Bandung, JPICOfm.com Hari pertama studi KKP PMP dan JPIC Regio Jawa di HAY Hotel Bandung 21/11 malam diawali pembahasan Nota Pastoral KWI oleh Sekretaris Jenderal KWI, Mgr. Antonius Subianto Bujamin, OSC.
Uskup kelahiran Bandung ini mengantar para peserta untuk memahami korupsi sebagai kejahatan sosial yang harus dilawan. Berikut ini adalah bagian Nota Pastoral tentang Korupsi sebagai Kejahatan Sosial.
Kata korupsi berasal dari kata Bahasa Latin corruptio, corrumpere yang mengandung makna kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, dan lain-lain sifat yang bermakna negatif.
Korupsi bisa juga dimaknai sebagai perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang tertentu dengan merugikan orang lain melalui penyalahgunaan wewenang.
Transparansi Internasional mengartikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Sedangkan, menurut Bank Pembangunan Asia (ADB) korupsi adalah “perilaku pejabat di sektor publik dan swasta, yang secara tidak benar dan melawan hukum memperkaya diri sendiri serta kalangan dekatnya, atau membujuk orang lain untuk melakukan tindakan yang sama, dengan menyalahgunakan jabatan mereka”.
Dalam konteks Indonesia, definisi korupsi merujuk pada Undang-Undang No. 31/1999, yang kemudian diperbaharui oleh Undang-Undang No. 20/2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi diartikan sebagai perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada pada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pengertian korupsi diperluas juga sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas.
Ada 30 jenis tindak pidana korupsi menurut kedua Undang-Undang tersebut, yang dikelompokkan dalam tujuh klasifikasi korupsi, yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalampengadaan barang dan jasa, dan gratifikasi (pemberian hadiah).
Pemberantasannya harus dilakukan secara menyeluruh, yaitu melibatkan mereka yang melakukan, mereka yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan, mereka yang memberikan bantuan pada waktu kejahatan korupsi dilakukan, dan mereka yang dengan sengaja memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Setidaknya ada tiga hal penting terkait praktik korupsi:
Pertama, orang melakukan korupsi karena adanya kebutuhan yang melampaui penghasilan atau karena keinginan yang berlebihan atau karena merasa penghasilan yang diterima tidak adil dibandingkan dengan apa yang menjadi haknya. Dengan gaya hidup yang tidak seimbang, dengan penghasilan, orang tergoda untuk korupsi atau mencuri dengan mengambil uang atau barang secara tidak halal. Untuk menghindari korupsi karena kebutuhan, kita perlu mengupayakan keadilan sosial dan penyadaran akan hidup sederhana sesuai dengan kemampuan.
Kedua, bisa juga orang melakukan korupsi karena sistem membuka peluang pada seseorang untuk korupsi. Sistem yang lemah memberi kesempatan untuk korupsi. Sistem pemberian hadiah pada mereka yang berprestasi dan hukuman pada mereka yang melanggar belum diterapkan secara optimal.
Pembiaran praktik korupsi dan pembenaran perilaku koruptif tampak dalam penegakan hukum yang lemah. Orang tidak percaya pada sistem yang tidak dapat diandalkan. Dalam keadaan seperti itu orang atau kelompok tertentu tergoda untuk korupsi. Sistem ketatanegaraan demokrasi yang menganut paham Trias Politika, yang membagi kekuasaan pada tiga pihak, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dibuat untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh satu pihak.
Kenyataannya, korupsi terjadi di banyak sektor yang merupakan perselingkuhan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Oknum pemegang kekuasaan tertentu bersekongkol dengan pemegang kekuasaan lainnya demi keuntungannya. Untuk mencegah korupsi karena sistem yang rapuh, kita perlu memperbaiki sistem dan melakukan penegakan hukum tanpa tebang pilih.
Ketiga, orang melakukan korupsi karena dikuasai oleh keserakahan. Sifat tamak (rakus) membuat seseorang selalu tidak pernah puas dengan yang sudah dimiliki. Di samping itu, iman yang lemah dan sikap moral yang kurang kuat membuat orang mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
Orang melakukan korupsi karena merasa selalu tidak puas, tidak cukup, selalu ingin lebih. Untuk mengatasi korupsi akibat keserakahan, kita perlu mengupayakan pembentukan moralitas dan integritas pemimpin, pemegang kekuasaan, tokoh masyarakat dan agama, serta warga masyarakat pada umumnya.
Dalam hal ini pendidikan, baik di keluarga, sekolah, maupun institusi agama, mutlak untuk pembentukan iman yang kuat, moral yang luhur, dan mental yang tangguh.
Sdr. Charlest, OFM diambil dari Nota Pastoral KWI 2017 – Mencegah dan Memberantas Korupsi