Soe, JPICOFM.com – “Kami tidak tahu lagi harus ke mana, Bupati & DPRD TTS, Gubernur NTT dan DPRD NTT, sudah kami datangi, tetapi tanah yang sudah menjadi hak kami dihancur secara brutal dan sewenang – wenang oleh PT. SMR”, demikian tutur bapak Soleman Nesimnasi dengan terbata – bata dalam pertemuan bersama para korban tambang dengan KOMNAS HAM.
Turut hadir dalam pertemuan bersama yang diadakan di hotel Aston, Kupang (31 November 2017) yakni JPIC OFM, Walhi NTT dan AMARA (Aliansi Masyarakat NTT Tolak Tambang).
Bapak Soleman adalah satu di antara enam pemilik lahan yang yang tanahnya telah diserobot secara sewenang – wenang oleh perusahan tambang Soe Makmur Resources (PT. SMR).
Di hadapan ibu Irana dan Yhodisman dari Komnas HAM, para pemilik lahan (bapak Soleman Nesimnasi, Kornelis Nesimnasi, Yabes nesimnasi, Ande lai, Eston Weti) yang menjadi korban penyerobatan tanah oleh PT. SMR menceritakan dengan runut dan lugas kronologis pertambangan mangan di desa Supul, Kecamatan Kuatnana Kabupaten TTS, NTT.
Pada tahun 2008, PT. SMR mulai melakukan penambangan mangan di Blok 1 (Desa Supul) dan selanjutnya diikuti Blok 2, Blok 3, Blok 4, Blok 5, Blok 8, Blok 9. Pada saat awal masuk, managament perusahan SMR menyatakan bahwa batu mangan tidak bisa dijual perkilogram, tetapi harus perkubikasi dengan harga Rp.225.000/kubik.
Selain itu yang berhak membeli hanya PT. SMR karena memiliki WIUP yang membentang keenam kawasan desa di kecamatan Kautnana termasuk desa Supul. Namun demikian dalam perjalanan waktu, para pemilik lahan yakni Chornelis Betty, Soleman Nesimnasi, Eston P. I. Betty, Kornelius Nesimnasi, menghentikan dan menutup areal pertambangan.
Penghentian dan penutupan aktivitas pertambangan dilakukan karena pertambangan PT. SMR dianggap merugikan dan menyengsarakan masyarakat serta merusak lingkungan akibat system teknis tambang dan manajemen yang tidak menguntungkan. Setelah kegiatan pertambangan dihentikan, maka para pemilik lahan mulai melaksanakan kegiatan berkebun, yang merupakan mata pencaharian mereka sejak turun temurun.
Namun demikian ternyata langkah ini tidak menyurutkan niat PT. SMR untuk mencaplok dan menambang di atas tanah milik masyarakat. Hal itu dibuktikan dengan kenekatan PT. SMR memasuki tanah milik masyarakat dan mulai melakukan aktivitas pertambangan walaupun kepemilikan tanah masyarakat telah sah secara hukum melalui proses kasasi yang hasilnya menyatakan gugatan penggugat/terbanding tidak dapat diterima (Putusan MA tanggal 30 April 2012 No. 2229K/PDT/2012) atas pihak orang-orang yang diduga dimanfaatkan SMR yang menggugat kepemilikan tanah dari bapak Soleman Nesimnasi.
Ini bentuk perampasan hak yang diduga dilakukan oleh PT. SMR atas tanah milik Soleman Nesimnasi, Chornelis Betty, dan Cornelius Betty.
“Pencaplokan dan perampasan hak masyarakat, serta kesewenang-kewangan perusahaan tambang yang diduga melibatkan pemerintah dan aparat keamanan, itulah fakta runyam yang dialami oleh bapak Soleman dkk,” tegas P. Alsis Goa, OFM ketika dimintai pendapat oleh Komnas HAM.
P. Alsis Goa, OFM dari JPIC OFM yang selama ini ikut mendampingi perjuangan para korban tambang, membenarkan apa yang dialami oleh para pemilik lahan yang menjadi korban pertambangan mangan PT. SMR.
