Lahirnya ensiklik Rerum Novarum (RN) tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-ekonomi dan politik pada abad 18-19 di Eropa. Perubahan sosial-ekonomi dan politik tersebut turut membawa dampak bagi kehidupan masyarakat, seperti timbulnya kelas-kelas sosial, urbanisasi, jurang kaya-miskin, perang ideologi kapitalisme vs sosialisme. Dampak paling nyata dari perubahan ini tercermin dalam  kehidupan kaum buruh yang hidupnya jauh dari standar kelayakan. Kaum buruh menjadi korban keganasan kapitalisme; dipekerjakan layaknya mesin produksi, tanpa istirahat yang cukup, gaji yang rendah, dan tanpa jaminan-jaminan lain yang dapat menyokong kesejahteraan hidup. Situasi ini mendorong Paus Leo XIII menerbitkan ensiklik RN yang berisi tentang keprihatinan serta keberpihakan Gereja kepada korban ketidakadilan akibat perubahan-perubahan sosial-ekonomi dan politik.

RN berbicara tentang beberapa tema pokok antara lain: hak milik, Gereja dan orang miskin, hak-hak kaum buruh, upah yang adil, dan serikat buruh. Tema-tema ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia hingga saat ini, terutama kehidupan kaum buruh, terutama di Indonesia. Sebagaimana diungkapkan oleh Serikat Pekerja Nasional, kesepakatan soal upah minimum tidak pernah terjadi antara pihak pemodal dengan kaum buruh. Selain upah minimum, para pemodal pun masih enggan untuk memenuhi kewajiban mereka dalam menjamin kesejahteraan kaum buruh di luar upah minimum. Padahal kewajiban untuk menjamin kesejahteraan kaum buruh dijamin oleh UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia sebagaimana tampak dalam UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebenarnya juga sudah diantisipasi oleh RN tentang upah yang adil. RN no. 44 menegaskan hal ini:

“…ada yang membela pendapat, bahwa – agaknya majikan sudah memenuhi kontraknya dengan membayar upah yang disetujui; lalu ia sudah tidak mempunyai kewajiban lain lagi; ….. ada satu pokok pertimbangan yang penting sekali, yang diabaikan belaka. Pokok itu ialah: bekerja berarti menjalankan usaha untuk memperoleh hal-hal yang diperlukan guna memenuhi pelbagai kebutuhan hidup.”

Dari kutipan RN no. 44 ini terlihat bagaimana sikap Gereja tentang upah yang adil. Upah yang adil tidak dilihat sekadar dari ketaatan pemodal (majikan) memberi upah sesuai dengan kontrak yang disepakati melainkan ketika upah yang diperoleh pekerja dapat memenuhi pelbagai kebutuhan hidup. Jika dalam konteks Indonesia upah yang adil hanya sekadar didasarkan pada standar Upah Minimum Regional (UMR), maka agaknya UMR belum menjadi jaminan untuk memenuhi kebutuhan hidup kaum buruh.

Tuntutan Gereja mengenai keadilan dalam pelaksanaan hubungan kerja antara buruh dan pemodal tidak lepas dari pandangan Gereja sendiri tentang manusia. Gereja  mengakui harta milik pribadi sebagai hak yang secara kodrati melekat pada diri manusia. Manusia dilihat bukan pertama-tama sebagai mesin melainkan sebagai makhluk berakal budi (RN 5). Akal budi membedakan manusia dengan binatang. Oleh karena akal budinya, manusia bisa menghubungakn masa sekarang dengan masa depan (RN 6), hal ini tentu tidak dapat dilakukan oleh binatang. Oleh karena kemampuan akal budinya manusia menyadari bahwa hanya bumilah yang mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup manusia di masa yang akan datang (RN 7), sehingga bisa dikatakan setiap manusia memiliki hak yang sama atas hasil bumi demi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Jadi secara kodrati setiap manusia berhak atas milik pribadi. Akan menjadi sesuatu yang salah apabila kemudian hasil bumi yang seharusnya menjadi hak milik setiap orang diprivatisasi oleh orang-orang tertentu. Lebih parah lagi apabila oknum tertentu memperbudak sesama manusia dalam mengeksploitasi hasil bumi yang seharusnya digunakan demi kepentingan bersama.

