutanan, infrastruktur).
Bukan hanya tanah masyarakat yang dirampok tetapi juga kawasan hutan yang berfungsi sebagai ruang publik dan penyangga kehidupan, budaya dan peradaban juga ikut dirampok dan diobrak abrik. DTE melaporkan bahwa pada masa kepemimpinan Soeharto, kreditor utama Indonesia –Bank Dunia, IMF, negara-negara asing dan lembaga-lembaga keuangan swasta – telah memberikan dukungan dana untuk proyek-proyek dan kebijakan–kebijakan yang merusak hutan (http://www.downtoearth-indonesia. org/old-site/srfi1.pdf). Perhitungan Forest Watch Indonesia (FWI) berdasarkan pencitraan satelit menyebutkan bahwa pada tahun 1950 angka tutupan hutan (primer dan sekunder) sebesar 162,29 juta hektar menutupi 84% area daratan tetapi berubah menjadi 87.552.134,49 hektar pada tahun 2009 atau 31,13% dari luas daratan negara. Bahkan pemerintah Indonesia dan Bank Dunia, melaporkan bahwa antara 1985 dan 1997 Indonesia kehilangan hampir 20 juta hektar tutupan hutannya (http://www.downtoearth-indonesia.org/node/710).
Hilangnya hutan–hutan Indonesia dimulai ketika terbitnya undang–undang Kehutanan tahun 1967 dan pemberian konsesi hutan (HPH) 20 tahun kepada perusahaan-perusahaan penebangan kayu. Seterusnya dalam perjalanan waktu hingga sekarang di mana ada 301 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan 262 unit perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) menguasai 42 juta hektar hutan (Chalid Muhammad: “Korporasi dan Penguasaan Ruang di Indonesia”, 2011).
Selain untuk HPH dan HTI ekspansi kelapa sawit juga gencar terjadi. Bahkan Sawit Wacth menyatakan hingga Juni 2010 pemerintah telah memberikan 8,0 juta hektar tanah yang terdiri dari terdiri dari 3,1 juta hektar milik swasta, 1,2 juta hektar milik PTPN, dan 3,7 juta hektar milik rakyat. Komposisi kepemilikan 65% dikuasai oleh korporasi dan 35% oleh non korporasi atau petani berdasi. Ada 10 perusahaan besar yang menguasai industri perkebunan sawit di Indonesia, yakni Raja Garuda Mas, Wilmar Group, Guthrie group, Sinar Mas, Astra AgroLestari, Cilandra Perkasa Group, Sucofindo Group, Kurnia Group, Lonsum Group dan Bakrie Group. Dan bahkan menurut Sawit Wacth pemberian tanah untuk perkebunan sawit akan mencapai 26,7 juta hektar tahun 2020 kepada 30 group yang mengontrol 600 perusahaan (www.kompasiana.com).
Rentetan Pertambangan: Sebuah Pembelajaran
Deregulasi mekanisme pemberian ijin alih fungsi hutan dan tata cara pembebasan lahan 2011 yang dilakukan oleh pemerintah ternyata tidak memberikan efek nyata perlindungan tanah, hutan dan kekayaan alam yang ada di dalamnya.
Menteri Kehutanan (Menhut) dan Lingkungan Hidup sekaligus Dewan Energi Nasional, Siti Nurbaya Bakar menyebutkan bahwa di 2015 ada 10.648 izin penambangan di Indonesia, dan dari jumlah itu yang memiliki Izin Usaha Pertambangan sebanyak 7.519 perusahaan. Paling miris adalah data yang dilaporkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): “Dari 7.519 perusahaan, yang tidak punya NPWP sebanyak 16 persen” (Liputan 6: Minggu, 22/3/ 2015). Fakta – fakta ini seakan mempertegas beragam persoalan di sekitar pertambangan (mineral & energi).
Publik Indonesia belum lama ini dihebohkan dengan persoalan Freeport, mulai dari kasus “papa minta saham”, sampai pada kegaduhan renegosiasi kontrak karya. Betapa tidak tambang Freeport yang ditandai tangani kontrak karya pada 7 Apri 1967 berdasarkan UU No. 1 1967 (PMA) per tanggal 31 Desember 2015 mereka memiliki cadangan terbukti sebesar 99.5 miliar pon tembaga, 27.1 juta ons emas dan 271.2 juta ons perak (Sumber: Laporan Keuangan FMI untuk NYEC akhir thn. 2015).
Atau berdasarkan laporan Tempo nilai harta geologis tambang di punggung Puncak Jaya senilai $ 105,6 miliar atau sekitar Rp. 1.425,6 triliun. Bahkan berdasarkan data laporan tahunan Freeport McMoRan Inc, Papua memiliki cadangan emas terbesar didunia saat ini (lih. gambar di bawah ini)
Polemik Pemerintah Indonesia dan Freeport berkaitan dengan kontrak karya, ternyata mengabaikan fakta kehancuran dan kerusakan ruang hidup rakyat Papua. Yang ada dalam benak pemerintah baik di daerah (Papua minta saham) sampai tingkat pusat hanya sebatas perubahan divestasi saham 51 persen, penetapan nilai pajak dan royalti baru, tak sebutir kalimat pun memperbincangkan tentang keselamatan rakyat dan alam Papua.