“Ketika bapak Soleman Nesimnasi melaporkan kasus penyerobotan tanah oleh PT. SMR kepada Polres TTS, justru ditolak oleh pihak kepolisian dengan alasan perlu menguji keabsahan status kepemilikan tanah, terlebih dahulu harus melalui Pengadilan Perdata. Padahal, status kepemilikan lahan Soleman Nesimnasi telah diuji secara hukum hingga tingkat kasasi MA dengan nomor putusan: 2229K/PDT/2012 tertanggal 30 April 2012,” terang Alsis.
Pastor Alsis mengungkapkan aparat keamanan dan pemerintah daerah mulai dari kabupaten hinggan tingkat Provinsi berperan besar di balik fakta pertambangan.
“Belajar dari fakta buruk dan runyamnya pertambangan di NTT, memang patut diduga bahwa dalam kasus pertambangan, aparat keamanan dan pemerintah daerah mulai dari tingkat kabupaten sampai di tingkat provinsi selalu berpihak pada perusahaan tambang,” lanjut P. Alsis Goa, OFM di hadapan Komnas HAM.
Hal ini diamini oleh Umbu dari Walhi dan Lexi Tamonab dari AMARA. Bahkan menurut Umbu dari WALHI NTT, sejauh ini tidak ada niat baik dan perhatian dari pemerintah entah itu kabupaten maupun provinsi terhadap dampak lingkungan dan persoalan sosio masyarakat berkaitan dengan kehadiran pertambangan di NTT.
Menanggapi aduan masyarakat korban tambang, Irana dari Komnas HAM mengungkapkan bahwa pengaduan masyarakat korban tambang akan ditindaklanjuti dengan pemanggilan terhadap pihak – pihak terkait. Hal ini sejalan dengan fungsi Komnas HAM sebagai pemantau, penyelidik terkait masalah pelanggaran HAM.
Selain itu Komnas HAM akan memediasi pertemuan antara masyarakat korban tambang dengan pemerintah dan pihak perusahaan SMR.
Menanggapi hal ini, maka P. Alsis Goa OFM, mendesak komnas HAM segera dan secepatnya mengeluarkan rekomendasi sementara agar menghentikan aktivitas pertambangan PT. SMR di Supul. Sebab fakta lapangan menunjukkan bahwa sejak bulan September 2017 hingga sekarang sudah dimulai lagi kegiatan pertambangan di Supul, yang sempat terhenti pada Februari 2016 yang lalu.
Sejalan dengan Pastor Alsis, masyarakat juga sangat berharap tindakan cepat dan tegas dari Komnas HAM.
“Kami berharap agar Komnas HAM cepat menanggapi laporan kami, karena kami sudah pesimis, kita bicara banyak tapi perusahaan tetap bekerja, dan tanah kami sudah hancur semua. Perusahaan selalu berdalil bahwa semua itu milik negara karena sesuai dengan pasal 33 UUD,” demikian kata bapak Kornelis, salah seorang pemilik lahan yang tanahnya sudah hancur dan menyisahkan lubang – lubang bekas tambang.
Di hadapan semua peserta yang hadir, Komnas HAM berjanji akan segera merespon laporan masyarakat, karena mereka sangat prihatin dengan persoalan yang dialami oleh para korban tambang.
“Tidak benar dan konyol apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian karena menolak laporan dari bapak Soleman hanya karena tidak memiliki sertifikat tanah. Padahal salah satu dokumen yang menunjukkan keabsaan kepemilikan tanah dan berkekuatan hukum adalah putusan kasasi MA yang telah dimenangkan oleh bapak Soleman”, demikian Bapak Yhodisman dari Komnas HAM.
“Selain itu, pasal 33 UUD 1945 tidak bisa dijadikan dasar legitimasi bagi perusahaan tambang untuk mencaplok tanah milik masyarakat, karena rakyat sendiri adalah sang empuhnya negara, lanjut beliau sembari menutup pertemuan,” tutup Yhodisman.
Semoga pertemuan ini menghasilkan manfaat yang berguna terutama keadilan bagi masyarakat Supul yang hak – haknya dicaplok PT. SMR.
Sdr. Alsis, OFM