Pembangunan yang tidak terkordinasi dan terintegrasi sebagai satu kesatuan kawasan, membuat pembangunan kawasan ini dicengke ram oleh kepentingan egosektoral.
Ada tiga nilai yang menjadi rangkuman prinsip pe nyelenggaraan keparawisa taan sebagaimana dimuat dalam Pasal (5) UU Keparawisataan.
Pertama, nilai keadilan. Penyelenggaran keparawisataan harus berasaskan keadilan, yang tercermin dalam peraturan-peraturan yang mengakomodir kepentingan pelaku keparawisataan dan kelestarian sumber daya alam.
Kedua, nilai perdamaian. Adanya peraturan yang mengakomodir kepentingan para pihak tersebut menunjang terciptanya hidup yang damai di tengah-tengah masyarakat. Damai bersama alam dan damai antarpelaku kepariwisataan.
Ketiga, nilai keutuhan ciptaan. Keutuhan ciptaan nampak dalam keharmonisan atau keselarasan hidup antar semua makhluk, baik antarmanusia maupun manusia dengan lingkungannya, yang melahirkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama (bonum communae).
Dengan memperhatikan ketiga nilai ini, tujuan kepariwisataan sebagaimana dimuat dalam Pasal (4) UU Keparawisataan, yakni meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkokoh jati diri dan kesatuan bangsa serta mempererat persahabatan antarbangsa, akan tercapai pula. Dengan kerangka nilai inilah, penelitian ini menimbang geliat pengembangan pariwisata Danau Toba yang mejadi perhatian nasional saat ini.
Geliat Investasi di Kawasan Danau Toba Kini
Danau Toba memiliki kekayaan yang tak ternilai. Keindahan panorama membentang dari setiap sudut mata memandang. Danau seluas 1.145 kilometer persegi ini sarat dengan keanekaragaman budaya, kekayaan flora dan fauna, memiliki nilai sejarah dan seni serta kearifan lokal dan religiositas masyarakatnya.
Tujuh puluh satu tahun sejak Indonesia merdeka, kawasan Danau Toba bagaikan emas permata yang terpendam, bahkan dilumuri limbah, dan tercabikcabik. Pembangunan yang tidak terkordinasi dan terinte grasi sebagai satu kesatuan kawasan, membuat pembangunan kawasan ini dicengkeram oleh kepentingan egosektoral.
Kawasan ini menjadi objek yang memberikan keuntungan sektoral semata. Pola pembangunan yang dicekik egosektoral ini maka berdampak pada eksploitasi kawasan Danau Toba. Kenyataan ini dapat kita saksikan dengan mengkritisi berope rasinya beberapa perusahaan yang hingga saat ini turut menyumbang kemerosotan kualitas kawasan Danau Toba.
Adalah PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang beroperasi sejak 12 Sep tember 1988 di Desa Sosor Ladang, Pangombusan, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Perusahan ini mendapat izin pemerintah untuk mengkonversi kawasan hutan menjadi Hutan Tanaman Industri seluas 269.060 ha. Ham pir 70 % dari luas lahan itu berada di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba. Kehadiran PT TPL telah menyulut konflik horizontal di masyarakat hingga saat ini.
Daya ‘rusaknya’ terlihat dengan hilangnya keanekaragaman hayati hutan. Kehadirannya juga menjadi petaka untuk masyarakat. Masyarakat lokal kehilangan akses terhadap hasil hutan berupa ke menyan dan sumber-sumber mata air yang menunjang kehidupan dan pertanian. Tanah-tanah masyarakat adat terampas. Mereka tersingkir dari akses mata pencahariannya.
PT Aquafarm Nusantara dan PT JAPFA juga mencoba peruntungan di kawasan ini lewat budidaya ikan dengan menggunakan jaring apung. Perusahaan dengan sokongan modal asing ini beroperasi di Danau Toba sejak 1998. Berdasarkan penelitian Ir. Pohan Panjaitan, MS, PhD, PT Aquafarm menggunakan 200 ton pakan setiap hari untuk kegiatan KJA di perairan Danau Toba sehingga total limbah nitrogen yang dihasilkan di perairan Danau Toba setiap hari sebanyak 6,89 ton untuk pakan jenis 1 dan sebanyak 6,92 ton jika semua pakan terkonsumsi ikan dengan asumsi 5 % pakan tidak terkonsumsi.
Limbah nitrogen dan fosfor dari PT Aquafarm Nusantara berpotensi sangat besar dalam menurunkan kualitas air danau. Danau Toba mempunyai resident time air 77 tahun (Lehmusluoto dan Machbub, 1995) sehingga 6.89 ton limbah nitrogen dan 2.39 ton limbah fosfor masuk ke perairan Danau Toba dari PT Aquafarm Nusantara akan ke luar dari danau setelah 77 tahun.