RN sendiri tidak secara buta mengkritik kapitalisme. Memang hal ini tidak secara eksplisit diungkapkan dalam ensiklik ini, namun bila melihat ensiklik RN yang menghargai kepemilikan harta milik, atau juga dari campur tangan pemerintah yang ada batasnya, maka bisa dipastikan bahwa pada dasarnya ensiklik ini menghargai kapitalisme. Hanya saja yang “dikutuk” Gereja adalah kapitalisme yang mengeksploitasi kaum buruh dan mengabaikan keadilan dan kesejahteraan umum. Hal lain juga bisa dilihat dari penghargaan ensiklik ini bagi hak para pemodal. Selain menyuarakan agar para pemodal memperlakukan kaum buruh secara manusiawi dan adil, RN pun menuntut para buruh untuk memenuhi kewajiban mereka serta menghargai hak-hak para pemilik modal, sehingga terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban dari kedua pihak.

Ensiklik ini secara keras mengkritik sosialisme (RN 3-5). Sosialisme dituduh menghasut rakyat untuk bersikap iri terhadap mereka yang kaya. Kaum sosialis beranggapan bahwa jalan untuk menghapus kesenjangan ialah penghapusan hak milik pribadi, dan menjadikan milik pribadi sebagai milik bersama. Pengelolaan milik bersama ini kemudian diserahkan kepada negara. Hal ini berseberangan dengan pandangan Gereja yang melihat hak milik sebagai sesuatu yang kodrati pada diri manusia karena terkait erat dengan kerja manusia itu sendiri. Selain itu, dengan menjadikan hak milik pribadi sebagai hak milik bersama, sosialisme sebenarnya memperbudak kaum buruh. Alih-alih mengeluarkan kaum buruh dari penindasan kapitalisme, sebaliknya justru merebut dari kaum buruh kebebasan untuk menggunakan upahnya serta merampas segala harapan dan peluang untuk menambah harta kepunyaan (RN 4).

Ketika terjadi ketidakseimbangan dalam hubungan antara pemodal dan kaum buruh, maka dalam hal ini kehadiran negara sangat dibutuhkan. Campur tangan negara pun bukanlah campur tangan yang sewenang-wenang. RN memberi batas-batas tertentu bagi campur tangan negara. Dalam hal ini negara harus hadir sebagai pihak yang menjamin pelaksanaan hak berserikat dan menjalankan keyakinan agama bagi para buruh, mengupayakan agar setiap orang mempunyai hak milik pribadi, menjamin dan memperhatikan kesejahteraan buruh-buruh miskin, menjamin hak-hak keluarga, serta mewujudkan kesejahteraan umum.

Akhirnya perlu ditegaskan sekali lagi bahwa seruan profetis yang disampaikan Gereja melalui RN pada abad 19 lalu masih bisa digemakan lagi saat ini. Melihat maraknya penindasan terhadap masyarakat kecil, khusus kaum buruh, maka tidak salah jika nilai-nilai positif dalam RN diangkat lagi, misalnya saja soal upah yang adil, penghormatan terhadap milik pribadi buruh serta kebebasan untuk menggunakan hak milik seturut kemauan mereka, soal kesejahteraan umum, dan juga soal peran negara dalam menjamin kesejahteraan umum dan khususnya soal tuntutan bagi negara untuk menjamin kehidupan kaum buruh. Pandangan sosialisme tentang penghapusan hak milik pribadi dan menjadikan milik pribadi sebagai milik bersama sudah jelas harus ditolak.

Ambrosius Setiadvento Haward, ofm

Mahasiswa Semester VIII di STF Driyarkara, Jakarta

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

nineteen + five =