Berdasarkan siaran pers yang dikeluarkan oleh JATAM terungkap bahwa Freeport Indonesia amat rakus lahan, dua konsesi Tambang Blok A di Kabupaten Paniai dan Blok B pada tahun 2012 di Kabupaten Mimika luasannya mencapai 212.950 hektar, hampir seluas Kabupaten Bogor. Perusahaan ini meracuni dan menjadikan sungai sebagai tempat sampah,
membuang limbah beracun (merkuri dan sianida). Lima sungai tersebut yaitu sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimoe telah menjadi tempat pengendapan tailing tambang mereka. Sungai Ajkwa di Mimika bahkan telah menjadi tempat pembuangan limbah tailing selama 28 tahun, sejak 1988 hingga 2016. Hingga tahun 2016, areal kerusakan dan pendangkalan karena tailing sudah sampai ke laut (Siaran Pers JATAM, Jakarta, 24/2/2017).
Bukan Cuma meracuni dan menjadikan sungai sebagai tempat pengendapan dan pembuangan limbah tailing, menurut Pemerintah Provinsi Papua, Freeport tidak pernah membayar pajak sebesar Rp. 32,4 Triliun untuk pajak pemanfaatan air sungai dan air permukaan sejak 1991 hingga 2013, demikian lanjut JATAM dalam siaran persnya.
Kejahatan Freeport (Freeport- McMoran Copper and Gold Inc yang berkedudukan di AS) bukan hanya terjadi di Papua tetapi juga bersama Rio Tinto dari Inggris yang memiliki 90% dari tambang emas Kelian, yang mulai berproduksi pada tahun 1992, juga menghancurkan Kalimantan Timur. Tambang Kelian, seperti halnya Freeport dan tambang emas Indo Muro Kencana milik Australia di Kalimantan Tengah, diduga keras terkait dengan pelanggaran HAM berat. Selain itu, Freeport bekerja sama dengan INCO, penambang nikel dari Kanada, yang memperoleh konsesi sebesar 6,6 juta ha daerah berhutan di Sulawesi Tenggara telah menyebabkan kerusakan yang akut pada hutan karena limbah tambang. Akibatnya penduduk setempat kehilangan sumber mata pencaharian.
Fakta–fakta di atas, sebenarnya mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi dalam persoalan seluruh pertambangan di negera ini. Tim riset JPIC OFM yang pada 2013 melakukan riset pertambangan di Manggarai Raya menemukan fakta ini: alih-alih kesejahteraan, negara malah mengeruk dan menindas hak-hak dasar masyarakat di wilayah-wilayah lingkar tambang (remote area). Sejak kehadiran pertambangan yang beroperasi berdasarkan perijinan yang diterbitkan oleh Bupati, masyarakat sederhana di daerah-daerah lingkar tambang banyak mengalami penderitaan kronis akibat pengambil-alihan lahan secara sepihak, konflik yang berkepanjangan, kekerasan dan disharmoni kehidupan bersama (Mathew Benns, 2011).
Masyarakat lingkar tambang tidak banyak memiliki pengetahuan tentang seluk-beluk dan mekanisme kerja perusahaan tambang, sehingga mereka banyak dimanipulasi dan dibohongi serta dirugikan secara sosial, ekonomi dan kebijakan. Dalam berbagai kasus pertambangan, keputusan publik Pemda atas masuknya investasi pertambangan di wilayah Manggarai Raya telah menunjukkan kecenderungan keberpihakan Pemerintah terhadap perusahaan, mengabaikan kepentingan masyarakatnya; Menekan warga untuk memuluskan operasi pertambangan di atas lahan-lahan pertanian milik warga; Pemerintah nyaris tak melindungi hak-hak dan kepentingan ekonomi masyarakat lingkar tambang.
Inilah adalah potret pelanggaran HAM berat yang dipertontonkan korporasi dan pemerintah daerah. Hal ini juga dengan tegas diungkapkan oleh Yati Andriyani, koordinator KONTRAS (Kompas, 15/3/2017). Menurutnya negara cenderung pasif jika masyarakat menjadi korban, sebaliknya kalau dengan korporasi negara sangat terbuka. Keterbukaan negara terhadap korporasi terjadi karena kekuatan modal ekonomi yang dimiliki oleh korporasi untuk menyuap dan membeli kewenangan. Bahkan negara turut dalam kasus pelanggaran HAM ketika memberikan ijin eksploitasi sumber daya alam kepada korporasi pertambangan. Pemberian ijin ini mengakibatkan masyarakat lokal kehilangan lahan garapan, sumber penghasilan, hingga kerusakan lingkungan yang permanen, tandas koordinator KONTRAS ini.
Akhirnya benarlah apa yang dikatakan dalam daftar dosa para petinggi pemerintah bersama korporasi adalah mulai dari penyerobotan tanah, intimidasi terhadap rakyat yang menolak melepaskan tanahnya, tindakan-tindakan aparat birokrasi dan pengadilan yang hanya berpihak kepada penguasa, sampai dengan ketidakpekaan sebagian kaum terpelajar, yang sibuk berdiskusi ria tanpa menyadari kontribusi mereka terhadap peminggiran orang kecil dan pemanasan global.
Moratorium ijin pertambangan tidak menyelesaikan soal tetapi hanya menunda waktu dan memindah persoalan pertambangan, apalagi bagi daerah yang sedang menyelenggara PILKADA. Karena PILKADA adalah ajang menebar pesona dan janji termasuk (terutama) penerbitan ijin usaha Pertambangan.)***
Sdr. Alsis Goa, OFM – Penulis adalah Koordinator Bidang Advokasi JPIC-OFM Indonesia