Tidak hanya budidaya ikan, Danau Toba rupanya dilirik untuk peternakan Babi. PT Allegrindo Nu santara memanfaatkan peluang itu. Beroperasi sejak 1995, PT Allegrindo Nusantara merupakan Holding Com- pany (perusahan induk) dengan nama ‘Domba Mas Group’. Perusahan ini beroperasi di Desa Urung Pane, Kabupaten Simalungun, dengan jumlah ternak babi ±40.000 ekor.
Kontribusi perusahaan ini dalam merusak Danau Toba juga terkuak. Dari hasil investigasi berbagai sumber, disinyalir bahwa perusahan ini menghasilkan dua jenis limbah. Pertama, limbah padat dengan per hitungan 40.000 ekor x konsumsi pakan ratarata per hari 1,5 kg = 60.000 kg/hari = 1.800.000 kg/bulan = 1.800 ton/bulan. Kedua, limbah cair untuk minum dan mandi ternak rata-rata minimal standard 30 liter air x 40.000 ekor = 1.200.000 liter/hari = 1200 m3/ hari = 36.000 m3/bulan.
Privatisasi lahan juga menjadi masalah. Adalah PT Merek Indah Lestari. Perusahaan yang terkenal dengan nama Taman Simalem Resort ini terletak di Kecamatan Merek, Tanah Karo. PT ini menguasai lahan seluas 206 ha, di daerah tangkapan air Danau Toba yang masuk dalam hutan register. Kawasan ini merupakan kawasan privat, bayar kalau mau masuk.
Izin Pengelolaan Hutan seluas 800 ha juga diperoleh PT Gorga Duma Sari (GDS). Beroperasi di Desa Hariara Pittu, Kec. Harian, Kabupaten Samosir perusahan ini bergerak di bidang investasi Holtikultura dan Peternakan. Atas desakan masyarakat dan berbagai kalangan pemerhati lingkungan hidup, perusahaan ini digugat dan pemiliknya divonis 4,6 tahun penjara karena telah melakukan pidana lingkungan. Namun hukum seringkali tumpul bagi yang berduit. Hingga saat ini pemiliknya belum ditahan.
Masyarakat lokal juga ikut terlibat dalam mencemari Danau Toba lewat usaha budidaya ikan menggunakan keramba apung. Namun harus diingat bahwa peralihan dari sistem bertani darat ke keramba jaring apung ini dipicu oleh kegagalan usaha pertanian akibat penyakit.
Masalah tidak pernah diselesaikan oleh pemerintah. Pemerintah seolah-olah diam dan tutup mata, sehingga semua orang berhak untuk melakukan apa saja di perairan Danau Toba. Pemerintah alpa dalam penataan dan pendampingan petani keramba jaring apung, sehingga tidak terkontrol perkembangannya.
Kehadiran perusahaan-perusahan di masing-masing kabupaten tersebut mendapat dukungan dan perlindungan dari aparat pemerintah. Kendati masyarakat menolak dan telah menimbulkan konflik yang bekepanjangan, pemerintah tetap berpihak pada perusahaan atas nama investasi dan pendapatan.
Akibatnya kawasan Danau Toba benar-benar tereksploitasi. Limbah tersebar di ber bagai titik. Sarana jalan dan fasilitas umum rusak dan tidak terpelihara. Ironis, kawasan Danau Toba bagaikan kawasan tak bertuan dan tidak dipedulikan.
Membangun Kawasan Danau Toba sebagai Destinasi Wisata Nasional
Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha (UU Keparawisataan Pasal 1 angka 4).
Dari pengertian ini jelas bahwa membangun Kawasan Danau Toba (KDT) sebagai destinasi wisata nasional perlu persiapan yang matang. Tanggalkan ego sektoral, kepentingan pribadi dan kelompok! Dibutuhkan upaya sungguh-sungguh untuk pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa serta mempererat persahabatan antarbangsa, sebagaimana diuraikan dalam Pasal (4 ) UU Kepariwisataan.
Untuk mencapai tujuan di atas, maka perlu diperhatikan 4 elemen dasar pembangunan kepariwisataan KDT, yakni:
Pemerintah
Pemerintah sesuai dengan tugas dan kewenangannya menjalankan peran dan fungsinya sebagai fasilitator dan regulator dalam kegiatan pem bangunan kepariwisataan.
