Pagal – Flores, JPIC OFM.com – Mendengar kata ‘kampung’ mungkin serentak terlintas dalam benak dan pikiran tentang suatu tempat yang belum tersentuh oleh modernitas: sunyi, udik, dll; Juga tempat orang-orang sederhana, berpendidikan rendah, berprofesi petani tradisional, nelayan tradisional, dll.
Yah itulah kampung. Masih perawan. Belum banyak diracuni oleh modernitas. Tetapi cerita tentang kampung tidak sesederhana itu. Kampung merupakan sebuah komunitas adat, komumintas iman, komunitas politik, dan juga komunitas ekologis. Dalam komunitas kampung, warga kampung hidup dan saling menghidupi.
Sebagai komunitas adat, di kampung kita mengalami dan menjalankan komunitas yang mengatur, mengarahkan dan yang memberi isi bagi hidup kita sehingga kampung adalah komunitas adat dan budaya. Setiap kampung memiliki adat istiadat yang mengatur dan mengarahkan hidup warganya dalam relasi dengan Yang Transenden, sesama dan lingkungan.
Sebagai komunitas iman, kampung adalah tempat bagi warganya memuji dan memuja Sang pencipta. Sebagai komunitas politik, kampung menjadi tempat di mana berbagai macam hal dibicarakan, didiskusikan dan dikerjakan secara bersama dan untuk kepentingan bersama. Sementara sebagai komunitas ekologis, kampung menunjukkan manusia tidak bisa lepas dari alam.
Di Kampung, kita masih menemukan orang-orang yang bersolider baik dengan sesama maupun dengan alam. Hampir-hampir tidak ada tempat untuk individualisme di sana. Saling berbagi, bertegur sapa, kunjung-mengunjungi kita bisa temukan di halaman-halamam buku besar yang berjudul kampung itu.
Sejumlah mutiara emas dari spritualitas kampung ini, menurut Pastor Peter C. Aman OFM, sudah mulai tergerus. Benteng Pertahanan kampung terus digembosi oleh semangat perkotaan yang cenderung menyanjung individualisme, materialisme, pragmatisme, dan konsumerisme.
Hal ini disampaikan oleh Direktur JPIC OFM Indonesia ini dalam membuka kegiatan “Pelatihan Pemuda Penjaga dan Penyelamat Kampung (P3K)”, di Pagal, Flores, (Senin, 26/06).
Pemuda Penjaga Kampung untuK Menjaga Kampung
Komisi JPIC OFM Indonesia memulai sebuah gerakan membina kaum-kaum muda dari kampung-kampung. “Pemuda Penjaga dan Penyelamat Kampung” demikian sebutan untuk mereka yang membaktikan diri untuk menjaga kampung.
“Mengapa memilih nama pemuda-pemudi penjaga kampung? karena kita semua tahu apa itu kampung, kita warga kampung dan tinggal di kampung, di mana orang hidup bersama,” tutur P. Peter OFM.
Kegiatan pelatihan bagi pemuda penjaga kampung yang digalakan oleh Komisi JPIC-OFM Indonesia, pada tahun ini memasuki tahun keempat. Valens Dulmin, Sekretaris Eksekutif JPIC OFM Indonensia menuturkan program ini rutin dilaksanakan selama empat tahun ini.
“Awalnya saat itu merespon kehadiran perusahan tambang. Kami kemudian melakukan pendampingan kepada kaum muda untuk ikut bergerak menolak tambang karena merusak lingkungan mereka,” katanya.
Peserta yang hadir dalam pelatihan yang keempat ini ada 12 orang. Keterangan Pastor Peter bahwa peserta yang hadir mewakili beberapa paroki di keuskupan Ruteng.
Ia menjelaskan, kampung sebagai basis kekuatan masyarakat sekarang ini terancam terutama karena banyaknya pengaruh dari luar, sementara mereka tidak disiapkan untuk menyikapinya secara kritisi.
“Untuk mengatasi hal ini, kami menilai orang muda yang harus diperkuat dan dianimasi, kerena mereka adalah pemilik masa depan kampung,” tutur dosen Teologi Moral di STF Driyarara ini.
Peter, begitu beliau disapa, melanjutkan, “program ini merupakan bagian pokok dari misi Gereja untuk kaum muda terkait tanggungjawab nyata mereka terhadap masyarakat dan masa depan gereja.”
Kegiatan ini berlangsung selama 10 hari, dari 26 Juni hingga 5 Juli 2017, di Pagal Flores. Peserta diperkaya dengan materi tentang lingkungan hidup, human trafficking dan resolusi konflik.
Salah satu peserta, Karolina Kurnia Wati (21) dari Paroki St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus Rangga, Lembor, Manggarai Barat mengatakan, selama pelatihan ini, wawasannya bertambah, khususnya terkait masalah-masalah ekologi dan masalah sosial lainnya.
“Saya juga makin menyadari tanggung jawab iman saya sebagai pemudi Katolik,” katanya.Ia akan berupaya mempraktekkan apa yang ia peroleh selama pelatihan, terutama untuk mengatasi persoalan human trafficking di wilayahnya.
Seorang peserta lain, Martinus Abar (22) dari Paroki St. Arnoldus Jansen, Ponggeok menuturkan bahwa kegiatan ini melatih dirinya untuk makin dewasa, terutama untuk mampu menjadi pemimpin untuk diri saya dan masyarakat.)***
Rian Safio