Masyarakat Kampung Serise, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, menolak perusahaan tambang yang ingin kembali menambang di hak ulayat mereka. Tanah untuk kehidupan kami dan anak-cucu kami di kemudian hari, bukan untuk ditambang.
Beberapa waktu lalu utusan PT. Istindo Mitra Perdana dan PT. Global menyambangi rumah Siprianus Amon, Tua Teno (Tua Adat) Kampung Serise di Desa Satarpunda kec. Lambaleda. Mereka ingin meminta izin kepada Tua Teno untuk melakukan kegiatan survey dan pemboran di hak ulayat milik tua teno.
“Saya bilang kepada mereka, saya tidak izinkan tambang di ulayat saya. Apa pun cara dan gerak perusahaan, saya tidak izin, termasuk pa mereka juga”, jelas Sipri Amon saat ditemui di rumahnya di Kampung Serise.
Sipri Amon menuturkan bahwa sampai saat ini ia masih merasa sakit akibat perlakukan terhadap dirinya. Sebagai tuan tanah ia tidak diterima bahwa dirinya dipenjara hanya karena mempertahankan hak ulayatnya dari aktivitas tambang yang dikerjakan oleh PT. Arumbai Manga Bekti.
“Saya mempertahankan hak saya, tetapi perusahaan dibebaskan, tuan tanah dipenjarakan. Itu karena apa? Karena pa mereka orang kaya, kami orang miskin”, begitu kata Sipri Amon kepada utusan perusahaan.
Karena itulah kepada utusan perusahaan tambang tersebut, Sipri Amon mengingatkan agara perusahaan tidak lagi mengambil hak ulayatnya untuk ditambang.
“Jangan coba-coba melakukan kegiatan di dalam hak ulayat saya. Dan saya minta jangan lagi terjadi masalah serupa. Jika bapa-bapa mereka tetap proses pasti akan ada masalah besar,” jelas Sipri Amon saat itu.
Elisabet, Istri Sipri Amon menegaskan dukungannya kepada suaminya untuk tidak memberikan dan mengizinkan perusahaan menambang di hak ulayat mereka.
“Saya bersyukur suami saya tolak keras kehadiran utusan tambang dan tidak mengizinkan mereka untuk kerja lagi di ulayat kami. Saya dukung sikap suami saya”, tegasnya.
Ibu Elisabeth yang pernah merasakan getirnya hidup karena suaminya dipenjara karena mempertahankan hak ulayat merasakan betapa susahnya bertani selama perusahaan PT. Arumbai Manga Bekti aktif menambang. Tetapi setelah perusahaan itu tidak aktif bekerja, dia bisa kembali bertani dengan baik.
“Tapi kehadiran perusahaan tambang membuat kami bangkrut, tanaman tidak tumbuh bagus dan rusak, sorgum dan jagung tidak ada hasilnya. Tetapi setelah perusahaan pergi kami sudah mulai mendapat hasil dari padi ladang, jagung dan sorgum”, jelas Ibu Elisabeth.
Karena itulah dirinya tegas menolak kehadiran perusahaan tambang di kampung Serise.
“Saya dukung suami saya. Saya juga tolak itu perusahaan untuk ambil hak kami. Saya hidup bukan karena perusahaan, saya pergi ke laut untuk cari ikan. Saya bisa memelihara anak bukan karena ada perusahaan tambang, kami tetap hidup,” katanya tegas.
Wilibrodus warga Kampung Serise lainnya juga menyatakan penolakannya terhadap perusahaan tambang yang masuk ke dalam wilayahnya.
“Saya tolak keras. Saya tidak mau lagi perusahaan tambang datang ke Kampung Serise. Kami sudah merasakan susahnya hidup ketika perusahaan tambang ada di kampung kami”, tegasnya.
Dia juga meminta kepada Tua Teno untuk menyimpan bingkisan dari perusahaan sebagai bukti bahwa orang Serise menolak kehadiran perusahaan tambang, apapun namanya.
Polus, warga lainnya juga menyatakan penolakannya.
“Saya tidak terima, saya tolak karena tanah ini untuk anak cucu. Kalau saya mau beri tanah saya sudah dari dulu. Tapi saya tidak mau, saya ingat saya punya anak-anak”, katanya dengan tegas.
Menurut yang didengar oleh Sipri Amon, ada indikasi bahwa pada bulan Juni atau Juli perusahaan tambang akan buka kembali jalan dari lokasi tambang Rengge Komba ke Kampung Serise.
Menghormati dan Menghargai Hak Masyarakat
Menanggapi sikap penolakan masyarakat tersebut, Valentinus Dulmin dari Biro Bantuan Hukum JPIC OFM Indonesia menegaskan bahwa perusahaan tambang dan pemerintah harus menghormati dan menghargai sikap masyarakat yang menolak kehadiran Tambang.
“Pemerintah, baik Kabupaten Manggarai Timur maupun Provinsi Nusa Tenggara Timur harus menghargai dan menghormati keinginan masyarakat. Undang-Undang memberikan ruang bagi masyarakat untuk mempertahankan hak ulayatnya. Karena itu baik pemerintah maupun perusahaan jangan memaksakan kehendaknya”, tegasnya.
Direktur JPIC OFM Indonesia, Peter C. Aman, OFM menegaskan bahwa masyarakat Kampung Serise sudah mengalami sejarah panjang dengan perusahaan tambang yang bukannya membawa kesejahteraan kepada masyarakat tetapi justru menciptakan kemiskinan baru.
“ Sudah seharusnya masyarakat series menolak kehadiran perusahaan tambang untuk beraktifitas lagi di wilayah mereka. Alasannya adalah pengalaman penderitaan dan pencabutan hak-hak mereka sebagai pemilik lahan dan pemangku hak ulayat di wilayah itu, ” tegasnya. ***
(GSS)