Sebagai fasilitator, pemerintah mesti menjadi pengayom kepentingan dan untuk tujuan kesejahteraan masyarakat umum. Dalam kapasitas ini, pemerintah mesti transparan, memberi informasi dan sosialisasi secara berimbang, baik kepada para investor maupun kepada masyarakat lokal. Dalam kaitan Pembangunan KDT sekarang ini, informasi dan sosialisasi kepada masyarakat lokal sangat minim, sehingga masyarakat tidak mengerti dan bingung.
Sebagai regulator, peraturan yang menjadi dasar regulasi penataan dan pengembangan KDT yang disadari multi dimensi serta multi disiplin hingga saat ini masih berjiwa sektoral, satu sama lain tidak terintegrasi dan bahkan bertentangan.
Dibutuhkan payung hukum yang dapat mengintegrasikan dan meng harmoniskan seluruh peraturan lintas sektor terkait dengan pengembangan KDT, baik terhadap sumbersumber alam (tanah, air dan hutan) maupun peraturan yang mensinkronkan antarpemerintah daerah, pemerintah propinsi dan pemerintah pusat. Dalam setiap peraturan, hendaknya masyarakat lokal yang berdiam di desa-desa seputar KDT yang telah turuntemurun dan dengan segala sejarah yang menyertainya mendapat perlindungan khusus sebagai subyek yang mendapatkan kesejahteraan dari pengembangan KDT.
Pertarungan masyarakat lokal dan investor dalam medapatkan akses sebagai pelaku kepariwisataan harus mendapat perhatian pemerintah. Peraturan khusus terkait penanaman modal (investor) harus dibuat.Dengan itu akses masyarakat lokal/desa untuk ikut serta sebagai pelaku pengembang parawisata dapat tercapai.
Sebagai contoh, kewajiban penyertaan modal desa/masyarakat lokal dalam investasi usaha investor; kewajiban mempekerjakan masyarakat lokal dalam pengelolaan usaha kepariwisataan; pemerintah juga perlu menetapkan ruang-ruang publik pesisir pantai yang dapat diakses oleh masyarakat umum secara bebas dan sebagai tempat pengembagan UKM warga.
Investor
Rencana pembangunan KDT tentu menjadi incaran investor industri pariwisata untuk membuka usahanya. Pelaku usaha dengan sum ber daya, modal dan jejaring yang dimilikinya tentu menjadi kekayaan percepatan pengembangan KDT dan semakin menggairahkan kegiatan kepariwisataan. Terkait hal ini, peran pemerintah sebagai fasilitator dan regulator hendaknya tetap memperhatikan kepentingan umum
Masyarakat Lokal
Masyarakat lokal dengan sumber daya dan kapasitas yang dimilikinya, baik berupa tradisi, budaya, adatistiadat, kearifan lokal dan kekayaan religiositas, berperan sebagai tuan rumah dan sekaligus sebagai pelaku pengembangan kepariwisa taan. Oleh karena itu dalam kerangka kegiatan pembangunan kepariwisataan dan untuk mendukung keberhasilan pembangunan kepariwisataan, maka setiap upaya atau program pem bangunan yang dilaksanakan harus memperhatikan posisi, potensi dan peran masyarakat sebagai subjek atau pelaku.
Sumber Daya Alam (SDA)
Yang saya maksud dengan SDA di sini menyangkut potensi alam, budaya, seni, tradisi, dan kearifan lokal masyarakat lokal. Dalam pembangunan dan pengembangan keparawisataan, sering kita terjebak pada segi tiga pemangku kepentingan, yakni pemerintah, investor dan masyarakat (masyarakat local) dan menempatkan sumber daya alam sebagai objek atas kebijakan, perencanaan, dan pembangunan keparawisatan.
Dalam pengembangan KDT hendaknya SDA tidak dilihat semata mata sebagai objek eksploitasi, tetapi juga sebagai subyek yang dalam dirinya sendiri merupakan pelaku utama keparawisataan itu. Sebagai pelaku utama maka nilai-nilai keberlanjutan, keharmonisan, kelestarian, dan pengembangan upaya-upaya go green dalam keseluruhan cakupannya hendaknya menjadi perhatian dalam kebijakan pengelolaan lingkungan KDT.
Penutup
Apa yang dikatakan Mahatma Gandi ini penting untuk kita renung kan: The earth has enough resources to meet the needs of all BUT not enough to satisfy the greed of even one person! Kerakusan menjadi pintu masuk ke jahatankejahatan yang memperkaya diri sendiri, kelompok dan mengor bankan kepentingan umum dan kes ejahteraan masyarakat lokal. Katakan No Corruption dalam pengembangan KDT.
Sdr. Hilarius Kemit, OFMCap, Penulis adalah Ketua Komisi JPIC OFMCap, Tinggal di Medan.