Jika proses-proses peminggiran dan penafian terhadap para penganut agama leluhur Nusantara dibiarkan terus-menerus, maka hal itu mengarah pada “genosida budaya”.
Kurang tegasnya sikap pemerintah dalam menghadapi masalah eksistensi dan identitas dari para penganut agama leluhur nusantara kiranya menjadi salah satu ancaman besar bagi integritas bangsa.
Sejumlah peraturan dan perlakuan diskriminatif yang dialami oleh para penganut agama leluhur nusantara di sejumlah daerah mengindikasikan adanya upaya-upaya sistemik untuk melenyapkan eksistensi mereka sebagai penganut agama yang minoritas di Indonesia.
Jika proses-proses peminggiran dan penafian terhadap para penganut agama leluhur Nusantara dibiarkan terus-menerus, maka hal itu mengarah pada “genosida budaya”.
Pandangan inilah yang kiranya mengemuka secara jelas dalam acara bedah buku dan seminar nasional dengan tema “Genosida Budaya: Ancaman Bagi Kebhinekaan dan Integritas Agama Leluhur Nusantara” yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Penelitian Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, Yayasan TIFA, Komnas Perempuan, dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) pada Jumat, 15 September 2017 di Ruang Seminar PDII-LIPI lt. 2, Jakarta.
Acara yang dihadiri oleh Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) Bpk. Sidarto Danusubroto sebagai pembicara utama, Bpk. Agustinus Niga Dapawole (Bupati Sumba Barat), dan sejumlah tokoh perwakilan dari agama-agama leluhur nusantara ini terbagi ke dalam beberapa sesi.
Sesi pertama diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, lalu sambutan dari perwakilan LIPI serta diikuti dengan doa pembukaan dari masing-masing tokoh perwakilan agama leluhur nusantara, kemudian ditutup dengan sambutan dari Anggota Wantimpres, Bpk. Danusobroto dan pertukaran cinderamata.
Warisan Orba dan Sikap Pemerintah Lokal
Sesi berikutnya ialah bedah buku yang ditulis oleh Dr. Samsul Maarif dari CRCS UGM berjudul “Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia” dengan moderator Asfinawati (Ketua YLBHI) serta beberapa orang penanggap, yakni dua ahli dalam bidang antropologi dan hukum, serta Kang Yana (perwakilan dari Agama Leluhur Sunda Wiwitan) dan Bpk. Agustinus Dapawole sebagai salah satu dari sebagian kecil pemerintah daerah yang mendukung dan melindungi eksistensi agama leluhur di daerahnya sekaligus menjadi harapan bagi penganut agama leluhur untuk menerima perlakuan yang sama dengan para penganut agama mayoritas.
Dalam pemaparannya Samsul menegaskan bahwa sikap negara yang tidak berpihak dan terkesan membiarkan para penganut agama leluhur ini didasarkan atas warisan orba yang menciptakan pembedaan rumusan antara mereka yang dikatakan “beragama” dan “belum beragama”.
Sikap yang lebih positif dan merangkul justru lahir dalam diri pemerintah lokal, seperti di Sumba Barat, yang telah melakukan persamaan dalam hal perlakuan bagi para penganut agama leluhur nusantara di sana. “Kakek saya adalah penganut agama leluhur Merapu tetapi tidak ada masalah di antara kami. Kami di Sumba (Barat) tidak mengalami masalah dalam relasi satu sama lain. Saya lebih kenal dengan kondisi di daerah saya. Sehingga, pemerintah pusat tidak perlu ikut repot dengan hal ini”, tegas Bpk. Agustinus Dapawole.
“Hutang Peradaban” dan Ancaman Korporasi
Sesi terakhir acara ini berupa pemaparan kertas kerja dari tim 5 (yang terdiri dari lima orang peneliti) yang disampaikan oleh perwakilan tim 5, yaitu Bpk. Trisno Sutanto dan dimoderatori oleh Ibu Nia Sjarifudin (Koordinator Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika).
“Fungsi utama dari kertas kerja ini adalah sebagai pengingat akan adanya proses-proses yang mengarah pada penghancuran dan pemusnahan akar-akar spiritual dan kultural yang dapat berakibat pada makin hilangnya identitas maupun ruang hidup para penganut agama leluhur nusantara. Dengan mengorek sejarah politik agama pada rezim Orde Baru yang mengkristal dalam rupa kebijakan dan hukum tertentu serta pengumpulan sejumlah realitas diskriminatif yang dialami dan dituturkan sendiri oleh para penganut agama leluhur nusantara, menyadarkan kami para peneliti bahwa bangsa ini, mengutip Alm. K. H. Abdurrahman Wahid, memiliki “hutang peradaban” yang masih harus dibayar kepada para penganut agama leluhur nusantara”, ungkap Trisno.
Dalam tanggapan yang dikemukakan oleh sejumlah dosen dan aktivis lingkungan usai pemaparan ini kiranya mengemuka pula kesadaran akan sumber bahaya lain yang dihadapi oleh para penganut agama leluhur nusantara selain dari segi hukum negara, yakni korporasi yang justru dalam proses penghancuran dan pemusnahan ini “bermain” dengan lebih licin dan gesit daripada ketidakpeduliaan negara dan sikap kolot pemerintah.
Oleh: Sdr. Jerry, OFM