Santo Yohanes Paulus II pernah berkata: “Masyarakat modern tidak akan menemukan solusi atas persoalan ekologi jika tidak serius memperhatikan gaya hidupnya. Di beberapa bagian dunia, masyarakat terbiasa dengan kepuasan instan dan konsumerisme, sementara bagian dunia yang lain tidak peduli dengan kerusakan yang mereka buat.
…. Kesederhanaan, sikap tidak berlebihan dan disiplin, juga semangat pengorbanan harus menjadi bagian kehidupan sehari-hari, jika tidak semua menderita akhibat-akhibat negatif kebiasaan-kebiasaan sembrono dari sebagian kecil manusia”, (Peace with God the Creator, Peace with All of Creation – dlm. Origins 19, 1 Januari 1990, hlm 467).
Umpatan Yohanes Paulus II ini dimaksudkan untuk menyingkap teka-teki yang sedang dihadapi umat manusia saat ini terkait lingkungan hidup dan keadilan ekonomi. Ekosistem bumi sangat beranekaragam dan alot, dengan kapasitas untuk menciptakan dan memelihara kehidupan dalam berbagai bentuk yang tidak terhitung. Namun, planet ini sendiri terbatas dan keseimbangan sumber-sumbernya rapuh.
Manusia telah begitu berhasil dalam mereproduksi sesuatu yang pada akhirnya membuat kita secara radikal mulai mengubah atau menghancurkan ekosistem yang padanya seluruh kehidupan bergantung. Jumlah manusia yang sangat besar meninggalkan kesan yang mendalam pada planet bumi. Hubungan manusia dengan bumi memunculkan pertanyaan-pertanyaan etis yang kompleks dan juga amat konseptual.
Kekristenan telah dituduh sebagai penyebab krisis ekologi melalui konsepsinya tentang penguasaan manusia atas bumi dan semua ciptaan, (Lynn White, “The Historical Roots of the Ecological Crisis”). Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:28).
Terhadap tuduhan tersebut, kita diingatkan untuk senantiasa menampilkan aspek dialektis dalam berelasi dengan alam sekaligus mengoreksi pandangan White bahwasanya manusia dianggap lebih sebagai model pengurus, penjaga, pemelihara (stewardship) dari pada dominator; manusia diamanatkan untuk memelihara alam ciptaan.
Karenanya, pertama, Kej 1:28 terbuka bagi pelbagai nuansa interpretasi, namun konteks cerita penciptaan sendiri secara jelas mencegah suatu interpretasi yang mengizinkan manusia untuk bertindak sewenang-wenang terhadap alam dan makhluk-makhluk lain.
Kedua, bukannya mendorong eksploitasi alam, (cerita penciptaan Kej 3 dan pasal lain Alkitab Ibrani (Kej 6-9, Mzm 104:35) sebaliknya menyadarkan manusia bahwa hidup tanpa menghiraukan kehendak dan hikmat Allah membawa akhibat buruk bukan hanya untuk manusia tetapi juga bagi bumi.
Dan ketiga, malapetaka lingkungan hidup disebabkan oleh manusia berilmu dan berteknologi yang menempatkan diri manusia sebagai pusat dunia dan sebagai tujuan segalanya.
Dalam refleksi tentang kependudukan dunia, sebagai warga bumi, penghuni jagat ini, kita tidak dapat menutup mata di hadapan kenyataan bahwa perjuangan hidup dari penduduk yang jumlahnya bertambah pesat di negara-negara berkembang sering berakhibat pada kerusakan lingkungan: pohon-pohon ditebang menjadi kayu bakar; penggundulan hutan yang mengakhibatkan erosi tanah.
Banyak kebijakan publik dilahirkan demi perluasan bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, keamanan ekonomi, dan akses pada alat-alat kontrasepsi, tetapi mengabaikan keprihatinan etis bahwa setiap orang memiliki pilihan-pilihan yang secara moral tidak dapat dipaksakan dengan alasan yang sah.
Bahkan agama dan kebudayaan pun berinteraksi dengan kebijakan mengenai jumlah penduduk dengan cara-cara yang kompleks. Hampir seluruh ajaran agama dikembangkan pada suatu waktu dan dalam suatu konteks di mana prokreasi merupakan hal mendasar untuk bertahan hidup. Norma-norma budaya pada masa lampau pun secara logis mendukung kelahiran baru. Akan tetapi situasi kita sekarang ini sama sekali berbeda. Menstabilkan pertumbuhan populasi nampaknya sangat diperlukan untuk masa depan kesejahteraan umat manusia.
Pembatasan jumlah penduduk bukanlah suatu misteri; itu merupakan tugas keagamaan, kebudayaan, ekonomi, dan politik. Pada intinya, tindakan itu mensyaratkan pengentasan kemiskinan dan peningkatan standar hidup. Penurunan populasi merupakan konsekwensi yang harus diterima dari berbagai upaya untuk memperbaiki kehidupan masyarakat secara langsung (khususnya perempuan) melalui terbukanya akses yang luas terhadap pelayanan kesehatan dan perbaikan mutu pendidikan.
Apa jadinya jika orang-orang Kristen yang kaya secara serius memenuhi panggilan untuk hidup dalam kesederhanaan, tidak boros dan penuh semangat pengorbanan? Itu sungguh-sungguh akan menjadi kabar baik bagi orang-orang miskin di jalanan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah dalam pertarungan dan sering diledek mimpi-mimpi mereka karena berhasrat akan hidup bahagia dan sejahtera.
“Tuhan memandang dari surga, Ia melihat semua anak manusia; dari tempat kediaman-Nya Ia menilik semua penduduk bumi”, (Mzm 33:13-14).
Sdr. Andre Bisa, OFM